Senin, 15 Juni 2015

Mental Loyo by : Abdullah Muadz


Mental Loyo  by : Abdullah Muadz
Bangun subuh kesiangan, berangkat kerja terlambat, sampai dikantor tidak segera memulai pekejaan, bahkan sempat buka internet. Istirahat siang langsung makan, karena kekenyangan setelah makan kemudian tidur di masjid, atau ketika kelaparan puasa ramadhan pun tidur setelah zhuhur, di masjid kantor. Jadi kekenyangan ngantuk, kelaparan juga ngantuk.
Pulang kerja kecapean tidak bisa berbasa basi dengan anak dan istri. Tidak sanggup lagi mengeluarkan kalimat romantis dan mesra terhadap anggota keluarga. Tidak mampu lagi bercanda dan bercengkrama dengan seisi rumah. Rumah terasa hampa seperti losmen atau hotel. Semua sudah kecapean dengan urusannya masing masing.
Ketika azan tiba badan terasa letih, tidak mampu berjalan pergi menuju masjid, walau hanya beberapa meter saja dari jarak rumahnya. Shalat dirumahpun sudah di akhir waktu, tanpa kekhusu’an lagi. Setelah itu tidur tanpa persiapan, tanpa doa langsung terkapar di tempat tidur.
Ada undangan arisan RT enggan datang, undangan kerja baktipun tidak nongol. Ada jadwal ronda bergiliran tidak ingat, undangan pengajian di masjid apa lagi, merasa tidak butuh. Ada kematian tetangga dengan sangat terpaksa datang juga sekedar setor muka, enggan melihat mayat.
Hampir seluruh pekerjaan di rumah di kerjakan oleh pembantu, sampai menyiapkan makan dan minumpun di kerjakan pembantu. Meletakan baju bekas dipakai, memasukan baju yang baru distrika, melayani kebutuhan anak, sampai membuang sampah di Tempat sampah depan rumah juga di lakukan oleh Pembantu.
Sementara anak anak sibuk dengan hand phone, play station, internet serta sibuk dengan hobinya. Jarang sekali orang tua menyuruh anak anaknya dalam menyelesaikan perkejaan rumah tangga, karena sudah di lakukan oleh pembantu. Akibatnya anak tidak banyak memiliki keterampilan hidup, tidak mandiri, tidak banyak bergerak, badan jadi rapuh, kemanjaan yang luar biasa, tidak tahan dengan berbagai benturan, cepat putus asa, banyak tuntutan, kurang sensitifitas, hari hari yang difikirkan hanya kesenangannya sendiri, jadi egois banget. Tidak terlalu care terhadap apa yang terjadi disekelilingnya.
Telpon berdering tidak cepat diangkat karena saling mengandalkan, kakak menuruh adik, adik menyuruh adiknya lagi. Tamu memberi salam tidak segera dijawab, karena semua mengandalkan pembantu atau orang lain. Bahkan mengambil baju yang Cuma jarak 2m saja menyuruh pembantu yang posisinya sangat jauh.
Dengan semakin majunya teknologi yang banyak membantu pekerjaan manusia, maka semakin lagi menambah kemalasan dan kemanjaan. Hampir semua orang ingin mendapatkan sesuatu dengan cepat dan mudah, sehingga suka mengambil jalan pintas. Rumah makan siap saji menjadi laris, karena pelayanan yang cepat. Dukun dukun makin laris karena menjanjikan dapat uang banyak dengan cepat, mudah dan tanpa kerja keras. Perjudian juga semakin marak karena punya khayalan yang tinggi ingin cepat kaya. Silaturrhim semakin berkurang karena sudah tergantikan dengan telpon, SMS serata Internet. Temasuk akhirnya pergaulan bebas, tidak sabar menunggu masa pernikahan serta kemapanan, sementara tuntutan biologis sudah semakin menggebu-gebu, tidak kuat cari jalan pintas.
Bagi orang yang jeli dalam berbisnis,  budaya malas dan manja menjadi peluang emas untuk bisa berjualan barang atau jasa yang sifatnya cepat, mudah, dan membantu konsumen tanpa kerja keras. Berarti kemalasan itu juga akhirnya harus dibayar mahal. Sama dengan kebodohan juga mahal, karena kita tidak mampu membuat atau mengerjakan sendiri, maka semakin banyak kita membutuhkan jasa orang lain untuk membayar kemalasan dan ketidak mampuan kita.
Kamalasan berupaya bagaimana menggali kekayaan alam kita sendiri, seperti emas, perak, minyak, gas, batu bara dan lain lain akhirnya kita serahkan pengolahannya pada orang asing. Kemalasan kita juga dalam hitung menghitung produksi, penjualan dan cara bagi hasil yang adil, menyebabkan kita juga banyak mengalami kerugian dalam memperoleh bagi hasil kekayaan alam kita sendiri. Kemalasan kita untuk serius mengurus pertanian, perkebunan, perdagangan serta industri kebutuhan masyarakat, menyebabkan membanjirnya barang-barang import. Karena produksi dalam negeri tidak mencukupi atau kalah persaingan dalam kwalitas. Sampai sampai kedelai pun import, padahal tempenya makanan rakyat. Lebih sadis lagi garam saja import, padahal negeri ini dua pertiganya lautan.
Kemalasan para pejabat untuk mencari sumber devisa yang lebih produktif dan lebih terhormat, menyebabkan menjamurkan manajemen pak ogah dan pak ableh si tukang palak, yang pandainya hanya memungut pajak saja. Sampai warteg akan dikenakan pajak. Mungkin sebentar lagi mereka akan berfikir bagaimana agar BAB, Pipis dan kentut juga bisa kena pajak.
Kita melihat orang orang yang loyo, malas dan manja hampir merata di semua lapisan masyarakat, mulai dari siswa sampai para pejabat negaranya. Sehingga budaya instan menjadi pilihan dalam mengurus diri sendiri, keluarga, masyarakat sampai kepada mengurus negara, jadi serba instan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar