Senin, 26 November 2012

Aib Tidur Pagi

Kita telah ketahui bersama bahwa waktu pagi adalah waktu yang penuh berkah dan di antara waktu yang kita diperintahkan untuk memanfaatkannya. Jangan sampai setelah sholat subuh kita tidur lagi, kecuali alasan yang sangat darurat. seperti sakit berat, malam ada musibah dan sebagainya. karena banyak kejelekan dan Aib yang memalukan jika kita tidur pagi...

1. Kita makhluq manusia, harus lebih hebat dari binatang. lihatlah burung pagi sudah berkicau, terus terbang mencari rizki keluar dalam keadaan perut lapar kemudian kembali sudah kenyang...

2. Merupakan ciri bangsa maju, dan manusia yang ingin maju, dia harus mampu bersaing, curi star, atau  minimal tidak ketinggalan star. kita lihat dijalan raya pagi hari orang sudah kebut kebutan untuk mencari rizki, sehingga sangat aib sekali jika kita ingin menang, ingin maju tapi setiap hari kedahuluan orang terus.

3. Sebagai Seorang Muslim dan Mu'min, perintah hidup sehat, jangan buang waktu, jangan jadi pemalas, tidur pagi itu lambang pemalas, mewariskan kemiskinan, dan lain lain, kita akan temukan itu dallilnya segudang di Al-Qur'an dan Assunnah. Dalam ajaran Islam yang ada juga Qoylulah, artidnya tidur siang sejenak, untuk merefresh kepenatan.

4. Sebagai seorang Aktifis Pergerakan akan menjadi doble aibnya jika pagi hari masih tidur, berarti bukan aktiifis pergerakan, tetapi aktifis kebekuan, karena harusnya bergerak malah molor. fikiran dan ide-ide cemerlang itu adanya di pagi hari, kekuatan berfikir dan menghafal juga adanya di pagi hari karena tubuh kita masih fresh.

Seorang Aktifis akan rajin zikir berdoa. salah satu doa rutinnya adalah : Yaa Allaah aku berlindung, jangan sampai memiliki sifat Lemah dan Pemalas. nah kalo doa itu diucapkan terus menerus, sementara tiap pagi tidur, maka do'anya itu namanya meledek, mengejek tuhan, na'zubillaahi min zaalik.

5. Sebagai seorang enterpreuneur, akan mejadi trible aibnya jika tidur pagi. karena tidur pagi itu menutup pintu rizki, tidur pagi itu lambang manusia terkebelakang, manusia priminitif yang hidupnya tidak bercocok tanam, karena mengandalkan alam sekitarnya, zaman dulu manusia masih sedikit, buah2an banyak banget, geratis semua, ikan banyak geratis, hewan yang bisa dimakan banyak geratis, jadi masih wajar jika manusia primitif pagi hari masih tidur, karena keluar dari gua juga sudah banyak makanan alam di sekelilingnya.

Kalo zaman sekarang sudah tidak bisa lagi seperti manusia primiitif, karena kalo kita tidur pagi, akan sudah habis direbut rebut orang duluan, kalaupun dapat itu yang sisa, dan sudah afkiran. seorang wirausahawan adalah seorang petarung yang tangguh, tidak mau terlambat dalam memulai apa saja, waktu begitu sangat berharga, detik demi detik dihitung. sangat sensitif bagi musuh utamanya yaitu si Pencuri Waktu.

6. Ibnul Qayyim berkata, "Empat hal yang menghambat datangnya rizki adalah :

    [1] tidur di waktu pagi,

    [2] sedikit sholat,

    [3] malas-malasan dan

    [4] berkhianat." (Zaadul Ma’ad, 4/378)

Menyebabkan berbagai penyakit badan, di antaranya adalah melemahkan syahwat. (Zaadul Ma’ad, 4/222). Saya juga mendapati orang yang sering tidur hingga pagi/tidur lagi setelah shubuh mempunyai masalah di pernafasannya. Entah gampang flu, meriang, pusing dll.

7. Beliau rahimahullah juga berkata, "Pagi hari bagi seseorang itu seperti waktu muda dan akhir harinya seperti waktu tuanya." (Miftah Daris Sa'adah, 2/216). Amalan seseorang di waktu muda berpengaruh terhadap amalannya di waktu tua. Jadi jika seseorang di awal pagi sudah malas-malasan dengan sering tidur, maka di sore harinya dia juga akan malas-malasan pula.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kita bahwa waktu luang merupakan salah satu di antara dua kenikmatan yang telah diberikan Allah Ta’ala kepada manusia. Tetapi sangat disayangkan, banyak di antara manusia yang melupakan hal ini dan terlena dengannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

Ada dua kenikmatan yang banyak dilupakan oleh manusia, yaitu nikmat sehat dan waktu luang”. (Muttafaqun ‘alaih)

Ibnu Hajar dalam Fathul Bari membawakan perkataan Ibnu Baththol. Beliau mengatakan,”Makna hadits ini adalah bahwa seseorang tidaklah dikatakan memiliki waktu luang hingga badannya juga sehat. Barangsiapa yang mendapatkan seperti ini, maka bersemangatlah agar tidak tertipu dengan lalai dari bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan oleh-Nya. Di antara bentuk syukur adalah melakukan ketaatan dan menjauhi larangan. Barangsiapa yang luput dari syukur semacam ini, dialah yang tertipu.”

Ibnul Jauzi dalam kitab yang sama mengatakan, ”Terkadang manusia berada dalam kondisi sehat, namun dia tidak memiliki waktu luang karena sibuk dalam aktivitas dunia. Dan terkadang pula seseorang memiliki waktu luang, namun dia dalam keadaan sakit. Apabila tergabung kedua nikmat ini, maka akan datang rasa malas untuk melakukan ketaatan. Itulah manusia yang telah tertipu (terperdaya).

Itulah manusia. Banyak yang telah terbuai dengan kenikmatan ini. Padahal setiap nikmat yang telah Allah berikan akan ditanyakan. Allah Ta’ala berfirman,

ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ

Kemudian kamu pasti akan ditanya tentang kenikmatan (yang kamu bermegah-megahan di dunia itu)”. (QS At Takaatsur [102] : 8)

Manusia Terbaik

Dalam hidup, orang tak akan peduli
berapa banyak yang kita tahu, hingga
mereka tahu berapa banyak kita peduli
kepada mereka.

Oleh sebab itu kita sering mendengar
bahwa manusia terindah adalah manusia
yang bermanfaat untuk saudaranya, dan
orang lain. 

Seorang ulama mengatakan:
"Janganlah engkau menunggu kaya
untuk bersedekah, tapi bersedekahlah

sekarang juga, maka engkau akan
semakin kaya. Sumbangkanlah setiap
kebaikan, berikanlah setiap kasih
sayang, tunjukkanlah keakraban,
bantulah mereka yang memerlukan"

Mari kita belajar memberi
manfaat untuk orang lain... sebelum
diminta!

Manusia Terbaik

Dalam hidup, orang tak akan peduli
berapa banyak yang kita tahu, hingga
mereka tahu berapa banyak kita peduli
kepada mereka.

Oleh sebab itu kita sering mendengar
bahwa manusia terindah adalah manusia
yang bermanfaat untuk saudaranya, dan
orang lain. 

Seorang ulama mengatakan:
"Janganlah engkau menunggu kaya
untuk bersedekah, tapi bersedekahlah

sekarang juga, maka engkau akan
semakin kaya. Sumbangkanlah setiap
kebaikan, berikanlah setiap kasih
sayang, tunjukkanlah keakraban,
bantulah mereka yang memerlukan"

Mari kita belajar memberi
manfaat untuk orang lain... sebelum
diminta!

Rabu, 21 November 2012

Mengelola Arus Kas Pribadi by :Donny K P.

Mengelola Arus Kas Pribadi

Menurut Adam Khoo dalam Secret of Self Made Millionaires, ada perbedaan penting yang membedakan orang dalam kemampuan menciptakan kekayaan ternyata tidak hanya pada seberapa besar pendapatan yang telah diterima, tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana cara mereka mengolah uang yang diperoleh.

Dalam hal ini, Adam Khoo membaginya menjadi 3 bagian:

1. Pengelolaan arus kas orang-orang miskin
Mereka dengan pola pikir orang miskin biasanya berasal dari buruh-buruh kasar ataupun eksekutif yunior.Mereka cenderung membelanjakan seluruh pendapatan mereka. Mereka hidup untuk hari yang sedang dijalaninya tanpa banyak berpikir tentang masa depan. mereka menabung sangat sedikit sekali atau bahkan tidak sama sekali dengan alasan pendapatannya sangat kecil.

Ketika memperoleh kenaikan gaji, biasanya mereka berpikiran untuk segera membelanjakannya secepat mungkin. Akibatnya, mereka tidak mempunyai keamanan finansial. Dan ketika kehilangan pekerjaan atau mengalami pemotongan gaji, mereka akan mengalami kesulitan besar untuk bertahan hidup.

2. Pengelolaan arus kas orang-orang menengah
Mereka dengan pola pikir kelas menengah biasanya berasal dari kalangan profesional, eksekutif tingkat menengah dan senior dengan gaji lebih besar. Biasanya setelah mengurangi pengeluaran bulanan dari pendapatan, mereka akan menabung sisanya. Masalahnya adalah mereka cenderung untuk menggunakan tabungannya untuk membeli lebih banyak aset-aset arus kas negatif (rumah besar, mobil mewah, barang mewah, dsb) daripada membeli aset-aset arus kas positif (saham, obligasi, deposito, kekayaan intelektual, properti dan bisnis).

Karena alasan inilah, sebagian besar keluarga kelas menengah ini terlihat kaya tetapi sebenarnya hanya memiliki kekayaan bersih yang amat kecil atau bahkan negatif. Meskipun rumah dan mobilnya berharga ratusan juta, namun mereka ternyata memiliki nilai yang amat kecil.

Dan pada kenyataannya, ternyata mereka ini memiliki kemanan finansial yang jauh lebih kecil lagi. Sehingga apabila sampai kehilangan pekerjaan atau mengalami pemotongan gaji, mereka akan berakhir dengan memiliki pinjaman yang besar, biaya bulanan yang juga besar dan terlilit utang.

Banyak dari kalangan ini yang menderita tekanan finansial yang tinggi, bekerja keras setiap bulannya untuk membayar tagihan bank yang besar.

3. Pengelolaan arus kas orang-orang kaya
Jadi bagaimana para orang kaya mengelola uang mereka sehingga mereka tidak perlu bekerja lagi? Biasanya mereka menetapkan target yang spesifik tentang berapa uang yang akan ditabung (yg biasanya berkisar 15-20%). Mereka mengambil tabungan ini dari pendapatan yang diterimanya dan membelanjakan sisanya.

Tak seperti mereka yang berpola pikir menengah, pola pikir kaya memotivasi mereka untuk mengambil tabungan dan menginvestasikannya dalam arus kas positif yang dapat memberikan keuntungan dan kenaikan nilai. Mereka lebih memilih menanamkan uangnya secara hati-hati untuk membeli saham, dana bersama, properti, dan bisnis daripada memboroskannya untuk membeli TV LCD plasma.

Meskipun kadang mereka membeli barang-barang mewah untuk memanjakan diri, namun jumlah aset kas positifnya masih jauh melebihi aset arus kas negatifnya. Hasilnya, tambahan pendapatan pasif yang dihasilkan dari investasi mereka melebihi pengeluaran untuk hal-hal "ekstra" semacam ini. Mereka terus rajin menabung dan berinvestasi sampai aset arus kas positif yang dimilikinya mulai memberikan arus kas yang cukup untuk memenuhi, bahkan melebihi pengeluaran. ketika kondisi ini tercapai, mereka berada pada tingkat kebebasan keuangan, dimana mereka dapat memilih untuk berhenti bekerja dan tetap dapat meneruskan gaya hidupnya saat ini tanpa batasan.

Jadi, ternyata pola pikir saya dalam mengelola arus kas adalah : pola pikir miskin / pola pikir menengah / pola pikir kaya (coret yg tidak perlu) ...:))

--
Donny K P.

Selasa, 20 November 2012

Obama Dukung Agresi Israel ke Gaza

Liputan6.com, Washington DC: Presiden Amerika Serikat Barack Obama menyatakan dukungannya terhadap agresi militer Israel di Jalur Gaza. Sikap Obama ini dinyatakan usai berbicara dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, seperti dilansir AFP, Sabtu (17/11/2012).

Namun, Obama juga menyesalkan atas jatuhnya korban jiwa atas bentrokan yang kembali terjadi di Gaza. Seperti diketahui, konflik Israel dan Palestina kembali memanas sejak tewasnya pemimpin sayap militer Hamas (Brigade Al-Qassam) Ahmed Al-Jaabari bersama rekannya saat berada di mobil.

"Presiden menegaskan kembali dukungan AS terhadap hak Israel untuk mempertahankan diri, serta menyampaikan penyesalan mendalam atas jatuhnya korban jiwa baik dari warga sipil Palestina maupun Israel," demikian pernyataan Gedung Putih.

Sementara itu, PM Netanyahu yang memulai dialog telepon tersebut menyampaikan rasa terima kasih dan apresiasinya kepada Obama atas investasi AS berupa roket Iron Dome dan sistem pertahanan mortar kepada Israel.

"Efektif melawan ratusan roket yang ditembakkan dari Gaza dan berhasil menyelamatkan banyak nyawa warga Israel," ungkap pernyataan tersebut dengan mengutip pernyataan Netanyahu.

Akan tetapi, pernyataan Gedung Putih ini tidak menjelaskan rencana lebih lanjut dari kedua negara, melainkan membicarakan cara untuk meminimalisir konflik yang terjadi.

Hingga saat ini, menurut beberapa pejabat Palestina, korban tewas dalam kekerasan yang meletus sejak Rabu sore (14/11/2012) menjadi 28 orang dan sedikitnya 270 orang cedera. (RZK)

Selasa, 13 November 2012

Bulan Muharram

Alhamdulillah, kita memasuki bulan Muharram 1433 H, yang berarti mengawali tahun baru 1433 H dan meninggalkan tahun 1432 H. Kita bersyukur kepada Allah Ta’ala atas kesempatan hidup yang masih diberikan kepada kita. Semoga kita dapat melaksanakan risalah ibadah secara ikhlas dan benar. Dan semoga kita serta seluruh umat Islam di tahun ini lebih baik dari tahun yang lalu dan tahun yang akan datang akan lebih baik lagi dari tahun ini.

Keutamaan Bulan Muharram

Bulan Muharram adalah salah satu dari empat bulan haram atau bulan yang dimuliakan Allah. Empat bulan tersebut adalah, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ

“Sesungguhnya jumlah bulan di Kitabullah (Al Quran) itu ada dua belas bulan sejak Allah menciptakan langit dan bumi, empat di antaranya adalah bulan-bulan haram” (QS. At Taubah: 36)

Kata Muharram artinya ‘dilarang’. Sebelum datangnya ajaran Islam, bulan Muharram sudah dikenal sebagai bulan suci dan dimuliakan oleh masyarakat Jahiliyah. Pada bulan ini dilarang untuk melakukan hal-hal seperti peperangan dan bentuk persengketaan lainnya. Kemudian ketika Islam datang kemuliaan bulan haram ditetapkan dan dipertahankan sementara tradisi jahiliyah yang lain dihapuskan termasuk kesepakatan tidak berperang.

Bulan Muharram memiliki banyak keutamaan, sehingga bulan ini disebut bulan Allah (syahrullah). Beribadah pada bulan haram pahalanya dilipatgandakan dan bermaksiat di bulan ini dosanya dilipatgandakan pula. Pada bulan ini tepatnya pada tanggal 10 Muharram Allah menyelamatkan nabi Musa as dan Bani Israil dari kejaran Firaun. Mereka memuliakannya dengan berpuasa. Kemudian Rasulullah saw. menetapkan puasa pada tanggal 10 Muharram sebagai kesyukuran atas pertolongan Allah. Masyarakat Jahiliyah sebelumnya juga berpuasa. Puasa 10 Muharram tadinya hukumnya wajib, kemudian berubah menjadi sunnah setelah turun kewajiban puasa Ramadhan. Rasulullah saw. bersabda:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ وَجَدَهُمْ يَصُومُونَ يَوْمًا يَعْنِي عَاشُورَاءَ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ وَهُوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ فَقَالَ أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

Dari Ibnu Abbas RA, bahwa nabi saw. ketika datang ke Madinah, mendapatkan orang Yahudi berpuasa satu hari, yaitu ‘Asyuraa (10 Muharram). Mereka berkata, “ Ini adalah hari yang agung yaitu hari Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan keluarga Firaun. Maka Nabi Musa as berpuasa sebagai bukti syukur kepada Allah. Rasul saw. berkata, “Saya lebih berhak mengikuti  Musa as. dari mereka.”  Maka beliau berpuasa dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa” (HR Bukhari).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

Dari Abu Hurairah RA. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baiknya puasa setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah Muharram. Dan sebaik-baiknya ibadah setelah ibadah wajib adalah shalat malam.” (HR Muslim)

Walaupun ada kesamaan dalam ibadah, khususnya berpuasa, tetapi Rasulullah saw. memerintahkan pada umatnya agar berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Yahudi, apalagi oleh orang-orang musyrik. Oleh karena itu beberapa hadits menyarankan agar puasa hari ‘Asyura diikuti oleh puasa satu hari sebelum atau sesudah puasa hari ‘Asyura.

Secara umum, puasa Muharram dapat dilakukan dengan beberapa pilihan. Pertama, berpuasa tiga hari, sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya, yaitu puasa tanggal 9, 10 dan 11 Muharram. Kedua, berpuasa pada hari itu dan satu hari sesudah atau sebelumnya, yaitu puasa tanggal: 9 dan 10, atau 10 dan 11. Ketiga,  puasa pada tanggal 10 saja, hal ini karena ketika Rasulullah memerintahkan untuk puasa pada hari ‘Asyura para sahabat berkata: “Itu adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani, beliau bersabda: “Jika datang tahun depan insya Allah kita akan berpuasa hari kesembilan, akan tetapi beliau meninggal pada tahun tersebut.” (HR. Muslim).

Landasan puasa tanggal 11 Muharram didasarkan pada keumuman dalil keutamaan berpuasa pada bulan Muharram. Di samping itu sebagai bentuk kehati-hatian jika terjadi kesalahan dalam penghitungan awal Muharram.

Selain berpuasa, umat Islam disarankan untuk banyak bersedekah dan menyediakan lebih banyak makanan untuk keluarganya pada 10 Muharram. Tradisi ini memang tidak disebutkan dalam hadits, namun ulama seperti Baihaqi dan Ibnu Hibban menyatakan bahwa hal itu baik untuk dilakukan.

Demikian juga sebagian umat Islam menjadikan bulan Muharram sebagai bulan anak yatim. Menyantuni dan memelihara anak yatim adalah sesuatu yang sangat mulia dan dapat dilakukan kapan saja. Dan tidak ada landasan yang kuat mengaitkan menyayangi dan  menyantuni anak yatim hanya pada bulan Muharram.

Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam sistem kalender Islam. Oleh karena itu  salah satu momentum yang sangat penting bagi umat Islam yaitu menjadikan  pergantian tahun baru Islam sebagai sarana umat Islam untuk muhasabah terhadap langkah-langkah yang telah dilakukan dan rencana ke depan yang lebih baik lagi. Momentum perubahan dan perbaikan menuju kebangkitan Islam sesuai dengan jiwa hijrah Rasulullah saw. dan sahabatnya dari Mekah dan Madinah.

Legenda Dan Mitos Muharram

Di samping keutamaan bulan Muharram yang sumbernya sangat jelas, baik disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi banyak juga  legenda dan mitos yang terjadi di kalangan umat Islam menyangkut hari ‘Asyura.

Beberapa hal yang masih menjadi keyakinan di kalangan umat Islam adalah legenda bahwa pada hari ‘Asyura Nabi Adam diciptakan, Nabi Nuh as di selamatkan dari banjir besar, Nabi Ibrahim dilahirkan dan Allah Swt menerima taubatnya. Pada hari ‘Asyura Kiamat akan terjadi dan siapa  yang mandi pada hari ‘Asyura diyakini tidak akan mudah terkena penyakit. Semua legenda itu sama sekali tidak ada dasarnya dalam Islam. Begitu juga dengan keyakinan bahwa disunnahkan bagi mereka untuk menyiapkan makanan khusus untuk hari ‘Asyura.

Sejumlah umat Islam mengaitkan kesucian hari ‘Asyura dengan kematian cucu Nabi Muhammad Saw, Husain saat berperang melawan tentara Suriah. Kematian Husain memang salah satu peristiwa tragis dalam sejarah Islam. Namun kesucian hari ‘Asyura tidak bisa dikaitkan dengan peristiwa ini dengan alasan yang sederhana bahwa kesucian hari ‘Asyura sudah ditegakkan sejak zaman Nabi Muhammad Saw jauh sebelum kelahiran Sayidina Husain. Sebaliknya, adalah kemuliaan bagi Husain yang kematiannya dalam pertempuran itu bersamaan dengan hari ‘Asyura.

Bid’ah Di Bulan Muharram

Selain legenda dan mitos yang dikait-kaitkan dengan Muharram, masih sangat banyak bid’ah yang jauh dari ajaran Islam. Lebih tepat lagi bahwa bid’ah tersebut merupakan  warisan ajaran Hindu dan Budha yang sudah menjadi tradisi  masyarakat Jawa yang mengaku dirinya sebagai penganut aliran kepercayaan. Mereka lebih dikenal dengan sebutan Kejawen.

Dari segi sistem penanggalan, memang penanggalan dengan sistem peredaran bulan bukan hanya dipakai oleh umat Islam, tetapi masyarakat Jawa juga menggunakan penanggalan dengan sistem itu. Dan awal bulannya dinamakan  Suro. Pada hari Jum’at malam Sabtu, 1 Muharram 1428 H bertepatan dengan 1 Suro 1940. Sebenarnya penamaan bulan Suro, diambil dari ’Asyura yang berarti 10 Muharram. Kemudian sebutan ini menjadi nama bulan pertama bagi penanggalan Jawa.

Beberapa tradisi dan keyakinan yang dilakukan sebagian masyarakat Jawa sudah sangat jelas bid’ah dan  syiriknya, seperti Suro diyakini sebagai bulan yang keramat, gawat dan penuh bala. Maka diadakanlah upacara ruwatan dengan mengirim sesajen atau tumbal ke laut. Sebagian yang lain dengan cara bersemedi mensucikan diri bertapa di tempat-tempat sakral (di puncak gunung, tepi laut, makam, gua, pohon tua, dan sebagainya) dan ada juga yang melakukan dengan cara lek-lekan ‘berjaga hingga pagi hari’ di tempat-tempat umum (tugu Yogya, Pantai Parangkusumo, dan sebagainya). Sebagian masyarakat Jawa lainnya juga melakukan cara sendiri yaitu mengelilingi benteng keraton sambil membisu.

Tradisi tidak mengadakan pernikahan, khitanan dan membangun rumah. Masyarakat  berkeyakinan apabila melangsungkan acara itu maka akan membawa sial dan malapetaka bagi diri mereka.

Melakukan ritual ibadah tertentu di malam Suro, seperti  selamatan atau syukuran, Shalat Asyuro, membaca Doa Asyuro (dengan keyakinan tidak akan mati pada tahun tersebut) dan ibadah-ibadah lainnya. Semua ibadah tersebut merupakan bid’ah (hal baru dalam agama) dan tidak pernah ada contohnya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam maupun para sahabatnya. Hadist-hadits yang menerangkan tentang Shalat Asyuro adalah palsu sebagaimana disebutkan oleh imam Suyuthi dalam kitab al-La’ali al-Masnu’ah.

Tradisi Ngalap Berkah dilakukan dengan mengunjungi daerah keramat atau melakukan ritual-ritual, seperti mandi di grojogan (dengan harapan dapat membuat awet muda), melakukan kirab kerbau bule (kiyai slamet) di keraton Kasunan Solo, thowaf di tempat-tempat keramat, memandikan benda-benda pusaka, begadang semalam suntuk dan lain-lainnya. Ini semuanya merupakan kesalahan, sebab suatu hal boleh dipercaya mempunyai berkah dan manfaat jika dilandasi oleh dalil syar’i (Al Qur’an dan hadits) atau ada bukti bukti ilmiah yang menunjukkannya. Semoga Allah Ta’ala menghindarkan kita dari kesyirikan dan kebid’ahan yang membinasakan.

Menyikapi berbagai macam tradisi, ritual, dan amalan yang jauh dari ajaran Islam, bahkan cenderung mengarah pada bid’ah, takhayul dan syirik, maka marilah kita bertobat kepada Allah dan melaksanakan amalan-amalan sunnah di bulan Muharram seperti puasa. Rasulullah saw.  menjelaskan bahwa puasa pada hari ‘Asyura  menghapuskan dosa-dosa setahun yang telah berlalu.

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَن صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

Dari Abu Qatadah RA. Rasulullah ditanya tentang puasa hari ‘asyura, beliau bersabda: “Saya berharap ia bisa menghapuskan dosa-dosa satu tahun yang telah lewat.”  (HR. Muslim).

Demikian bayan dari Pusat Konsultasi Syariah Indonesia tentang keutamaan bulan Muharram, sebagai panduan umat Islam untuk mengisi bulan Muharram. Wallahu ’alam bishawwab.


Senin, 12 November 2012

PENGARAHAN UNTUK JAMAAH HAJI DAN UMRAH

PENGARAHAN  UNTUK JAMAAH HAJI DAN UMRAH

Oleh
Kumpulan Ulama

KEWAJIBAN-KEWAJIBAN BAGI JAMA'AH HAJI

[1]. Agar segera bertobat kepada Allah dengan sebenar-benarnya dari segala dosa, dan memilih harta yang halal untuk ibadah haji dan umrahnya.

[2]. Agar menjaga lidahnya dari dusta, menggunjing, mengadu domba dan menghina orang lain.

[3]. Dalam melaksanakan haji dan umrahnya, hendaklah bermaksud untuk mendapatkan ridha Illahi dan pahala akhirat, jauh dari rasa ingin dipandang, ingin tersohor dan berbangga diri.

[4]. Hendaklah mempelajari amalan-amalan yang disyariatkan dalam haji dan umrah, dan menanyakan hal-hal yang kurang jelas baginya.

[5]. Apabila telah sampai di miqat, diperbolehkan memilih antara haji Ifrad, Tammatu' dan Qiran. Haji Tammatu' lebih utama bagi yang tidak membawa binatang kurban, sedang bagi yang membawanya, lebih utama baginya melaksanakan haji Qiran.

[6]. Seseorang yang berihram, apabila ia merasa khawatir tidak dapat melanjutkan ibadah hajinya dikarenakan sakit, atau musuh, atau karena sebab lain, maka disyaratkan ketika berihram mengucapkan : "Inna mahallii haistuu habastanii" Artinya : Tempat tahallulku adalah di tempat ku tertahan".

[7]. Anak-anak yang masih kecil haji mereka adalah sah, hanya saja haji semacam itu belum termasuk haji fardhu.

[8]. Orang yang sedang berihram boleh mandi dan membasuh kepalanya atau menggaruknya dikala perlu.

[9]. Bagi wanita yang sedang berihram diperbolehkan untuk menutup wajahnya dengan kerudung apabila takut dilihat kaum pria.

[10]. Mengenakan ikat kepala dibawah kerudung agar mudah sewaktu membuka wajah, sebagaimana yang sering dilakukan oleh sebagian kaum wanita, tidak ada dasarnya dalam syari'at.

[11]. Bagi yang sedang berihram boleh mencuci kain ihramnya kemudian mengenakannya kembali dan boleh juga menggantinya dengan yang lain.

[12]. Seseorang yang sedang berihram, apabila ia mengenakan pakaian berjahit atau menutupi kepalanya atau memakai wangi-wangian karena lupa atau pun karena tidak tahu akan hukumnya, maka ia tidak dikenakan fidyah.

[13]. Bagi yang melakukan haji Tamattu' atau umrah, hendaklah menghentikan bacaan talbiyah apabila ia sampai di Ka'bah sebelum memulai Tawaf.

[14]. Ramal (lari-lari kecil) dan Idhtiba' (mengenakan selendang ihram dengan meletakkan sebagiannya di atas pundak kiri, dan bagian lain disebelah ketiak kanan), hanya dilakukan pada Tawaf Qudum saja, dan ramal itu dikhususkan pada tiga putaran pertama, lagi pula untuk kaum pria saja, tidak untuk wanita.

[15]. Seseorang yang sedang melakukan Tawaf, apabila ia ragu apakah sudah melakukan tiga putaran atau empat umpamanya, maka hendaklah dihitung tiga putaran. Demikian pula diwaktu Sa'i.

[16]. Boleh melakukan Tawaf dibelakang sumur Zamzam dan Maqam Ibrahim dikala penuh sesak, karena Masjid Haram seluruhnya merupakan tempat Tawaf.

[17]. Adalah termasuk perbuatan mungkar, jika seorang wanita melakukan Tawaf dengan memakai perhiasan dan wangi-wangian serta tidak menutup aurat.

[18]. Wanita yang sedang datang bulan atau baru bersalin setelah berihram, tidak boleh melakulan tawaf, kecuali setelah ia dalam keadaan suci.

[19]. Bagi wanita boleh berihram dengan mengenakan pakaian yang ia sukai, asalakan pakaian itu tidak menyerupai pakaian pria dan jangan sampai menampakkan perhiasan, tetapi hendaklah mengenakan pakaian yang tidak merangsang.

[20]. Melafalkan niat dalam ibadah selain Haji dan Umrah adalah bid'ah yang diada-adakan, lebih-lebih bila dilafalkan niat itu dengan suara keras.

[21]. Diharamkan bagi seorang muslim mukallaf melintasi miqat tanpa berihram, apabila ia bermaksud melakukan ibadah haji dan umrah.

[22]. Jama'ah haji atau umrah yang datang lewat udara, hendaklah berihram ketika berada sejajar dengan batas miqat, oleh karena itu hendaknya ia bersiap-siap untuk berihram sebelum naik pesawat.

[23]. Bagi yang tempat tinggalnya di daerah miqat, tidak perlu pergi ke salah satu tempat miqat, dan cukuplah tempat tinggalnya itu sebagi miqat untuk berihram haji dan umrah.

[24]. Memperbanyak umrah setelah menunaikan haji, dari Tan'im atau Jir'anah, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian jama'ah, adalah hal yang tidak ada dalilnya.

[25]. Hendaklah para jama'ah haji pada hari tarwiyah berihram dari tempat tinggalnya di Mekkah, dan tidak perlu berihram dari dalam kota Mekkah atau dari bawah Pancuran Emas Ka'bah, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian jama'ah haji. Dan tidak perlu baginya Tawaf Wada' ketika berangkat menuju Mina.

[26]. Berangkat dari Mina menuju Arafah pada tanggal 9 Dzu-l-Hijjah, lebih utama dilakukan setelah terbit matahari.

[27]. Tidak diperkenankan meninggalkan Arafah sebelum terbenam matahari.
Dan disaat berangkat setelah terbenam matahari, hendaknya dengan tenang dan penuh kekhusuan.

[28]. Shalat Maghrib dan Isya dilakukan setelah sampai di Muzdalifah, baik sampainya pada waktu Maghrib ataupun setelah masuk waktu Isya.

[29]. Memungut batu pelempar Jamrah, boleh dilakukan dimana saja, dan tidak harus dipungut dari Muzdalifah.

[30]. Tidak disunatkan mencuci batu-batu itu, sebab hal itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah begitu pula para sahabat beliau. Dan agar jangan melontar dengan batu yang telah dipakai melontar.

[31]. Diperbolehkan bagi orang-orang yang lemah, seperti wanita, anak-anak kecil dan yang semisalnya, untuk berangkat menuju Mina saat lewat pertengahan malam.

[32]. Apabila telah sampai di Mina pada hari Raya, hendaknya jama'ah haji menghentikan bacaan Talbiyah, dan agar melontar Jamrah Aqabah dengan tujuh batu berturut-turut.

[33]. Tidak disyaratkan agar batu itu tinggal di tempat lontaran, tapi yang disyaratkan adalah jatuhnya batu di tempat lontaran itu.

[34]. Penyembelihan Qurban waktunya adalah sampai terbenam matahari pada hari Tasyriq yang ketiga menurut pendapat Ulama yang paling benar.

[35]. Tawaf Ifadhah atau Tawaf Ziyarah adalah salah satu rukun haji yang tidak dianggap sah haji seseorang apabila Tawaf itu ditinggalkan, dan ini hendaknya dilakukan pada Hari Raya, tapi boleh juga ditunda sampai setelah hari-hari Mina.

[36]. Bagi yang melakukan Haji Qiran, ia hanya wajib melakukan satu kali sa'i. Demikian pula bagi yang melakukan Haji Ifrad dan ia tetap berihram sampai hari nahr.

[37]. Bagi Jama'ah haji, lebih utama baginya melakukan amalan-amalan haji pada hari nahr dengan tertib, yaitu memulai dengan melontar Jamrah Aqabah kemudian menyembelih binatang kurban, lantas mencukur bersih atau memendekkan rambutnya, setelah itu Tawaf Ifadhah di Baitullah dan selanjutnya Sa'i. Dan boleh juga amalan-amalan tersebut dilakukan dengan tidak tertib, yaitu dengan mendahulukan atau mengakhirkan satu dari yang lainnya.

[38]. Tahalul penuh dapat dilaksanakan setelah melakukan hal-hal dibawah ini :
a). Melontar Jamrah Aqabah
b). Mencukur bersih atau memendekkan rambut
c). Tawaf Ifadhah dan Sa'i.

[39]. Apabila seorang jamaah haji menghendaki pulang secepatnya (pada tanggal 12) dari Mina. Maka harus keluar dari Mina sebelum terbenam matahari.

[40]. Anak kecil yang tidak mampu melontar, hendaklah diwakili oleh walinya setelah ia melontar untuk dirinya sendiri.

[41]. Begitu juga orang-orang yang tidak mampu melontar karena sakit atau lanjut usia atau karena hamil, boleh mewakilkan kepada orang lain untuk melontar.

[42]. Bagi yang mewakili, boleh melontar setiap jamrah dari ketiga jamrah itu untuk dirinya sendiri terlebih dahulu, kemudian untuk yang diwakilinya dalam satu tempat.

[43]. Bagi yang melakukan haji Tamattu' atau Qiran, sedang ia bukan penduduk Masjid Haram (Mekkah), wajib baginya membayar dam, yaitu seekor kambing, atau sepertujuh onta/sapi.

[44]. Bagi yang melakukan haji Tamattu' atau Qiran, dan ia tidak mampu menyembelih binatang kurban, maka ia diwajibkan untuk berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila telah pulang ke keluarganya.

[45]. Puasa tiga hari itu lebih utama dilakukan sebelum Hari Arafah, agar pada Hari Arafah itu ia dalam keadaan tidak berpuasa. Jika puasa itu belum dilakukan makan hendaklah dilakukan pada hari-hari Tasyriq.

[46]. Puasa tiga hari tersebut boleh dilakukan secara berturut-turut atau terpisah-pisah. Begitu pula puasa yang tujuh hari.

[47]. Tawaf Wada' hukumnya wajib bagi setiap jama'ah haji, kecuali bagi wanita yang sedang datang bulan atau baru bersalin.

[48]. Disunahkan berziarah ke Masjid Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik sebelum haji ataupun sesudahnya.

[49]. Bagi yang berziarah ke Masjid Nabawi, disunatkan memulai dengan shalat dua rakaat Tahiyat al-Masjid dimana saja di dalam Masjid. Dan yang lebih utama shalat dilakukan di Raudhah yang mulia.

[50]. Ziarah ke kubur Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan ke pekuburan lain, hanya disyari'atkan untuk kaum pria, bukan untuk kaum wanita, dengan syarat agar dilakukan tanpa bersusah payah.

[51]. Mengusap-ngusap dinding kubur Rasul, atau menciumnya ataupun mengelilinginya (bertawaf di sekitarnya), adalah perbuatan bid'ah yang mungkar, yang tidak pernah dilakukan oleh ulama-ulama Salaf. Lebih-lebih apabila ia mengelilinginya dengan maksud mendekatkan diri kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka hal itu adalah syirik besar.

[52]. Tidak boleh bagi seseorang memohon kepada Rasul agar beliau memenuhi hajatnya atau melepaskan dirinya dari kesulitan, sebab hal itu syirik.

[53]. Kehidupan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, didalam kubur adalah kehidupan alam barzakh, bukan seperti hidup di dunia sebelum wafatnya. Dan kehidupan itu hanya Allah saja yang mengetahui hakekat dan keadaannya.

[54]. Mengutamakan berdo'a didekat kubur Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, sambil menghadap kearahnya dengan mengangkat kedua belah tangan, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian penziarah, adalah termasuk bid'ah yang diada-adakan.

[55]. Ziarah ke kubur Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, bukanlah wajib, dan bukan merupakan suatu syarat dalam ibadah haji, sebagaimana anggapan sebagian orang awam.

[56]. Hadits-hadits yang dipergunakan sebagai dasar hukum oleh orang-orang yang membolehkan untuk bersusah-payah mendatangi kubur Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hadits-hadits yang lemah sanadnya atau hadits-hadits bikinan.

Kesalahan dalam berHaji

Kesalahan dalam berHaji

Oleh
Kumpulan Ulama


Pertama : Beberapa Kesalahan Dalam Ihram

Melewati miqat dari tempatnya tanpa berihram dari miqat tersebut, sehingga sampai di Jeddah atau tempat lain di daerah miqat, kemudian melakukan ihram dari tempat itu. Hal ini menyalahi perintah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mengharuskan setiap jama'ah haji agar berihram dari miqat yang dilaluinya.

Maka bagi yang melakukan hal tersebut, agar kembali ke miqat yang dilaluinya tadi, dan berihram dari miqat itu kalau memang memungkinkan. Jika tidak mungkin, maka ia wajib membayar fidyah dengan menyembelih binatang kurban di Mekkah dan memberikan keseluruhannya kepada orang-orang fakir. Ketentuan tersebut berlaku bagi yang datang lewat udara, darat maupun laut.

Jika tidak melintasi salah satu dari kelima miqat yang sudah maklum itu, maka ia dapat berihram dari tempat yang sejajar dengan miqat pertama yang dilaluinya.

Kedua : Beberapa Kesalahan Dalam Tawaf

[1] Memulai tawaf sebelum Hajar Aswad, sedang yang wajib haruslah dimulai dari Hajar Aswad.

[2] Tawaf didalam Hijr Ismail. Karena yang demikian itu berarti ia tidak mengelilingi seluruh Ka'bah, tapi hanya sebagiannya saja, karena Hijir Ismail itu termasuk Ka'bah. Maka dengan demikian Tawafnya tidak sah (batal).

[3] Ramal (berjalan cepat) pada seluruh putaran yang tujuh. Padahal ramal itu hanya dilakukan pada tiga putaran pertama, dan itupun tertentu dalam tawaf Qudum saja.

[4] Berdesak-desakan untuk dapat mencium Hajar Aswad, dan kadang-kadang sampai pukul-memukul dan saling mencaci-maki. Hal itu tidak boleh, karena dapat menyakiti sesama muslim disamping memaki dan memukul antar sesama muslim itu dilarang kecuali dengan jalan yang dibenarkan oleh Agama. Tidak mencium Hajar Aswad sebenarnya tidak membatalkan Tawaf, bahkan Tawafnya tetap dinilai sah sekalipun tidak menciumnya. Maka cukuplah dengan berisyarat (mengacungkan tangan) dan bertakbir disaat berada sejajar dengan Hajar Aswad, walaupun dari jauh.

[5] Mengusap-ngusap Hajar Aswad dengan maksud untuk mendapatkan barakah dari batu itu. Hal ini adalah bid'ah, tidak mempunyai dasar sama sekali dalam syari'at Islam. Sedang menurut tuntunan Rasulullah cukup dengan menjamah dan menciumnya saja, itupun kalau memungkinkan.

[6] Menjamah seluruh pojok Ka'bah, bahkan kadang-kadang menjamah dan mengusap-ngusap seluruh dindingnya. Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah menjamah bagian-bagian Ka'bah kecuali Hajar Aswad dan Rukun Yamani saja.

[7] Menentukan do'a khusus untuk setiap putaran dalam tawaf. Karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun yang beliau lakukan setiap melewati Hajar Aswad adalah bertakbir dan pada setiap akhir putaran antara Hajar Aswad dan rukun Yamani beliau membaca :" Rabbanaa aatinaa fi-d-dunyaa hasanah wa fil akhirati hasanah wa qinaa 'adzaa ba-n-naar" Artinya : Wahai Tuhan kami, berilah kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari siksaan api neraka".

[8] Mengeraskan suara pada waktu Tawaf sebagaimana dilakukan oleh sebagian jama'ah atau para Mutawwif, yang dapat mengganggu orang lain yang juga melekukan tawaf.

[9] Berdesak-desakan untuk melakukan shalat di dekat Maqam Ibrahim. Hal ini menyalahi sunnah, disamping mengganggu orang-orang yang sedang Tawaf. Maka cukup melakukan shalat dua raka'at Tawaf itu di tempat lain didalam Masjid Haram

Ketiga : Beberapa Kesalahan Dalam Sa'i.

[1] Ada sebagian jama'ah haji, ketika naik ke atas Safa dan Marwah, mereka menghadap Ka'bah dan mengangkat tangan ke arahnya sewaktu membaca takbir, seolah-olah mereka bertakbir untuk shalat. Hal ini keliru, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua telapak tangan beliau yang mulia hanyalah di saat berdo'a. Di bukit itu, cukuplah membaca tahmid dan takbir serta berdo'a kepada Allah sesuka hati sambil menghadap Kiblat. Dan lebih utama lagi membaca dzikir yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, saat beliau di bukit Safa dan marwah.

[2] Berjalan cepat pada waktu Sa'i antara Safa dan Marwah pada seluruh putaran. Padahal menurut sunnah Rasul, berjalan cepat itu hanyalah dilakukan antara kedua tanda hijau saja, adapaun yang lain cukup dengan berjalan biasa.

Keempat : Beberapa Kesalahan di Arafah

[1] Ada sebagian jama'ah haji yang berhenti di luar batas Arafah dan tetap tinggal di tempat tersebut hingga terbenam matahari. Kemudian mereka berangkat ke Muzdalifah tanpa berwuquf di Arafah. Ini suatu kesalahan besar, yang mengakibatkan mereka tidak mendapatkan arti haji. Karena sesungguhnya haji itu ialah wuquf di Arafah, untuk itu mereka wajib berada di dalam batas Arafah, bukan diluarnya. Maka hendaklah mereka selalu memperhatikan hal wuquf ini dan berusaha untuk berada dalam batas Arafah. Jika mendapatkan kesulitan, hendaklah mereka memasuki Arafah sebelum terbenam matahari, dan terus menetap disana hingga terbenam matahari. Dan cukup bagi mereka masuk Arafah di waktu malam khususnya pada malam hari raya kurban.

[2] Ada sebagian mereka yang pergi meninggalkan Arafah sebelum terbenam matahari. Ini tidak boleh, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, melakukan wuquf di Arafah sampai matahari terbenam dengan sempurna.
Berdesak-desakan untuk dapat naik ke atas gunung Arafah dan sampai ke puncaknya, yang dapat menimbulkan banyak mudarat. Sedangkan seluruh padang Arafah adalah tempat berwuquf, dan naik ke atas gunung Arafah tidak disyari'atkan, begitu juga shalat di tempat itu.

[3] Ada sebagian jama'ah haji yang menghadap ke arah gunung Arafah ketika berdo'a. Sedang menurut sunnah, adalah menghadap Kiblat.

[4] Ada sebagian jama'ah haji membikin gundukan pasir dan batu kerikil pada hari Arafah di tempat-tempat tertentu. Ini suatu perbuatan yang tidak ada dasarnya sama sekali dalam syari'at Allah.

Kelima : Beberapa Kesalahan di Muzdalifah

Sebagian jama'ah haji, di saat pertama tiba di Muzdalifah, sibuk dengan memungut batu kerikil sebelum melaksanakan shalat Maghrib dan Isya dan mereka berkeyakinan bahwa batu-batu kerikil pelempar Jamrah itu harus diambil dari Muzdalifah.

Yang benar, adalah dibolehkannya mengambil batu-batu itu dari seluruh tempat di Tanah Haram. Sebab keterangan yang benar dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya beliau tak pernah menyuruh agar dipungutkan untuk beliau batu-batu pelempar Jamrah Aqabah itu dari Muzdalifah. Hanya saja beliau pernah dipungutkan untuknya batu-batu itu diwaktu pagi ketika meninggalkan Muzdalifah setelah masuk Mina

Ada pula sebagian mereka yang mencuci batu-batu itu dengan air, padahal inipun tidak disyari'atkan.

Keenam : Beberapa Kesalahan Ketika Melempar Jamrah

[1] Ketika melempar Jamrah, ada sebagian jama'ah haji yang beranggapan, bahwa mereka itu adalah melempar syaithan. Mereka melemparnya dengan penuh kemarahan disertai dengan caci maki terhadapnya. Padahal melempar Jamrah itu hanyalah semata-mata disyari'atkan untuk melaksanakan dzikir kepada Allah.

[2] Sebagian mereka melempar Jamrah dengan batu besar, atau dengan sepatu, atau dengan kayu. Perbuatan ini adalah berlebih-lebihan dalam masalah agama, yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang disyariatkan dalam melemparnya hanyalah dengan batu-batu kecil sebesar kotoran kambing.

[3] Berdesak-desakan dan pukul-memukul didekat tempat-tempat Jamrah untuk dapat melempar. Sedang yang disyari'atkan adalah agar melempar dengan tenang dan hati-hati, dan berusaha semampu mungkin tanpa menyakiti orang lain.

[4] Melemparkan batu-batu tersebut seluruhnya sekaligus. Yang demikian itu hanya dihitung satu batu saja, menurut pendapat para Ulama. Dan yang disyariatkan, adalah melemparkan batu satu persatu sambil bertakbir pada setiap lemparan.

[5] Mewakilkan untuk melempar, sedangkan ia sendiri mampu, karena menghindari kesulitan dan desak-desakan. Padahal mewakilkan untuk melempar itu hanya dibolehkan jika ia sendiri tidak mampu, karena sakit atau semacamnya.

Ketujuh : Beberapa Kesalahan Dalam Tawaf Wada'.

[1] Sebagian jamaah haji meninggalkan Mina pada hari Nafar (tgl. 12 atau 13 Dzu-l-Hijjah) sebelum melempar Jamrah, dan langsung melakukan Tawaf Wada', kemudian kembali ke Mina untuk melempar Jamrah. Setelah itu, mereka langsung pergi dari sana menuju negara masing-masing ; dengan demikian akhir perjumpaan mereka adalah dengan tempat-tempat Jamrah, bukan dengan Baitullah. Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Artinya : Janganlah sekali-kali seseorang meninggalkan Mekkah, sebelum mengakhiri perjumpaannya (dengan melakukan Tawaf) di Baitullah". Maka dari itu, Tawaf Wada wajib dilakukan setelah selesai dari seluruh amalan haji, dan langsung beberapa saat sebelum bertolak. Setelah melakukan Tawaf Wada' hendaknya jangan menetap di Mekkah, kecuali untuk sedikit keperluan.

[2] Seusai melakukan Tawaf Wada', sebagian mereka keluar dari Masjid dengan berjalan mundur sambil menghadapkan muka ke Ka'bah, karena mereka mengira bahwa yang sedemikian itu adalah merupakan penghormatan terhadap Ka'bah. Perbuatan ini adalah bid'ah, tidak ada dasarnya sama sekali dalam agama.

[3] Saat sampai di pintu Masjid Haram, setelah melakuan Tawaf Wada', ada sebagian mereka yang berpaling ke Ka'bah dan mengucapkan berbagai do'a seakan-akan mereka mengucapkan selamat tinggal kepada Ka'bah. Ini pun bid'ah, tidak disyari'atkan.

Kedelapan : Beberapa Kesalahan Ketika Ziarah ke Masjid Nabawi

[1] Mengusap-ngusap dinding dan tiang-tiang besi ketika menziarahi kubur Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mengikatkan benang-benang atau semacamnya pada jendela-jendela untuk mendapatkan berkah. Sedangkan keberkahan hanyalah terdapat dalam hal-hal yang disyari'atkan oleh Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, bukan dalam bid'ah.

[2] Pergi ke gua-gua di Gunung Uhud, begitu juga ke Gua Hira dan Gua Tsur di Mekkah, dan mengikatkan potongan-potongan kain di tempat tempat itu, disamping membaca berbagai do'a yang tidak diperkenankan oleh Allah, serta bersusah payah untuk melakukan hal-hal tersebut. Kesemuanya ini adalah bid'ah, tidak ada dasarnya sama sekali dalam Syari'at Islam yang suci ini.

[3] Menziarahi beberapa tempat yang dianggapnya sebagai tanda peninggalan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, seperti tempat mendekamnya unta Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sumur khatam mupun sumur Usman, dan mengambil pasir dari tempat-tempat ini dengan mengharapkan barakah.

[4] Memohon kepada orang-orang yang telah mati ketika berziarah ke pekuburan Baqi' dan Syhadah Uhud, serta melemparkan uang ke pekuburan itu demi mendekatkan diri dan mengharapkan barakah dari penghuninya. Ini adalah termasuk kesalahan besar, bahkan termasuk perbuatan syirik yang terbesar, menurut pendapat para Ulama, berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya ibadah itu hanyalah ditujukan kepada Allah semata, tidak boleh sama sekali mengalihkan tujuan ibadah selain kepada Allah, seperti dalam berdo'a, menyembelih kurban, bernadzar dan jenis ibadah lainnya, karena firman Allah :

"Artinya : Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama".

Dan firman-Nya :

"Artinya : Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun disamping menyembah Allah".

Kita memohon kepada Allah, semoga Ia memperbaiki keadaan ummat Islam ini dan memberi mereka kefahaman dalam agama serta melindungi kita dan seluruh ummat Islam dari fitnah-fitnah yang menyesatkan. Sesungguhnya Ia Maha Mendengar dan Mengabulkan do'a hamba-Nya.

MAKNA RAFATS, FASIK DAN JIDAL DALAM HAJI

MAKNA RAFATS, FASIK DAN JIDAL DALAM HAJI

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : "Artinya : (Musim) haji adalah dalam beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji. maka tidak boleh rafat, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji" [Al-Baqarah : 197]

Apakah yang dimaksud rafats. fasik, dan jidal yang dilarang dalam haji ? Dan apakah orang yang dimaksud berbantah-bantahan dan berlebih-lebihan dalam melakukan hal-hal yang tidak berguna ketika melaksanakan haji dan menjadikan hajinya batal .?

Jawaban.
Ulama menafsirkan bahwa rafats adalah melakukan senggama dan hal-hal yang mengarah kepadanya. Sedangkan fasik adalah semua perbuatan maksiat. Adapun jidal maka ulama menafsirkan dengan perdebatan dalam hal-hal yang tidak berguna, atau dalam hal-hal yang telah dijelaskan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Dan termasuk dalam perdebatan yang dilarang adalah semua perdebatan yang menyebabkan kegaduhan, mudharat kepada orang lain atau mengurangi ketentraman. Atau bahwa yang dimaksudkan perdebatan yang dilarang adalah perdebatan yang menyerukan kebatilan dan mengaburkan kebenaran. Sedangkan perdebatan dengan cara yang baik untuk menjelaskan kebenaran sebagai kebenaran, dan kebatilan sebagai kebatilan adalah perdebatan yang dibenarkan dalam syari'at Islam dan tidak termasuk perdebatan yang dilarang ketika haji.

Ketiga hal tersebut tidak membatalkan haji kecuali senggama yang dilakukan sebelum tahallaul awal. Tapi ketiganya mengurangi pahal haji, mengurangi iman, dan melemahkannya. Maka kewajiban setiap orang yang melaksanakan haji dan umrah adalah menjauhi ketiga hal tersebut, karena mereka sedang melaksanakan perintah Allah dan berkeinginan mendapat kesempurnaan haji dan umrahnya.

FAIDAH MENINGGALKAN RAFATS DAN SEMUA PERBUATAN MAKSIAT DALAM HAJI

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Dalam hadits disebutkan : "Artinya : Barangsiapa haji dan dia tidak rafats, dan tidak berbuat fasik, maka dia kembali seperti hari ketika dia dilahirkan ibunya" [Hadits Riwayat Ahmad, Bukhari, Nasa'i dan Ibnu Majah]

Apakah dengan meilhat hadits ini, maka haji dapat menghapuskan semua dosa yang telah dilakukan seseorang sebelum haji .?

Jawaban.
Hadits tersebut termasuk hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan hadits ini terdapat kabar gembira, bahwa orang mukmin yang melaksanakan haji dengan cara tersebut, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya. Sebab ketika dia meninggalkan rafats dan perbuatan fasik, maka dia telah bertaubat kepada Allah dengan taubatan nashuha. Sedangkan orang yang bertaubat dijanjikan Allah dengan ampunan.

Adapun arti rafats adalah melakukan hubungan badan ketika sedang ihram dan hal-hal yang mengarah kepadanya, baik dalam bentuk ucapam maupun perbuatan. Sedangkan fasik adalah semua perbuatan maksiat. Maka siapa yang meninggalkan rafats dan perbuatan fasik dalam hajinya, maka diampuni semua dosanya, dan diantara perbuatan fasik adalah terus menerus dalam maksiat. Siapa yang terus-menerus dalam kemaksiatan berarti dia tidak meninggalkan perbuatan fasik, dan dia tidak mendapatkan apa sebagaimana yang dijanjikan dalam hadits. Sebab hadits tersebut adalah seperti sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Haji yang mabrur itu balasannya adalah surga" [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

Sedangkan tanda haji yang mabrur adalah melaksanakan semua kewajiban dan meninggalkan semua kemaksiatan dengan tanpa sedikitpun terus-menerus dalam suatu perbuatan maksiat. Maka kewajiban setiap Muslim, baik yang sedang haji atau yang tidak adalah menghindari semua perbuatan maksiat dan bersegera bertaubat kepada Allah dengan meninggalkan semua perbuatan maksiat tersebut, disertai kemauan keras untuk tidak mengulangi lagi karena mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berkeinginan mendapatkan apa yang ada di sisi-Nya. Di antara bentuk taubat yang sempurna, yaitu jika kesalahannya berkaitan dengan hak manusia, maka harus mengembalikan kepada orang yang berhak atau minta dihalalkan olehnya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan bertaubatlah kepada Allah kamu semua wahai orang-orang yang beriman agar kamu mendapatkan keberuntungan" [An-Nur : 31]

Dan Allah berfirman.

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kamu kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, mudah-mudahan Rabbmu menghapuskan kesalahan-kesalahanmu, dan memasukkan kamu ke dalam surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai" [At-Tahrim : 8]
Maka barangsiapa taubat dengan sebenar-benarnya, niscaya dia menjadi orang beruntung karena Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahan dan memasukkannya ke dalam surga.

Kami memohon kepada Allah semoga Allah memberikan taufiq kepada Muslimin yang sedang haji mupun yang tidak haji dalam bertaubat kepada Allah dengan taubatan nashuha dan istiqomah dalam kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha dekat.

BERDESAK-DESAKAN DALAM IBADAH HAJI

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sebagian manusia sengaja berdesak-desakan ketika melaksanakan sebagian syari'at haji. Apakah haji mereka sah ataukah batal ?

Jawaban.
Tidak batal haji mereka sebab berdesak-desakan, tapi mereka berdosa jika sengaja berdesak-desakan tanpa alasan. Sebab dalam berdesak-desakan terdapat unsur kezaliman, menyakiti orang-orang yang melaksanakan haji dan menyebabkan mereka lari dari haji. Tapi jika seseorang berdesak-desakan bukan karena sengaja bahkan disebabkan desakan orang lain kepadanya, maka insya Allah dia tidak berdosa. Sebab Allah berfirman.
"Artinya : Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu" [At-Taghabun : 16]

Allah juga berfirman.

"Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya" [Al-Baqarah : 286]

Allah adalah yang memberikan taufiq kepada kebenaran.

MENENTUKAN SYARAT DALAM NIAT HAJI BAGI ORANG YANG KHAWATIR

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Jika orang yang ihram khawatir tidak mampu melaksanakan manasiknya sampai selesai sebab sakit atau karena takut, apa yang dia lakukan ?

Jawaban
Jika seseorang ihram, maka ketika niat ihrmanya boleh mengatakan :

"Artinya : Jika terdapat sesuatu yang menghalangiku, maka tempatku ketika aku terhalang"

Sebab terdapat riwayat shahih bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan Dhaba'ah bin Zubair bin Abdul Muthalib untuk menentukan syarat niat dalam haji, ketika dia mengadukan sakit kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ihram dari Miqat

WAJIB IHRAM DARI MIQAT
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Pada bulan Rajab tahun 1405H saya berniat umrah tapi saya telah melewati miqat Yalamlam, miqat penduduk Yaman dan saya belum berihram. Ketika saya bertemu salah satu kawan saya dinasehati -semoga Allah membalas kebaikan kepadanya- agar saya kembali lagi ke Yalamlam. Dan ia berkata, bahwa saya tidak boleh masuk Mekkah degan baju biasa. Maka saya kembali dalam jarak 3 km dan saya ihram dari miqat tersebut. Mohon penjelasan, apakah saya wajib membayar dam jika saya masuk Mekkah dengan tanpa ihram ? Dan apakah saya boleh ihram dari tempat saya bertemu teman saya yang menasehati saya untuk lembali, ataukah saya harus kembali le miqat ?

Jawaban
Kewajiban orang yang pergi ke Mekkah untuk haji atau umrah adalah ihram dari miqat yang dilewatinya dan tidak boleh melewati miqat tersebut tanpa ihram. Sebab ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan beberaoa miqat, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Tempat-tempat miqat ini adalah bagi penduduknya dan bagi orang-orang yang melewatinya dari mereka yang bukan penduduknya, yaitu bagi orang yang ingin haji dan umrah. Dan barangsiapa yang tempat tinggalnya lebih dekat ke Mekkah daripada tempat-tempat miqat tersebut maka dia ihram dari tempat ia berada, hingga bagi pendukuk Mekkah, maka mereka berihram dari Mekkah" [Muttafaqun 'Alaihi]

Karena itu jika seseorang dari Yaman lewat Yalamlam maka dia wajib ihram ketika di Yalamlam. Dan jika dia lewat Madinah maka dia ihram dari miqat penduduk Madinah, jika datang lewat Najd maka dia wajib ihram dari miqat penduduk Najd, dan begitu seterusnya. Maka jika telah melewati miqat dan belum ihram, ia wajib kembali untuk ihram. Dan orang yang menasehati anda untuk kembali ke Yalamlam maka sangat bagus sekali, dan anda juga telah benar karena kembali ke miqat, Alhamdulillah . Seandainya ihram dari tempat anda dinasehti teman anda, maka wajib membayar dam karena anda bertujuan umrah dan telah melewati miqat. Adapun dam itu adalah sepertujuh unta, atau sepertujuh sapi, atau satu kambing dan harus disembelih di Mekkah untuk dibagikan kepada orang-orang miskin tanah haram sebagai pelengkap umrah. Dan Allah adalah yang memberikan taufiq kepada kebenaran.

WAJIB IHRAM DARI MIQAT

WAJIB IHRAM DARI MIQAT

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Pada bulan Rajab tahun 1405H saya berniat umrah tapi saya telah melewati miqat Yalamlam, miqat penduduk Yaman dan saya belum berihram. Ketika saya bertemu salah satu kawan saya dinasehati -semoga Allah membalas kebaikan kepadanya- agar saya kembali lagi ke Yalamlam. Dan ia berkata, bahwa saya tidak boleh masuk Mekkah degan baju biasa. Maka saya kembali dalam jarak 3 km dan saya ihram dari miqat tersebut. Mohon penjelasan, apakah saya wajib membayar dam jika saya masuk Mekkah dengan tanpa ihram ? Dan apakah saya boleh ihram dari tempat saya bertemu teman saya yang menasehati saya untuk lembali, ataukah saya harus kembali le miqat ?

Jawaban
Kewajiban orang yang pergi ke Mekkah untuk haji atau umrah adalah ihram dari miqat yang dilewatinya dan tidak boleh melewati miqat tersebut tanpa ihram. Sebab ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan beberaoa miqat, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Tempat-tempat miqat ini adalah bagi penduduknya dan bagi orang-orang yang melewatinya dari mereka yang bukan penduduknya, yaitu bagi orang yang ingin haji dan umrah. Dan barangsiapa yang tempat tinggalnya lebih dekat ke Mekkah daripada tempat-tempat miqat tersebut maka dia ihram dari tempat ia berada, hingga bagi pendukuk Mekkah, maka mereka berihram dari Mekkah" [Muttafaqun 'Alaihi]

Karena itu jika seseorang dari Yaman lewat Yalamlam maka dia wajib ihram ketika di Yalamlam. Dan jika dia lewat Madinah maka dia ihram dari miqat penduduk Madinah, jika datang lewat Najd maka dia wajib ihram dari miqat penduduk Najd, dan begitu seterusnya. Maka jika telah melewati miqat dan belum ihram, ia wajib kembali untuk ihram. Dan orang yang menasehati anda untuk kembali ke Yalamlam maka sangat bagus sekali, dan anda juga telah benar karena kembali ke miqat, Alhamdulillah . Seandainya ihram dari tempat anda dinasehti teman anda, maka wajib membayar dam karena anda bertujuan umrah dan telah melewati miqat. Adapun dam itu adalah sepertujuh unta, atau sepertujuh sapi, atau satu kambing dan harus disembelih di Mekkah untuk dibagikan kepada orang-orang miskin tanah haram sebagai pelengkap umrah. Dan Allah adalah yang memberikan taufiq kepada kebenaran.

HUKUM IHRAM DARI JEDDAH

HUKUM IHRAM DARI JEDDAH

Oleh
Lembaga Hukum Islam [Al-Majma' Al-Fiqhi Al-Islamiyah]

Lembaga Hukum Islam (Al-Majma' Al-Fiqhi Al-Islamiyah) di Mekkah Al-Mukarramah mendiskusikan tema : "Hukum-Ihram di Jeddah". Demikian itu adalah karena tidak tahunya banyak orang yang datang ke Mekkah untuk haji dan umrah lewat udara dan laut tentang arah tempat-tempat miqat yang telah ditentukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau mewajibkan ihram dari tempat-tempat tersebut kepada penduduknya dan orang-orang yang melewatinya dan selain penduduk yang ingin haji dan umrah.

Setelah saling mempelajari dam memaparkan dalil-dalil syar'i tentang hal tersebut maka majelis menetapkan sebagai berikut.

Pertama.
Sesungguhnya tempat-tempat miqat yang ditentukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau mewajibkan ihram darinya kepada penduduknya dan orang-orang yang melewatinya dari selain penduduknya yang ingin haji dan umrah adalah Dzulhulaifah untuk penduduk Madinah dan orang-orang yang melewatinya dari selain penduduk Madinah, dan tempat itu sekarang dinamakan Abyar Ali (untuk jama'ah haji Indonesia lebih populer dengan nama Bi'r Ali -pent), lalu Juhfah bagi penduduk Syam (Yordania, Suriah, Palestina dan Libanon) dan Mesir, dan orang-orang yang melewatinya dari selain penduduk beberapa negara tersebut, dan sekarang tempat itu dinamakan Rabigh, lalu di Qarnul Manazil bagi penduduk Najd dan orang-orang yang melewatinya dari selain penduduk Najd, dan tempat itu sekarang dinamakan Wadi Muhrim, dan juga dinamakan Al-Sayl, lalu di Dzatu 'Irq bagi penduduk Irak dan Iran serta orang-orang yang melewati dua negara tersebut, dan tempat itu sekarang dinamakan Al-Dharibah, lalu di Yalamlam bagi penduduk Yaman dan orang-orang yang melewatinya dari selain penduduk Yaman dan orang-orang yang melewatinya dari selain penduduk Yaman.

Mereka menerapkan wajibnya ihram kepada orang-orang yang niat haji dan umrah jika mereka berada pada lokasi yang searah tempat terdekat dari lima miqat tersebut, baik mereka yang lewat udara maupun lewat laut. Dan jika mereka mengalami kebingungan terhadap hal tersebut dan tidak mendapatkan orang yang mebimbing mereka pada tempat yang searah dengan lima miqat tersebut maka mereka harus bersikap hati-hati dengan ihram sebelum tempat-tempat miqat tersebut. Sebab ihram sebelum miqat diperbolehkan namun termasuk makruh tapi sah hukumnya. Dan dengan kehati-hatian serta pencermatan karena takut melewati miqat tanpa ihram maka hilanglah kemakruhan. Sebab tiada hukum makruh dalam melakasanakan kewajiban.

Dan semua ulama dalam empat madzhab menyebutkan apa yang telah kami sebutkan. Dan untuk itu mereka berpedoman dengan hadits-hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menentukan beberapa miqat kepada orang-orang yang haji dan umrah. Mereka juga berpedoman kepada riwayat shahih dari Amiril Mu'minin Umar bin Khaththab radhiallahu 'anhu ketika penduduk Iraq berkata kepadanya : "Sesungghnya Qarnul Manazil sangat merepotkan jalan kami". Maka beliau berkata kepada mereka : "Perhatikanlah arahnya dari jalanmu".

Sebagaimana ulama empat mazhab juga mengatakan : "Sebab sesungguhnya Allah mewajibkan kepada hamba-hamba-Nya untuk bertakwa kepada-Nya menurut kadar kemampuan. Itulah yang mampu dilakukan oleh orang-orang yang tidak melewati miqat-miqat yang telah ditentukan".

Jika hal ini diketahui, maka bagi orang-orang yang haji dan umrah lewat jalan udara dan laut serta yang lainnya tidak boleh mengakhirkan ihram sampai mereka tiba di Jeddah. Sebab Jeddah tidak termasuk miqat yang dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian pula orang-orang yang tidak membawa pakaian ihram, maka mereka juga tidak boleh mengakhirkan ihram sampai ke Jeddah. Bahkan yang wajib atas mereka adalah ihram dengan celana jika mereka tidak mempunyai kain. Sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Barangsiapa yang tidak mendapatkan sandal maka hendaklah dia memakai khuf. Dan siapa yang tidak mendapatkan kain maka hendaklah dia memakai celana (panjang)" [Hadits Riwayat Ahmad, Muslim dan lainnya]

Dan orang yang sedang berihram dia wajib membuka kepala. Sebab ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang apa yang dipakai orang yang ihram beliau berkata :

"Artinya : Janganlah dia memakai qamis, surban, celana, tutup kepala dan khuf kecuali orang yang tidak mendapatkan sandal" [Muttafaqun 'alaih]

Karena itu di kepala orang yang sedang ihram tidak boleh ada surban, peci atau penutup kepala yang lain. Jika dia mempunyai surban yang panjang yang memungkinkan dijadikan kain, maka hendaklah surbannya dijadikan kain, dan dia tidak boleh memakai celana dan harus menggantinya dengan kain jika dia mampu untuk hal itu. Tapi jika dia tidak mempunnyai celana dan juga tidak mempunyai surban yang dapat dijadikan kain ketika dia sampai tempat yang searah miqat ketika di kapal terbang atau kapal laut, maka dia ihram dengan qamis yang dimilikinya dan harus membuka kepala. Dan jika dia sampai di Jeddah dia membeli kain dan melepas qamis. Dan karena dia memakai qamis ketika sudah sampai tempat yang searah dengan miqat maka dia wajib membayar kifarat, yaitu memberi makan enam orang miskin, masing-masing satu setengah sha dari makanan pokok seperti kurma, beras, atau yang lain, atau berpuasa tiga hari, atau memotong kambing. Dan dia dapat memilih dari salah satu dari tiga kafarat tersebut dijelaskan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Ka'b bin 'Ajrah ketika minta izin kepada Nabi untuk mencukur rambut ketika dia ihram karena sakit yang menimpanya.

Kedua.
Majelis merekomendasikan kepada Ketua Umum Rabithah 'Alam Al-Islami untuk mengrim surat kepada perusahaan penerbangan dan kapal laut agar mengingatkan para penumpang sebelum dekat miqat bahwa mereka akan melewati miqat dalam tempat yang memungkinkan mempersiapkan ihram.

Ketiga.
Anggota Majelis Al-Majma Al-Fiqhi Al-Islami berbeda dengan Syaikh Musthofa Ahmad Al-Zarqa' dalam hal tersebut. Sebagaimana Syaikh Abu Bakar Mahmud Jumi berbeda dengan anggota majelis dalam masalah orang-orang yang datang dari Sawakin ke Jeddah saja. Dan atas dasar ini, maka dilakukan penandatanganan oleh majelis.

Allah adalah yang memberikan taufiq kepada kebenaran. Dan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam juga kepada keluarga dan sahabatnya.

TATA CARA HAJI

TATA CARA HAJI (HARI TARWIYAH)

Oleh
Yusuf bin Abdullah bin Ahmad Al-Ahmad


Hari tarwiyah adalah hari kedelapan dari bulan Dzul Hijjah. Disebut demikian karena pada hari itu orang-orang mengenyangkan diri dengan minum air untuk (persiapan ibadah) selanjutnya.

Pekerjaan-pekerjaan pada hari tarwiyah:
1. Disunnahkan bagi orang yang menunaikan haji tamattu' untuk melakukan ihram haji pada hari tersebut, yakni dari tempat di mana ia singgah. Maka, hendaknya ia mandi dan mengusapkan wewangian di tubuhnya, tidak mengenakan kain yang berjahit, dan ia ihram dengan selendang, kain dan sandal.

Adapun bagi wanita, maka hendaknya ia mandi dan menggunakan pakaian apa saja yang dikehendakinya dengan syarat tidak menampakkan perhiasannya, tidak memakai penutup muka, juga tidak memakai kaos tangan.

2. Selanjutnya Anda mengucapkan: لَبَّيك حجًًّا (Aku penuhi panggilanMu untuk menunaikan ibadah haji). Jika ditakutkan ada halangan maka Anda disunnahkan memberi syarat dengan mengucapkan:

فإِ نْ حَبَسَنِِي حَا بِسٌ فَمَحَلّي حَيْثُ حَبَسْتَنِيْ

Jika aku terhalang oleh suatu halangan maka tempat (tahallul)ku adalah di mana Engkau menahanku.

Selanjutnya ucapkanlah talbiyah:

لَبََّيْكَ اَللَّهُمَّ لَبَّيْكَ،لَبَّيْكَ لاَ شَريْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ والْمُلكَ، لاَشَرِيْكَ لَكَ

Labbaika Allahumma labbaika, Labbaika Laa Syariika laka labbaika, innal hamda wanni'mata laka wal mulka, laa syariika laka

Aku penuhi panggilanMu ya Allah, aku penuhi panggilanMu, aku penuhi panggilanMu, tidak ada sekutu bagiMu, aku penuhi panggilanMu. Sesungguh-nya segala puji, kenikmatan dan kerajaan adalah milikMu, tidak ada sekutu bagiMu."

Demikian Anda terus mengumandangkan talbiyah dengan mengeraskan suara, sampai Anda melempar jumrah aqabah pada hari Nahar (kurban).

3. Pada malam ini Anda disunnahkan bermalam di Mina.

4. Dan di Mina, Anda disunnahkan menunaikan shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya' dan Shubuh pada hari Arafah, semuanya dilakukan dengan qashar, tanpa jama'.

Setiap Haji hendaknya memanfaatkan waktu-waktu luangnya untuk sesuatu yang bermanfaat. Seperti mendengarkan ceramah agama, membaca Al-Qur'an, membaca buku tentang manasik haji dsb.

HARI ARAFAH
1. Jika matahari terbit pada hari Arafah (hari kesembilan dari bulan Dzul Hijjah), maka setiap Haji berangkat dari Mina ke Arafah, seraya mengumandangkan talbiyah atau takbir. Hal itu sebagaimana telah dilakukan oleh para sahabat Radhiyallahu 'anhum, sedang mereka bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ; ada yang mengumandangkan talbiyah dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkarinya, ada yang bertakbir dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga tidak mengingkarinya.

Jika matahari telah tergelincir, maka ia shalat Zhuhur dan Ashar secara jama' qashar dengan satu adzan dan dua iqamat. Sebelum shalat, imam menyam-paikan khutbah yang materinya sesuai dengan keadaan (ibadah haji, pen.).

2. Setelah shalat, setiap Haji menyibukkan diri dengan dzikir, do'a dan merendahkan diri kepada AllahAzza wa Jalla. Sebaiknya berdo'a dengan mengangkat kedua tangan dan menghadap kiblat hingga terbenamnya matahari. Demikian seperti yang dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Karena itu, setiap Haji hendaknya tidak menyia-nyiakan kesempatan yang agung ini. Hendaknya ia mengulang-ulang serta memperbanyak do'a, juga hendaknya ia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sejujur-jujurnya.

Para Haji, di bawah ini beberapa nash yang menunjukkan keutamaan hari Arafah:

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

الْحَجُّ عَرَفَة

Haji adalah Arafah. [HR. Ahmad dan para penulis kitab Sunan, shahih].

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Tidak ada hari yang ketika itu Allah lebih banyak membebaskan hamba dari (siksa) Neraka selain hari Arafah. Dan sungguh ia telah dekat, kemudian Allah membanggakan mereka di hadapan para malaikat, seraya berfirman, 'Apa yang mereka kehendaki?'" [HR. Muslim].

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَفْضَلُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّوْنَ عَشِيَّةَ عَرَفَةَ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ،

Yang paling utama aku ucapkan, juga yang diucapkan oleh para nabi pada sore hari Arafah adalah, 'Tidak ada sesembahan yang haq melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya, bagiNya kerajaan dan segala puji, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu'. [HR. Malik dan lainnya, shahih].

Peringatan:
1. Hendaknya setiap Haji yakin bahwa dirinya benar-benar berada di wilayah Arafah. Batasan-batasan Arafah itu dapat diketahui dengan spanduk-spanduk besar yang ada di sekeliling Arafah.

2. Masjid Namirah tidak semuanya berada di wilayah Arafah, tetapi sebagiannya berada di wilayah Arafah (bagian belakang masjid), dan sebagian lain berada di luar Arafah (bagian depan masjid).

3. Sebagian orang mengira jika jabal (bukit) Arafah (biasa disebut jabal Rahmah, pen.) memiliki keutamaan. Ini adalah tidak benar.

4. Sebagian Haji tergesa-gesa, sehingga keluar dari Arafah menuju Muzdalifah sebelum tenggelamnya matahari. Ini adalah salah. Yang wajib adalah tinggal di Arafah hingga tenggelamnya matahari.

BERMALAM DI MUZDALIFAH
Jika matahari telah tenggelam pada hari Arafah maka para Haji berduyun-duyun (meninggalkan) Arafah menuju Muzdalifah dengan tenang, diam dan tidak berdesak-desakan. Jika telah sampai Muzdalifah ia shalat Maghrib dan Isya' secara jama' qashar dengan satu adzan dan dua iqamat.

Diharamkan mengakhirkan shalat Isya' hingga lewat pertengahan malam, berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Waktu Isya' adalah sampai pertengahan malam." [HR. Muslim].

Jika ia takut akan lewatnya waktu, hendaknya ia shalat Maghrib dan Isya' di tempat mana saja, meskipun di Arafah.

Lalu ia bermalam di Muzdalifah hingga terbit fajar. Kemudian ia shalat Shubuh di awal waktunya, lalu menuju Masy'aril Haram, yaitu bukit yang berada di Muzdalifah, jika hal itu memungkinkan baginya. Jika tidak, maka seluruh Muzdalifah adalah mauqif (tempat berhenti yang disyari'atkan). Di sana hendaknya ia menghadap kiblat dan memanjatkan pujian kepada Allah, bertakbir, mengesakan dan berdo'a kepadaNya. Jika pagi telah tampak sangat menguning, sebelum terbit matahari, para Haji berangkat menuju Mina dengan mengumandangkan talbiyah , demikian ia terus ber-talbiyah hingga sampai melempar jumrah aqabah.

Adapun bagi orang-orang yang lemah dan para wanita maka mereka dibolehkan langsung menuju Mina pada akhir malam. Hal itu berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, ia berkata:

"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutusku ketika akhir waktu malam dari rombongan orang-orang (di Muzdalifah) dengan membawa perbekalan Nabiullah Shallallahu 'alaihi wa sallam." [HR. Muslim].

Dan adalah Asma' binti Abi Bakar Radhiyallahu anhuma berangkat dari Muzdalifah setelah tenggelamnya bulan. Sedangkan tenggelamnya bulan adalah terjadi kira-kira setelah berlalunya dua pertiga malam.

Peringatan:
1. Sebagian orang mempercayai bahwa batu-batu kerikil untuk melempar jumrah diambil dari sejak kedatangan mereka di Muzdalifah. Ini adalah kepercayaan yang salah dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Batu-batu kerikil itu boleh diambil dari tempat mana saja.

2. Sebagian orang mengira bahwa pertengahan malam adalah pukul dua belas malam. Ini adalah keliru. Yang benar, pertengahan malam adalah separuh dari seluruh jam yang ada pada malam hari. Kalau dihitung secara matematika adalah sebagai berikut: (Keseluruhan jam yang ada pada malam hari : 2 + waktu tenggelamnya matahari = pertengahan malam ). Jika matahari tenggelam pada pukul enam sore misalnya, sedangkan terbitnya fajar pada pukul lima pagi maka pertengahan malamnya adalah pukul sebelas lebih tiga puluh menit. (Keseluruhan jam yang ada pada malam hari, yakni 11 jam : 2 + waktu tenggelamnya matahari, yakni pukul 6 = 11, 30 menit).

3. Di antara penyimpangan yang menyedihkan pada malam tersebut adalah bahwa sebagian Hujjaj mendirikan shalat Shubuh sebelum tiba waktunya, padahal shalat itu tidak sah jika dilakukan sebelum masuk waktunya.

4. Hendaknya setiap Haji meyakini benar bahwa ia berada di wilayah Muzdalifah. Hal itu bisa diketahui melalui spanduk-spanduk besar yang ada di sekeliling Muzdalifah.

HARI RAYA KURBAN
Beberapa amalan pada hari Raya Kurban adalah:
1. Melempar jumrah aqabah.
2. Menyembelih hadyu (bagi orang yang melakukan haji tamattu' dan qiran).
3. Mencukur (gundul) rambut kepala atau memendekkannya, tetapi mencukur (gundul) adalah lebih utama.
4. Thawaf ifadhah dan sa'i untuk haji.

Peringatan Penting:
1. Tertib di atas adalah sunnah, dan kalau tidak dikerjakan secara tertib juga tidak mengapa. Seperti orang yang mendahulukan thawaf daripada mencukur rambut, atau mendahulukan mencukur rambut dari-pada melempar jumrah, atau mendahulukan sa'i daripada thawaf, atau lainnya.

2. Melempar jumrah aqabah adalah dengan tujuh batu kerikil dengan secara berurutan. Ia mengangkat tangannya dan mengucapkan takbir setiap kali melempar batu kerikil. Disunnahkan ia menghadap ke jumrah dan menjadikan Makkah berada di sebelah kirinya dan Mina berada di sebelah kanannya.

3. Waktu melempar jumrah aqabah ba
i mereka yang kuat (fisiknya) adalah dimulai dari setelah terbitnya matahari. Hal itu berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhu ia berkata:

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendahulukan kami anak-anak Bani Abdul Muththalib pada malam Muzdalifah dengan mengendarai keledai, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menepuk paha-paha kami seraya bersabda: "Wahai anak-anakku, jangan kalian melempar jumrah sehingga matahari terbit." [HR. Abu Daud , Shahih Sunan Abi Daud].

Adapun para wanita dan mereka yang lemah maka dibolehkan melempar sejak kedatangan mereka di Mina pada akhir malam. Hal itu berdasarkan hadits Asma' radhiyallahu anha, dari Abdullah pelayan Asma' dari Asma':

"Bahwasanya ia singgah pada malam perkumpulan di Muzdalifah, lalu ia berdiri menegakkan shalat, ia shalat sejenak kemudian bertanya, 'Wahai anakku, apakah bulan telah tenggelam?' 'Belum', jawabku. Ia lalu shalat sejenak kemudian bertanya, 'Apakah bulan telah tenggelam?' 'Sudah', jawabku. Ia berkata, 'Kalau begitu berangkatlah.' Maka kami berangkat dan pergi hingga ia melempar jumrah. Kemudian ia pulang dan shalat Shubuh di rumahnya. Maka kutanyakan padanya, 'Sungguh, kami tidak mengira kecuali bahwa kita telah melempar (jumrah) pada malam hari'. Ia menjawab, 'Wahai anakku, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengizin-kannya untuk kaum wanita'." [Muttafaq Alaih].

4. Waktu melempar jumrah aqabah berlanjut hingga zawal [1]. Dan dibolehkan melempar setelahzawalmeskipun meskipun di malam hari, jika menemui kesulitan untuk melemparnya sebelum zawal.

5. Jumrah aqabah, penampungan (batu kerikil)nya adalah separuh penampungan. Karena itu ia harus yakin bahwa batu-batu kerikilnya masuk ke dalam penampungan tsb., tetapi jika setelah itu tergelincir (keluar) maka tidak mengapa.

6. Disunnahkan untuk segera menyembelih hadyu, mencukur rambut, thawaf dan sa'i, tetapi jika diakhirkan hingga setelah hari Raya Kurban maka tidak mengapa.

7. Menyembelih hadyu adalah wajib bagi yang melakukan haji tamattu' dan qiran. Adapun yang melakukan haji ifrad maka tidak wajib menyembelih hadyu . Orang yang tidak bisa menyembelih hadyu diwajibkan puasa tiga hari pada waktu haji dan tujuh hari ketika mereka pulang kepada keluarganya.
Penyembelihan itu tidak harus dilakukan di Mina, tetapi boleh dilakukan di Makkah atau tanah suci lainnya (Madinah, pen.). Dibolehkan pula bagi tujuh orang untuk berserikat dalam satu ekor unta atau sapi. Disunnahkan untuk menyembelih sendiri dengan tangannya, tetapi jika diwakilkan kepada yang lain maka hal itu dibolehkan.

Disunnahkan pula untuk menelentangkan hadyu (sapi atau kambing) pada sisi kirinya dan menghadap-kannya ke kiblat, sedang telapak kaki (orang yang menyembelih) diletakkan di atas leher hewan tersebut. Adapun unta, maka disunnahkan ketika menyembelihnya dalam keadaan berdiri, tangan kirinya diikat serta dihadapkan ke kiblat.

Ketika menyembelih, disyaratkan menyebut nama Allah, dan disunnahkan untuk menambahkannya dengan bacaan:

بِسمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُمَّ إنَّ هَذِهِ مِنكَ وَلَكَ اللَّهُمَّ تَقَبَّل مِنِّي،

"Dengan nama Allah, Allah Mahabesar, ya Allah, sesungguhnya ini adalah dariMu dan milikMu, ya Allah kabulkanlah (kurban) dari kami (ini)."

Waktu penyembelihan masih terus berlangsung hingga tenggelamnya matahari dari akhir hari tasyriq, yaitu tanggal 13 Dzul Hijjah.

8. Thawaf di Ka'bah adalah tujuh kali, sebagaimana thawaf ketika umrah, tetapi tidak dengan raml (jalan cepat) dan idhthiba' (menyelempangkan selen-dang). Lalu disunnahkan untuk melakukan shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim, jika hal itu memungkinkan. Jika tidak, maka boleh melakukan shalat di tempat mana saja dari Masjidil Haram.

9. Sa'i antara Shafa dan Marwah adalah tujuh putaran, tata caranya sebagaimana yang ada pada sa'i untuk umrah. Adapun orang yang melakukan haji qiran dan ifrad maka cukup baginya sa'i yang pertama, jika mereka telah melakukan sa'i pada thawaf qudum.

10. Mencukur harus mengenai semua rambut. Adapun bagi wanita, maka ia cukup menghimpun semua rambutnya lalu memotong ujungnya kira-kira seujung jari. Jika ujung rambutnya tidak sama pan-jangnya maka bisa dipotong dari setiap kepangan (genggaman) rambut.

11. Jika seorang Haji telah melempar jumrah aqabah dan mencukur atau menggunting rambut maka ia telah tahallul awal. Artinya, boleh baginya melakukan segala sesuatu dari yang dilarang ketika ihram kecuali masalah wanita. Dan disunnahkan baginya untuk membersihkan diri dan memakai wangi-wangian sebelum thawaf.

Kemudian, jika ia telah melempar, mencukur atau menggunting rambut, thawaf dan sa'i berarti ia telah tahallul tsani , yang dengan demikian dihalalkan baginya segala sesuatu hingga masalah wanita (hubungan suami isteri).

HARI-HARI TASYRIQ
1. Wajib bermalam di Mina pada malam-malam hari tasyriq, yakni malam ke-11 dan ke-12 (bagi yang terburu-buru) serta malam ke-13 (bagi yang meng-akhirkan/tetap tinggal).

2. Wajib melempar jumrah pada hari-hari tasyriq, caranya adalah sebagai berikut:
Setiap Haji melempar ketiga jumrah (ula, wustha, aqabah) pada setiap hari dari hari-hari tasyriq setelah tergelincirnya matahari. Yakni dengan tujuh batu kerikil secara berurutan untuk masing-masing jumrah, dan hendaknya ia bertakbir setiap kali melempar. Dengan demikian jumlah batu kerikil yang wajib ia lemparkan setiap harinya adalah 21 batu kerikil. (Ukuran batu kerikil tersebut lebih besar sedikit dari biji kacang).

Jama'ah haji memulai dengan melempar jumrah ula, yakni jumrah yang letaknya dekat masjid Al-Khaif, kemudian hendaknya ia maju ke sebelah kanan seraya berdiri dengan menghadap kiblat. Di sana hendaknya ia berdiri lama untuk berdo'a dengan mengangkat tangan. Lalu ia melempar jumrah wustha , kemudian mencari posisi di sebelah kiri dan berdiri menghadap kiblat. Di sana hendaknya ia berdiri lama untuk berdo'a seraya mengangkat tangan. Selanjutnya ia melempar jumrah aqabah dengan menghadap kepadanya serta menjadikan kota Makkah berada di sebelah kirinya dan Mina di sebelah kanannya. Di sana ia tidak berhenti (untuk berdo'a). Demikianlah, hal yang sama hendaknya ia lakukan pada tanggal 12 dan 13 Dzul Hijjah.

Peringatan:
1. Adalah salah, membasuh batu-batu kerikil (sebelum melemparkannya), sebab yang demikian itu tidak ada keterangannya dari Nabi J, juga tidak dari para sahabatnya.

2. Yang menjadi ukuran (benarnya lemparan) adalah jatuhnya batu kerikil ke dalam penampungan, dan bukan melempar tiang yang ada di tengah-tengah penampungan (batu kerikil).

3. Waktu melempar jumrah adalah dimulai dari sejak tergelincirnya matahari hingga terbenamnya, tetapi tidak mengapa melemparnya hingga malam hari, jika hal itu memang diperlukan. Hal itu berdasar-kan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam :

"Penggembala melempar (jumrah) pada malam hari dan menggembala (ternaknya) di siang hari." [Hadits hasan, As-Silsilah Ash-Shahihah, 2477].

4. Tidak boleh mewakilkan dalam melempar jumrah kecuali ketika dalam keadaan lemah (tak mampu) atau takut akan bahaya karena telah lanjut usia, sakit, masih kecil atau sejenisnya. Dan ketika mewakili, hendaknya ia melempar jumrah ula sebanyak tujuh kali untuk dirinya sendiri terlebih dahulu, lalu melemparkan untuk orang yang diwakilinya. Demikian pula hendaknya yang ia lakukan dalam jumrah wustha dan aqabah (jika mewakili orang lain).
Adapun sebagian orang pada saat ini yang dengan mudahnya mewakilkan melempar jumrah adalah hal keliru. Orang yang takut berdesak-desakan dengan laki-laki dan perempuan maka hendaknya ia pergi melempar pada saat-saat yang sepi, misalnya ketika malam hari.

5. Hendaknya melempar ketiga jumrah tersebut secara tertib, yakni shughra kemudian wustha lalu aqabah.

6. Sungguh keliru orang yang mencaci dan men-cerca ketika melempar jumrah, atau melempar dengan sepatu, payung dan batu besar, serta kepercayaan sebagian orang bahwa setan diikat pada tiang yang ada di tengah penampungan batu kerikil.

7. Bermalam yang wajib dilakukan di Mina adalah dengan tinggal di sana pada sebagian besar waktu malam. Misalnya, jika seluruh waktu malam adalah sebelas jam maka ia wajib tinggal di Mina lebih dari lima jam 30 menit.

8. Diperbolehkan bagi orang yang tergesa-gesa untuk meninggalkan Mina pada tanggal 12 Dzul Hijjah, yakni setelah melempar jumrah dan hendaknya ia keluar dari Mina sebelum tenggelamnya matahari. Jika matahari telah tenggelam dan ia masih berada di Mina maka ia wajib bermalam dan melempar lagi keesokan harinya, kecuali jika ia telah bersiap-siap meninggalkan Mina lalu matahari tenggelam karena jalan macet atau sejenisnya maka ia dibolehkan tetap pergi dan hal itu tidak mengapa baginya.

TANGGAL 12 DZUL HIJJAH
1. Jika Anda telah selesai melempar jumrah pada tanggal 12 Dzul Hijjah, lalu Anda ingin bersegera maka Anda dibolehkan keluar dari Mina sebelum matahari tenggelam, tetapi jika Anda ingin tetap tinggal maka hal itu lebih utama. Bermalamlah (sehari lagi) di Mina pada tanggal 13 Dzul Hijjah, dan lemparlah ketiga jumrah (ula, wustha, aqabah ) setelah tergelincir-nya matahari dan sebelum matahari tenggelam, sebab hari-hari tasyriq berakhir dengan tenggelamnya matahari.

2. Jika matahari telah tenggelam pada tanggal 12 Dzul Hijjah (hari kedua dari hari-hari tasyriq) dan Anda masih berada di Mina maka Anda wajib bermalam kembali di Mina pada malam itu kemudian melempar jumrah keesokan harinya, kecuali jika Anda telah bersiap-siap berangkat, tetapi jalan macet misalnya sehingga matahari tenggelam maka Anda dibolehkan keluar dari Mina dan hal itu tidak mengapa bagi Anda.

3. Ketika Anda hendak meninggalkan Makkah, Anda wajib melakukan thawaf wada' sebanyak tujuh kali putaran, setelahnya Anda disunnahkan shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim.

4. Perempuan yang sedang haid atau nifas tidak diwajibkan melakukan thawaf wada'.

Dengan demikian selesailah pekerjaan-pekerjaan haji.

RINGKASAN RUKUN, WAJIB UMRAH DAN HAJI

Rukun umrah:
1. Ihram (niat masuk atau memulai untuk beribadah).
2. Thawaf.
3. Sa'i.

Wajib umrah:
1. Ihram dari miqat.
2. Mencukur (gundul) rambut atau memendekkannya.

Rukun haji:
1. Ihram.
2. Wukuf di Arafah.
3. Thawaf ifadhah.
4. Sa'i.

Wajib haji:
1. Ihram dari miqat.
2. Wukuf di Arafah hingga tenggelamnya matahari bagi yang wukuf di siang hari.
3. Bermalam di Muzdalifah.
4. Bermalam pada malam-malam tasyriq di Mina.
5. Melempar jumrah (jumrah aqabah pada waktu hari Raya Kurban, dan jumrah ula, wustha serta aqabah pada hari-hari tasyriq secara tertib).
6. Mencukur (gundul) rambut atau memendekkannya.
7. Menyembelih hadyu (bagi yang melakukan haji tamattu' dan qiran, tidak bagi yang melakukan haji ifrad).
8. Thawaf wada'.

Peringatan:
Di muka telah disebutkan bahwa di antara wajib umrah dan haji adalah ihram dari miqat . Ketentuan ini adalah bagi mereka yang datang dari wilayah yang berada di belakang miqat. Adapun bagi yang datang dari sebelumnya maka ia berihram dari tempatnya, bahkan hingga penduduk Makkah, mereka berihram dari Makkah, kecuali dalam umrah. Orang yang berada di Makkah dan hendak melakukan umrah maka ia keluar dari Makkah (tanah haram) kemudian berihram dari tempat tersebut.

_______
Footnote
[1]. Waktu tergelincirnya matahari dari pertengahan langit,dan itulah waktu permulaan shalat zhuhur

HUKUM UMRAH BERULANG-ULANG KETIKA BERADA DI MEKKAH

HUKUM UMRAH BERULANG-ULANG KETIKA BERADA DI MEKKAH


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin




Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum keluar dari Mekkah ke selain tanah suci untuk melaksanakan umrah pada bulan Ramadhan dan di waktu lainnya (misalnya pada waktu ibadah haji, -peny) ?

Jawaban
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan, bahwa ulama salaf sepakat tentang makruhnya mengulang-ulang umrah dan memperbanyaknya. Baik pendapat ini diterima atau tidak diterima, maka keluarnya seseorang dari daerahnya untuk umrah, lalu keluarnya dari Mekkah ke selain tanah haram (Tan’im dan tempat miqat lain) untuk melaksanakan umrah kedua, ketiga pada bulan Ramadhan dan di waktu yang lainnya, adalah termasuk perbuatan bid’ah yang tidak dikenal pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebab pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya dikenal satu masalah yaitu masalah khusus bagi Aisyah Radhiyallahu ‘anha ketika ihram haji tamattu’ lalu haidh. Ketika Nabi Shallallahu menemuinya, maka didapatkannya dia menangis dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan sebab dia menangis, lalu Aisyah memberitahukannya kepada Nabi bahwa dia haid. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menenangkan kepadanya bahwa haidh adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah kepada anak-anak perempuan Bani Adam.

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadanya untuk ihram haji. Maka Aisyah ihram haji dan menjadi haji qiran. Tetapi ketika Aisyah selesai melaksanakan haji, dia mendesak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dizinkan umrah sendiri. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkannya dan memerintahkan saudaranya, Abdurrahman bin Abu Bakar, semoga Allah meridhoi keduanya, agar menyertainya ke Tan’im. Maka Abdurrahman keluar bersama Aisyah ke Tan’im dan Aisyah Umrah.

Seandainya hal ini termasuk sesuatu yang disyariatkan dalam bentuk kemutlakan, niscaya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan para shahabat, bahkan akan menganjurkan Abdurrahman bin Abu Bakar yang keluar bersama saudarinya untuk melaksanakan umrah karena akan mendapatkan pahala. Dan telah maklum dari semua itu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mukim di Mekkah pada tahun pembebasan kota Mekkah selama sembilan belas hari, tapi beliau tidak melaksanakan umrah padahal demikian itu mudah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ini menunjukkan bahwa orang yang umrah pada bulan Ramadhan atau di waktu yang lainnya maka dia tidak mengulang-ulang umrah dengan keluar dari Mekkah ke tempat yang bukan tanah suci (miqat). Sebab demikian ini tidak sesuai sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga tidak sesuai dengan sunnah Khulafa’ur Rasyidin bahkan tidak semua shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian juga banyak di antara menusia yang mengatakan bahwa kedatangannya untuk umrah pada bulan Ramadhan adalah diperuntukkan ibunya atau kedua orang tuanya, atau yang seperti itu. Maka kami mengatakan, bahwa menghadiahkan ibadah kepada orang-orang yang meninggal tidak disyariatkan dalam Islam. Artinya, seseorang tidak dituntut untuk mengerjakan ibadah untuk ibu atau bapak atau saudara perempuannya. Tapi jika melakukan hal tersebut diperbolehkan. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan kepada Sa’ad bin Ubadah Radhiyallahu ‘anhu menyedekahkan kebun kurmanya untuk ibunya yang telah meninggal. Dan ketika seseorang minta izin kepada Nabi seraya berkata : “Wahai Rasulullah, ibu saya meninggal mendadak dan saya kira kalau dia sempat berbicara niscaya dia akan bersedekah. Apakah saya boleh bersedekah untuk dia?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ya”. Meskipun demikian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersabda kepada para shahabatnya secara umum : “Bersedekahlah kalian untuk orang-orang yang meninggal atau untuk bapak-bapak kalian atau untuk ibu-ibu kalian!”.

Karena itu bagi para pencari ilmu dan yang lainnya wajib mengetahui perbedaan antara sesuatu yang disyari’atkan (masyru’) dan sesuatu yang diperbolehkan (jaiz). Di mana sesuatu yang disyariatkan itu berarti bahwa setiap Muslim dituntut melakukannya. Sedangkan sesuatu yang diperbolehkan adalah sesuatu yang setiap muslim tidak dituntut untuk melakukannya. Untuk lebih jelasnya saya akan mengemukakan contoh kisah seseorang yang diutus Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ekspedisi di mana dia menjadi imam shahabat-shahabatnya. Setiap dia shalat dengan mereka selalu mengakhiri bacaanya dengan qul huwallahu ahad (surat al-Ikhlas). Maka ketika kembali mereka memberitahukan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tanyakanlah kepadanya, mengapa dia selalu melakukan hal itu?” Ketika ditanya, ia menjawab : “Sesungguhnya dalam surat al-Ikhlas terdapat sifat Yang Mahapengasih, dan saya senang (mencintai) membacanya”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah mencintai dia!”.

Meski demikian, di antara sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengakhiri bacaan dalam shalatnya dengan surat al-Ikhlas dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengarahkan umatnya kepada hal tersebut. Disitulah terlihat perbedaan antara sesuatu yang diizinkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang disyariatkan yang setiap manusia dituntut melakukannya. Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan Sa’ad bin Ubadah menyedekahkan kebunnya untuk ibunya yang telah meninggal dan mengizinkan penannya yang ibunya meninggal mendadak bersedekah untuk ibunya, maka demikian itu tidak berarti disyariatkan untuk setiap manusia bersedekah untuk bapak atau ibunya yang meninggal, meskipun jika dia bersedekah akan berguna bagi orang yang disedekahinya. Sesungguhnya kita diperintahkan untuk mendo’akan bapak dan ibu kita yang telah meninggal berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Jika anak Adam meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga : shodaqoh jariyah, ilmu yang manfaat, dan anak shalih yang mendo’akannya” [HR Muslim dan lainya]

Wallahu a’lam

Minggu, 11 November 2012

Kamus Haji dan Umrah

Kamus Haji dan Umrah

· HAJI ialah berkunjung ke Baitullah untuk melakukan beberapa amalan thawaf, sa’i dan wukuf di Arafah serta amalan lainnya pada masa tertentu demi memenuhi panggilan Allah SWT dan mengharap ridha Nya.
· UMRAH ialah berkunjung ke Baitullah untuk melakukan thawaf, sa’i dan cukur demi mengharap ridho Allah.SWT.
· ISTITHA’AH artinya mampu yaitu mampu melaksanakan ibadah haji/umrah ditinjau dari segi jasmani, rohani dan ekonomi.
· RUKUN HAJI ialah rangkaian amalan yang harus dilakukan dalam ibadah haji dan tidak dapat diganti dengan yang lain walaupun dengan dam. Jika rukun haji ditinggalkan maka tidak syah hajinya.
· WAJIB HAJI ialah rangkaian amalan yang harus dikerjakan dalam ibadah haji namun bila tidak dikerjakan karena uzur syar’i sah hajinya akan tetapi harus membayar dam.
· MIQOT ZAMANI ialah batas waktu melaksanakan haji. Menurut Jumhur ulama miqot zamani mulai tanggal 1 Syawal sampai dengan terbit fajar 10 Zulhijjah.
· MIQOT MAKANI ialah batas tempat untuk mulai melaksanakan ihram haji atau umroh.
· IHRAM ialah niat memulai mengerjakan ibadah haji / umrah.
· THAWAF ialah mengelilingi ka’bah sebanyak 7 kali, dimana ka’bah selalu berada di sebelah kirinya dimulai dan diakhiri di sudut (rukun) sejajar Hajar Aswad.
· THAWAF IFADHAH ialah thawaf rukun haji yang harus dilaksanakan ( tidak boleh ditinggalkan ) dalam pelaksanaan ibadah haji.
· THAWAF WADA’ ialah thawaf yang dilaksanakan sebagai penghormatan akhir sebelum meninggalkan Makkah. Thawaf wada’ hukumnya wajib dalam pelaksanaan haji.
· THAWAF QUDUM ialah thawaf yang dilaksanakan sebagai penghormatan pada saat pertama masuk Masjidil Haram. Thawaf qudum hukumnya sunnat. Bagi jamaah haji yang mengambil haji tamattu’ tawaf qudumnya sudah termasuk dalam thawaf umrah.
· SA’I ialah berjalan dari bukit Safa ke bukit Marwah dan sebaliknya sebanyak 7 kali yang dimulai dari bukit Safa dan berakhir di bukit Marwah.
· WUKUF ialah keberadaan diri seseorang di Arafah walaupun sejenak dalam waktu antara tergelincirnya matahari tanggal 9 Zulhijjah (hari Arafah) sampai terbit fajar tanggal 10 Zulhijjah (hari Nahar).
· MABIT ialah bermalam / istirahat . Mabit dibagi 2 yaitu mabit di Muzdalifah tanggal 9 malam 10 Zulhijjah dan mabit di Mina pada malam menjelang tanggal 11, 12, 13 Zulhijjah.
· LONTAR JUMROH ialah melontar atau melemparkan batu kerikil ke dinding (marma) jumrah ( Ula, Wustho dan Aqobah ) pada hari Nahar dan hari tasyrik.
· TAHALLUL ialah keadaan seseorang yang telah dihalalkan (dibolehkan) melakukan perbuatan yang sebelumnya dilarang selama berihrom.Tahallul ada 2 yaitu Tahallul Awal dan Tahallul Tsani
· DAM menurut bahasa artinya darah, sedangkan menurut istilah adalah mengalirkan darah (menyembelih ternak kambing, unta atau sapi di tanah haram dalam rangka memenuhi ketentuan manasik ).
· NAFAR menurut bahasa artinya rombongan,sedangkan menurut istilah adalah keberangkatan jemaah haji meninggalkan Mina pada hari Tasyrik. Nafar ada 2 yaitu Nafar Awal dan Nafar Tsani.
· HARI TARWIYAH yaitu hari pada tanggal 8 Zulhijjah, dinamakan hari Tarwiyah (perbekalan) karena pada hari itu jamaah haji pada zaman Rasulullah mulai mengisi perbekalan air di Mina pada hari itu untuk perjalanan ke Arafah.
· HARI ARAFAH yaitu hari tanggal 9 Zulhijjah, dinamakan hari Arafah karena pada hari itu semua jemaah haji harus berada di Arafah untuk melaksanakan wukuf.
· HARI TASYRIK yaitu hari tanggal 11, 12, 13 Zulhijjah. Pada hari itu semua jemaah haji berada di Mina untuk mabit dan melontar jumroh.
· HAJI TAMATTU’ ialah mengerjakan umrah lebih dahulu baru kemudian mengerjakan haji. Cara haji ini wajib membayar dam.
· HAJI IFRAD ialah mengerjakan haji saja. Cara haji ini tidak wajib membayar dam.
· HAJI QIRAN ialah mengerjakan haji dan umrah dalam satu niat dan satu pekerjaan sekaligus. Cara haji ini wajib membayar dam.

Haji dan Umroh




Perjalanan Haji

Jumat, 09 November 2012

Tauhid Di Balik Talbiyah

Tauhid Di Balik Talbiyah


Oleh
Syaikh Prof. Dr. Abdur Razaq bin Abdul Muhsin al-Badr

Pengantar
Ketika jama’ah haji atau jama’ah umrah mengumandangkan talbiyah, sebenarnya mereka sedang mengikrarkan pernyataan tauhid kepada Allah dan mengikrarkan pernyataan anti syirik.

Di bawah ini adalah sebuah risalah yang disadur dari buah karya Syaikh Prof. Dr. Abdur Razaq bin Abdul Muhsin al-Badr, seorang guru besar jurusan Aqidah pada Univ. Islam Madinah di Kerajaan Saudi Arabia. Diambil dari kumpulan risalah beliau berjudul al-Jaami’ lil-Buhuts war-Rasaa`il, diterbitkan oleh Daar Kunuuz Isybiliya, Riyadh, cet. I – 1426 /2005 M, hlm. 252 – 255. Risalah ini berisi ikrar tentang tauhid dan peringatan dari syirik yang terdapat pada talbiyah yang dikmandangkan oleh seseorang ketika berhaji atau berumrah. Disadur dengan bebas oleh Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin. Silahkan menyimak.

Sesungguhnya kalimat talbiyah berisi pernyataan tauhid kepada Allah k dan penentangan terhadap syirik.

Seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia, bernama Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu, ketika menjelaskan sifat haji Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan:

Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertalbiyah dengan tauhid, yaitu:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ. رواه مسلم

"Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan hanyalah kepunyaan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu".[1]

Maka Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu mensifati talbiyah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas sebagai talbiyah dengan tauhid. Sebab di dalamnya berisi pemurnian peribadatan hanya kepada Allah dan membuang kemusyrikan. Hal ini juga membuktika bahwa kalimat-kalimat talbiyah itu bukan semata lafal-lafal kosong, tetapi mengandung makna agung yang merupakan ruh dan asas agama, yaitu tauhidullah.

Oleh karena itu, setiap orang yang mengumandangkan kalimat-kalimat talbiyah di atas wajib menghayati makna yang terkandung di dalamnya. Sehingga ia menjadi orang yang benar dalam bertalbiyah, kata-katanya cocok dengan kenyataannya, ia benar-benar berpegang pada ajaran tauhid dan menjaga hak-hak tauhid. Menjauhi segala hal yang dapat membatalkan tauhid, baik itu kemusyrikan maupun yang lainnya.

Maka ia menjadi orang yang tidak akan meminta kecuali kepada Allah, tidak akan ber-istighatsah (bersambat) kecuali kepada Allah, tidak bertawakkal kecuali kepada Allah, tidak akan meminta bantuan serta pertolongan kecuali kepada Allah, dan tidak akan mengarahkan salah satu macam ibadahpun kecuali hanya kepada Allah saja. Sebab hanya di tangan Allah dan hanya menjadi kewenangan-Nya sajalah hak untuk memberi, menahan pemberian, melimpahkan anugerah, melimpahkan manfaat dan menimpakan madharat.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

"Atau siapakah yang dapat mengabulkan (doanya) orang yang tengah didesak kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan siapakah yang dapat menghilangkan kesusahan dan dapat menjadikan kamu sebagai khalifah di bumi? Apakah ada sesembahan lain yang berhak disembah di samping Allah? Amat sedikitlah kamu mengingat kepada-Nya". [an-Naml/27:62].

Ketika seorang muslim dalam talbiyahnya mengucapkan: Laa Syariika lahu (tiada sekutu bagi-Nya), maka ia wajib memahami hakikat syirik, wajib mengerti bahaya syirik dan wajib berhati-hati dengan sesungguh-sungguhnya agar tidak terjerumus ke dalam syirik atau ke dalam salah satu sebab atau salah satu jalan atau salah satu celah yang dapat mengantarkan menuju syirik. Sebab syirik merupakan dosa dan kemaksiatan paling besar.

Hukuman yang ditimpakan bagi perbuatan dosa syirik, baik hukuman di dunia maupun di akhirat, jauh lebih berat dibandingkan dengan hukuman yang diancamkan bagi dosa-dosa lainnya.

Hukuman bagi perbuatan dosa syirik di dunia antara lain, bahwa orang-orang musyrik menjadi halal darah serta hartanya, para wanita serta anak-anak kaum musyrikin bisa menjadi tawanan perang. Sedangkan di akhirat, dosa syirik tidak akan diampunkan oleh Allah Azza wa Jalla kecuali dengan bertaubat daripadanya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar". [an-Nisâ`/4:48].

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا

"Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, Dan Dia mengampuni dosa yang lain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya". [an-Nisâ`/4:116]

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

"…Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun". [al-Mâ`idah/5:72]

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ

"Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu:"Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur". [az-Zumar/39: 65-66]

Masih banyak ayat-ayat senada lainnya, dimana Allah Azza wa Jalla mengingatkan segenap hamba-Nya tentang syirik, bahayanya dan akibat buruknya bagi para pelaku, baik di dunia maupun di akhirat.

Syirik, akibatnya sangat buruk, penghabisannya sangat menyedihkan, dan bahayanya sangat besar. Para pelakunya tidak akan memperoleh keuntungan apa-apa. Yang ia peroleh hanya kerugian, kesengsaraan dan kehinaan belaka. Syirik merupakan dosa terbesar dan kezhaliman paling kejam. Sebab inti dari perbuatan syirik adalah penghinaan kepada Allah Azza wa Jalla. Syirik adalah mengalihkan hak peribadatan, yang sebenarnya merupakan hak murni Allah, kepada selain Allah. Perbuatan syirik berarti penentangan dan kesombongan terhadap Allah. Di dalam perbuatan syirik juga terkandung perbuatan menyerupakan makhluk dengan Khaliq-Nya. Maha Suci Allah dari adanya sekutu. Sebab dengan perbuatan syirik itu berarti menganggap makhluk sejajar dan serupa dengan Khaliq. Padahal ia tidak memiliki kemampuan apapun untuk membuat madharat serta manfaat bagi diri sendiri, dan tidak memiliki kehidupan, kematian serta kemampuan apapun untuk membangkitkan diri sendiri sesudah mati, apalagi orang lain.

Sesungguhnya kewajiban setiap muslim adalah berhati-hati sekali terhadap syirik dan sangat takut jika terjatuh ke dalamnya. Tak urung seorang nabiyyullah dan khalilul-Nya yaitu Nabi Ibrahim q pun berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari kemusyrikan:

وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ

"Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. Ya Rabbku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia". [Ibrâhîm/14:35-36].

Nabi Ibrâhîm Alaihissallam ternyata takut jika sampai menyembah berhala-berhala, sehingga beliau berdoa agar Allah menyelamatkan beliau dan anak cucu beliau dari menyembah berhala-berhala. Apabila Nabi Ibrahim Khalilullah saja memohon agar Allah menjauhkan diri beliau dan diri anak keturunan beliau dari menyembah patung-patung, apatah lagi seharusnya orang-orang yang selain beliau.

Tidak diragukan lagi, bahwa hati yang hidup tentu sangat takut terhadap kemusyrikan. Ia pasti akan sangat menjaga diri dari kemungkinan terjerumus dalam kemusyrikan dan akan senantiasa berdoa terus menerus agar Allah menyelamatkannya dari kemusyrikan.

Dengan demikian, maka hal ini akan menuntut seorang mu’min untuk berusaha memahami hakikat syirik, sebab-sebabnya, prinsip-prinsipnya dan macam-macamnya, agar ia tidak sampai terjatuh ke dalam syirik.

Itulah mengapa Hudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu 'anhu berkata:

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُوْنَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي. أخرجه البخاري ومسلم.

"Orang-orang bertanya kepada Rasulullah n tentang kebaikan, namun aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena aku takut jika keburukan itu menimpaku".

Mengapa perlu memahami keburukan seperti yang ditanyakan oleh Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu ? Sebab orang yang hanya mengetahui kebaikan saja, terkadang ketika ada keburukan datang, ia tidak mengetahui bahwa itu adalah keburukan. Sehingga mungkin ia terjerumus ke dalamnya atau paling tidak ia tidak akan mengingkarinya.

Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu pernah mengatakan: “Tidak lain ikatan Islam akan terlepas seikat demi seikat ketika seseorang tumbuh di dalam Islam tetapi tidak mengetahui jahiliyah”.

Sesungguhnya, menjauh dari segala bentuk kemusyrikan dan memurnikan tauhid hanya kepada Allah, merupakan pokok yang wajib menjadi landasan bagi setiap ketaatan yang dapat dipergunakan oleh seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, baik berupa ibadah haji ataupun yang lain-lainnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfa'at bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka memenuhi nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan Thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Rabbnya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu kaharamannya, maka jauhilah olehmu barhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan yang dusta; dengan ikhlas kepada Allah, tidak menjadi orang-orang musyrik kepada Allah (mempersekutukan sesuatu dengan Dia). Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung penyambar, atau dihempaskan angin ke tempat yang jauh". [al-Hajj/22:27-31].

Dalam konteks ibadah haji yang terdapat pada ayat-ayat di atas, Allah Azza wa Jalla memperingatkan tentang syirik dan memerintahkan untuk menjauhinya. Allah menjelaskan kejinya syirik serta menjelaskan akibat buruknya. Menjelaskan pula bahwa pelakunya seakan-akan terjatuh dari langit lalu disambar oleh burung penyambar, atau seolah-olah dihempaskan oleh badai ke tempat yang jauh.

Karena itulah Allah Subhanahu wa Ta'ala pada sebelum ayat-ayat ini memerintahkan Nabi Ibrâhîm Alaihissallam supaya membersihkan baitullah sesudah Allah memberikan tempat kepada Ibrâhîm di baitullah tersebut, dan melarang berbuat syirik. Yaitu pada firman Allah Azza wa Jalla :

وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

"Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun (syirik) dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang ruku' serta sujud". [al-Hajj/22:26]

Dengan demikian, ayat-ayat yang berkaitan dengan haji di atas terkelilingi dengan peringatan terhadap syirik, larangan dari syirik dan penjelasan tentang akibat buruk syirik. Hal ini membuktikan bahwa syirik sangat keji dan sangat besar bahayanya. Kita memohon kepada Allah k agar Dia melindungi kita semua dari syirik, serta memberikan rizki keikhlasan kepada kita, baik dalam berkata maupun dalam berbuat.

Footnote
[1]. HR Muslim dalam sebuah hadits yang panjang, Lihat Shahîh Muslim Syarh Nawawi, Kitab al-Hajj, Bab: Hajjatun-Nabiyyi Shallallahu ''alaihi wa sallam . VIII/402 dst. Lafazh di atas terdapat pada halaman 405 – Tahqîq: Khalil Ma’mun Syiha, Dârul-Ma’rifah – Beirut, cet. II – 1415 H/1995 M.
[2]. HR Bukhâri dan Muslim. Lihat Fathul-Bari XIII/35 - Kitab al-Fitan no. 7084 dan VI/615 - Kitab al-Manaqib, no. 3606. Juga Shahîh Muslim Syarh Nawawi, Tahqîq: Khalil Ma’mun Syiha XII/439 – Kitab al-Imarah, Bab: Wujub Mulazamah Jama’ah al-Muslimin ‘Inda Zhuhur al-Fitan, no. 4761.