Rabu, 16 Juli 2014



Catatan I’tikaf 1 : Pengertian I’tikaf

Catatan I’tikaf 1 : Pengertian I’tikaf

Catatan I’tikaf 1 : Pengertian I’tikaf
16 September 2009 pukul 22:59
Adalah Rasulullah SAW apabila memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, selalu menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya, dan mengencangkan ikat pinggangnya (HR. Imam Bukhari dan Muslim dari Siti ‘Aisyah).
Hadis dari Siti ‘Aisyah tersebut memberi isyarat tentang adanya sunnah Rasul yang khusus dalam menghadapi sepuluh hari terakhir bulan suci Ramadhan. Pada hari-hari itu, Rasul biasa menghidupkan malam dan mengisinya dengan berbagai macam kegiatan ibadah yang menunjukkan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT. Rasul juga mengajak istri dan keluarganya serta para sahabat untuk melakukan kegiatan yang sama. Inilah yang disebut dengan kegiatan I’tikaf Asyrul – Awahir.
I’tikaf, seperti dijelaskan didalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat 187, adalah berdiam diri di masjid melakukan kegiatan ibadah dan taqarrub kepada Allah SWT. Selain itu, dalam beri’tikaf, kita diharapkan melakukan kegiatan muhasabah (introspeksi diri) terhadap hal-hal yang lalu, melihat kekurangan dan kelemahan diri, untuk kemudian berusaha memperbaiki diri, meningkatkan kwalitas keimanan dan ketakwaan, memperbaiki hubungan dengan Allah SWT maupun dengan sesama manusia. Dalam kegiatan i’tikaf ini diharapkan ada dialog internal dengan diri sendiri secara intensif, ada proses pengenalan diri dan penyadaran diri secara jernih, siapa diri kita yang sebenarnya, masihkah kita secara konsisten menjadi hamba Allah SWT, atau telah bergeser menjadi hamba perut, hamba seksual, hamba materi, hamba kedudukan atau jabatan?
Untuk sampai pada proses tersebut, dalam i’tikaf kita ”dipandu” dengan kegiatan-kegiatan taqarrub seperti berdoa’, membaca tasbih, tahmid, takbir, tahlil, istighfar, membaca dan mentadabburi ayat-ayat Alquran. Kita pun dianjurkan untuk membawa dan mempelajari Sunnah Rasul-Sirah Nabawiyyah, salat sunnah seperti tahajjud, taubat, hajat, ataupun mendengarkan ceramah dan nasihat agama. Ada doa yang dianjurkan dibaca ketika kita melakukan i’tikaf seperti dikemukakan dalam sebuah hadis sahih riwayat Imam Ahmad, Ibn Majah dan Nasai dari Siti ‘Aisyah, bahwa Rasulullah menganjurkan membaca doa Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni (Ya Allah, sesungguhnya engkau adalah Dzat yang Maha Pengampun, ampunilah kami dari segala dosa dan kesalahan).
Dalam beri’tikaf kita boleh melakukan kegiatan-kegiatan tambahan yang memperkuat kesadaran diri kita kepada Allah SWT maupun kepada sesama manusia, misalnya berdiskusi tentang problematika ummat, membicarakan konsep-konsep Islam tentang masalah-masalah kehidupan atau hal-hal yang situasional dan kondisional yang berhubungan dengan jamaah masjid di lingkungan kita. Pendeknya memperkuat komitmen keimanan dan ketakwaan yang terjabar dalam semua aktifitas yang akan kita lakukan. Dengan demikian, maka tujuan i’tikaf adalah sama dengan tujuan ibadah puasa itu sendiri, yaitu mudah-mudahan menjadi orang yang bertakwa (QS. Al-Baqarah ayat 183).
ADAB I’TIKAF
Secara harfiyah, I’tikaf adalah tinggal di suatu tempat untuk melakukan sesuatu yang baik. Dengan demikian, I’tikaf adalah tinggal atau menetap di dalam masjid dengan niat beribadah guna mendekatkan diri kepada Allah Swt. Penggunaan kata ‘’tikaf di dalam Al-Qur’an terdapat pada firman Allah Swt yang artinya: Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf di dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertaqwa (QS 2:187).
Ayat lain yang menyebutkan kata I’tikaf dan ini dikaitkan dengan keharusan membersihkan masjid yang menjadi tempat I’tikaf adalah firman Allah yang artinya: Dan ingatlah ketika Kami menjadikan rumah itu (baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, I’tikaf, ruku dan sujud” (QS 2:125).
Di dalam Islam, seseorang bisa beri’tikaf di masjid kapan saja, namun dalam konteks bulan Ramadhan, maka dalam kehidupan Rasulullah Saw, I’tikaf itu dilakukan selama sepuluh hari terakhir. Diantara rangkaian ibadah-ibadah dalam bulan suci ramadhan yang sangat dipelihara sekaligus diperintahkan ( dianjurkan ) oleh Rasulullah SAW adalah I’tikaf. I;tikaf merupakan sarana muhasabah dan kontemplasi yang efektif bagi muslim dalam memelihara dan meniingkatkan keislamannya, khususnya dalam era globalisasi, materialisasi dan informasi kontemporer
Hukum I’tikaf
Para Ulama telah berijma’ bahwa I’tikaf khususnya 10 hari terakhir bulan Ramadhan merupakan suatu ibadah yang disyariatkan dan disunnahkan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah SAW sendiri senantiasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama 10 hari . A’isyah, Ibnu Umar dan Anas ra meriwayatkan: “ adalah Rasulullah SAW beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan “ (HR. Bukhori dan Muslim)
Hal ini dilakukan oleh beliau hingga wafat, bahkan pada tahun wafatnya beliau beri’tikaf selama 20 hari. Demikian pula halnya dengan para shahabat dan istri Rasulullah Saw senantiasa melaksanakan ibadah yang amat agung ini. Imam Ahmad berkata: “Sepengetahuan saya tak seorangpun ulama mengatakan I’tikaf bukan sunnat”.
Keutamaan Dan Tujuan I’tikaf
Abu Daud pernah bertanya kepada Imam Ahmad: Tahukah anda hadits yangmenunjukkan keutamaan I’tikaf? Ahmad Menjawab: tidak kecuali hadits lemah.Namun demikian tidaklah mengurangi nilai ibadah I’tikaf itu sendiri sebagai taqorrub kepada Allah SWT. Dan cukuplah keutamaannya bahwa Rasulullah, para Shahabat, para Istri Rasulullah SAW dan para ulama salafusholeh senantiasa melakukan ibadah ini.
I’tikaf disyariatkan dalam rangka mensucikan hati dengan berkonsentrasi semaksimal mungkin dalam beribadah dan bertaqorrub kepada Allah pada waktu yang terbatas tetapi teramat tinggi nilainya. Jauh dari rutinitas kehidupan dunia, dengan berserah diri sepenuhnya kepada Sang Kholik ( Pencipta ). Bermunajat sambil berdo’a dan beristighfar kepadaNya sehingga saat kembali lagi dalam aktivitas keseharian dapat dijalani secara lebih berkualitas dan berarti.
Ibnu Qoyyim berkata : I’tikaf disyariatkan dengan tujuan agar hati beri’tikaf dan bersimpuh dihadapan Allah, berkhalwat denganNya, serta memutuskan hubungan sementara dengan sesama makhluk dan berkonsentrasi sepenuhnya kepada Allah.
Macam-Macam I’tikaf
I’tikaf yang di syari’atkan ada dua macam :
1. I’tikaf sunnah yaitu I’tikaf yang dilakukan secara sukarela semata-mata untuk bertaqorrub kepada Allah seperti I’tikaf 10 hari terakhir Ramadhan.
2. I’tikaf wajib yaitu yang didahului dengan Nadzar (janji), seperti: “Kalau Allah SWT menyembuhkan sakitku ini, maka aku akan beri’tikaf di masjid selama tiga hari“, maka I’tikaf tiga hari itu menjadi wajib hukumnya.
Waktu I’tikaf
Untuk I’tikaf wajib tergantung pada berapa lama waktu yang dinadzarkan, sedangkan I’tikaf sunnah tidak ada batasan waktu tertentu. Kapan saja pada malam atau siang hari, waktunya bisa lama dan juga bisa singkat, minimal dalam madzhab Hanafi: sekejap tanpa batas waktu tertentu, sekedar berdiam diri dengan niat. Atau dalam madzhab Syafi’I; sesaat, sejenak (yang dikatakan berdiam diri ), dan dalam madzhab Hambali, satu jam saja.
Terlepas dari perbedaan pendapat ulama tadi, waktu I’tikaf yang paling afdhal pada bulan Ramadhan ialah sebagaimana dipraktekkan langsung oleh Baginda Nabi SAW yaitu 10 hari terakhir bula Ramadhan.
Syarat-Syarat I’tikaf
Orang yang I’tikaf harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
1. Muslim
2. Ber-akal
3. Suci dari janabah (junub), haidh dan nifas
Oleh karena itu I’tikaf tidak sah dilakukan oleh orang kafir, anak yang belum mumaiyiz (mampu mebedakan), orang junub, wanita haidh dan nifas.
Rukun I’tikaf
1. Niat yang ikhlas, hal ini karena semua amal sangat tergantung pada niatnya.
2. Berdiam di masjid (QS Al-Baqoroh : 187)
Disini ada dua pendapat ulama tentang Masjid tempat I’tikaf . Imam Malik membolehkan I’tikaf disetiap Masjid Sedangkan ulama Hanabilah mensyaratkan agar I’tikaf itu dilaksanakan di masjid yang dipakai untuk shalat jama’ah dan atau shalat jum’at, sehingga orang yang I’tikaf dapat selalu melaksanakan shalat jama’ah dan tidak perlu meninggalkan tempat I’tikafnya menuju masjid lain untuk shalat jum’at. Pendapat ini dikuatkan oleh para ulama Syafi’iyah bahwa yang afdhol yaitu I’tikaf di Masjid jami’, karena Rasulullah SAW I’tikaf di Masjid jami’. Lebih afdhol lagi bila dilaksanakan di salah satu dari tiga masjid; masjid al-Haram, masjid Nabawi atau masjid Aqsho.
Awal Dan Akhir I’tikaf
Bagi yang mengikuti sunnah Rasulullah SAW denga beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka waktunya dimulai sebelum terbenam matahari malam ke-21 sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Barangsiapa yang ingin I’tikaf dengan aku, hendaklah ia I’tikaf pada 10 hari terakhir”.
Adapun waktu keluarnya atau berakhirnya, yaitu setelah terbenam matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan. Akan tetapi beberapa kalangan ulama mengatakan yang lebih mustahab (disenangi) adalah menunggu sampai akan dilaksanakannya shalat ied.
Hal-Hal Yang Disunnahkan Waktu I’tikaf
Disunnahkan bagi orang yang beri’tikaf untuk memperbanyak ibadah dan taqarrub kepada Allah SWT, seperti shalat sunnah, membaca Al-Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istighfar, shalawat kepada Nabi Saw, do’a dan sebagainya. Namun demikian yang menjadi prioritas utama adalah ibadah – ibadah mahdhah. Bahkan sebagian ulama seperti Imam Malik, meninggalkan segala aktivitas ilmiah lainnya dan berkosentrasi penuh pada ibadah – ibadah mahdhah.
Dalam upaya memperkokoh keislaman dan ketaqwaan, diperlukan bimbingan dari orang-orang yang ahli, karenanya dalam memanfaatkan momentum I’tikaf bisa dibenarkan melakukan berbagai kajian keislaman yang mengarahkan para peserta I’tikaf untuk membersihkan diri dari segala dosa dan sifat tercela serta menjalani kehidupan sesudah I’tikaf secara lebih baik sebagaimana yang ditentukan Allah Swt dan Rasul-Nya.
Hal-Hal Yang Diperbolehkan.
Orang yang beri’tikaf bukan berarti hanya berdiam diri di masjid untuk menjalankan peribadatan secara khusus, ada beberapa hal yang dibolehkan:
1. Keluar dari tempat I’tikaf untuk mengantar istri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap istrinya Shofiyah ra. (HR. Bukhori Muslim).
2. Menyisir atau mencukur rambut, memotong kuku, membersihkan tubuh dari kotoran dan bau badan.
3. Keluar ke tempat yang memang amat diperlukan seperti untuk buang air besar dan kecil, makan, minum, (jika tidak ada yang mengantarkan), dan segala sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di masjid. Tetapi ia harus segera kembali setelah menyelesaikan keperluannya.
4. Makan, minum dan tidur di masjid dengan senantiasa menjaga kesucian dan kebersihan masjid
Hal-Hal Yang Membatalkan I’tikaf
1. Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan, meski sebentar, karena meninggalkan meninggalkan masjid berarti mengabaikan salah satu rukun I’tikaf yaitu berdiam di masjid.
2. Murtad (keluar dari agama Islam).
3. Hilang Akal, karena gila atau mabuk
4. Haidh.
5. Nifas.
6. Berjima’(bersetubuh dengan istri), tetapi memegang tanpa nafsu (syahwat), tidak apa-apa sebagaimana yang dilakukan Nabi dengan Istri-istrinya.
7. Pergi shalat Jum’at (bagi mereka yang membolehkan I’tikaf di mushalla yang tidak dipakai shalat jum’at)
I’tikaf Bagi Muslimah
Sebagaimana disunnahkan bagi pria, i’tikaf juga disunnahkan bagi wanita. Sebagaimana istri Rasulullah Saw juga melakukan I’tikaf, tetapi selain syarat-syarat yang disebutkan diatas, I’tikaf bagi kaum wanita harus memenuhi syarat-syarat sbb:
1. Mendapatkan persetujuan (ridho) suami atau orang tua. Dan apabila suami telah mengizinkan istrinya untuk I’tikaf, maka ia tidak dibolehkan menarik kembali persetujuan itu.
2. Agar tempat dan pelaksanaan I’tikaf wanita memenuhi tujuan umum syari’at . Kita telah mengetahui bahwa salah satu rukun atau syari’at I’tikat adalah berdiam di masjid. Untuk kaum wanita, ulama sedikit berbeda pendapat tentang masjid yang dipakai wanita untuk beri’tikaf. Tetapi yang lebih afdhol –wallahu a’lam- ialah I’tikaf di masjid (tempat shalat) di rumahnya. Manakala wanita mendapatkan manfaat dari I’tikaf di masjid, tidak masalah bila ia melakukannya.
Demikian adab i‘tikaf yang menjadi panduan praktis, semoga pada Ramadhan tahun ini, kita dapat menghidupkan kembali sunnah I’tikaf sebagai bekal kita meraih nilai taqwa yang maksimal.

Catatan I’tikaf 2 : Sembilan Wasiat

Catatan I’tikaf 2 : Sembilan Wasiat

Catatan I’tikaf 2
10 September 2009 pukul 22:41
Catatan I’tikaf ku
The Propehet Said : God bestowed me Nine Commandments,
and I am commanding you to obey them :
1. He commanded me with sincerity in private and public,
2. With justice during happiness or anger,
3. With moderation during richness or poverty
4. That I shall forgive those who inflicted injustice upon me,
5. That I shall give those who denied me,
6. That I shall visit those who boycott me,
7. And that my silence shall be contemplation,
8. My speaking shall be remembrance (of Allah),
9. And my seeing (thing) shall be lessons.
( Reported by Ruzain )
Rasulullah Bersabda : Tuhanku telah berwasiat kepadaku dengan 9 perkara, dan aku wasiatkan kepada kalian (untuk melaksanakannya) :
Tuhanku berwasiat :
(1). agar aku berlaku “ikhlas’ baik secara tersembunyi atau terang-terangan,
(2). agar bersikap “adil” baik pada saat ridho atau marah
(3). agar bersikap “sederhana” baik dalam keadaan kaya atau miskin
(4). agar aku “memaafkan” orang yang dholim kepadaku,
(5). agar aku “memberi” kepada orang yang mencekalku
(6). agar aku “menyambung silaturrahim” dengan orang yang memutuskannya
(7). agar aku menjadikan “diam”ku untuk berpikir
(8). agar menjadikan “bicara”ku sebagai dzikir
(9). dan agar menjadikan “pandangan” ku untuk mengambil i’tibar. (pelajaran)
(HR. Razin)
Islamic Teaching :
1. Knowledge of God is my Capital,
2. reason is the Root of my Faith,
3. Love is my Foundation,
4, Enthusiasm is my Horse,
5. Remembreance of God is my Frend
6. Firmness is my Treasure
7. Soorow is my Companion
8. Science is my Instrument
9. Patience is my Mantle,
10. Contentment is my Prize
11. Poverti is my Pride
12. Devotion is my Art
13. Conviction is my Power
14. Truth is my Redeemer
15. Obedience is my Sufficiency
16. Struggle is my Manner, and
17. My pleasure is my Prayers

Catatan I’tikaf 3 : Manfaat Dzikir

Catatan I’tikaf 3 : Manfaat Dzikir

Catatan I’tikaf 3 : Manfaat Dzikir
10 September 2009 pukul 22:32
MANFAAT DZIKIR
MENURUT IBNUL QOYYIM AL JAUZI
1. Membuat Allah ridha
2. Mengusir setan, menundukkan, dan mengenyahkannya
3. Menghilangkan kesedihan dan kemuraman dari hati
4. Mendatangkan kegembiraan & kesenangan di dalam hati
5. Menguatkan hati dan badan
6. Membuat hati dan wajah berseri
7. Melapangkan rizki
8. Menimbulkan rasa percaya diri dan kharisma
9. Menumbuhkan rasa cinta pada Islam, menjadi inti agama, poros kebahagiaan dan
keselamatan
10. Menumbuhkan perasaan bahwa dirinya diawasi sehingga mendorongnya untuk
selalu berbuat bajik
11. Membuahkan ketundukan (kepasrahan) pada Allah
12. Membuahkan kedekatan dengan Allah
13. Membuka pintu yang lebar ke arah ma’rifat
14. Membuang keengganan dari jiwa manusia dan berbalik mengagungkan-Nya
15. Membuatnya selalu diingat oleh Allah (QS.2:152)
16. Menghidupkan hati (seperti air yang tak lepas dari kehidupan ikan)
17. Mengenyangkan hati dan ruh (menjadi santapan rohani bagi para pelakunya)
18. Membersihkan hati dari karatnya
19. Menyingkirkan kesalahan dan mengenyahkannya
20. Menghilangkan kerisauan dalam hubungan antara dirinya dengan Allah
21. Lafadz dzikir selalu mengingatkannya saat ditimpa bencana
22. Mengingatkan saat para pelakunya menghadapi kesulitan
23. Menyelamatkan dari azab Allah
24. Mengundang ketenangan, rahmat, dan doa malaikat
25. Mengalihkan lidah dari ghibah, adu domba & dusta
26. Dzikir adalah pekerjaan para malaikat
27. Pelakunya merasa bahagia, demikian pula dengan orang-orang di sekitarnya
28. Memberi rasa aman dari penyesalan hari kiamat
29. Terlindung dari siksa padang mahsyar karena dinaungi oleh ‘Arsy Allah
30. Nikmat dan karunia Allah menjadi lebih terasa dan disyukuri oleh para pelaku dzikir
31. Ibadah dzikir adalah ibadah yang paling mudah, tapi paling agung dan paling utama
32. Dzikir merupakan tanaman syurga
33. Kontinuitas dzikir membuat pelakunya tidak melalaikannya sedetikpun dari
penjagaan Allah
34. Kalimat dzikir itu mengikuti pelakunya kapan pun dan di mana pun
35. Menjadi cahaya kehidupan di dunia, di alam kubur, dan di perjalanan ash shirat hari
kiamat kelak. Tidak ada cahaya yang menerangi alam kubur selain dari kalimat
dzikir.
36. pembuka jalan manusia kepada solusi penyelesaian dan peluang kekuasaan (simak doa robithoh)
37. Di dalam hati manusia ada celah yang tidak dapat ditembus kecuali dengan dzikir
38. Dzikir m’himpun segala suasana hati dari pengaruh setan
39. Mengaktifkan hati dari rasa kantuk dan ingin tidur (pasif)
40. Dzikir adalah jalan mendapat hidayah dan petunjuk Allah
41. Akan selalu terasa kebersamaan dengan Allah
42. Dzikir itu sama dengan memerdekakan budak wanita, menafkahkan harta, dan
mengangkat pedang fii sabiilillah
43. Dzikir itu adalah pangkal syukur. Maka orang yang tidak bersyukur pada Allah tidak
mungkin mengingat-Nya
44. Orang yang paling mulia di sisi Allah dari sisi ketaqwaan adalah orang yg lidahnya
selalu basah oleh kalimat dzikir
45. Ada kekerasan dihati yg hanya bisa ditaklukkan oleh dzikir
46. Penyembuh bagi hati dan obat bagi penyakitnya
47. Dzikir merupakan pangkal wala’ (loyalitas) pada Allah
48. sumber keikhlasan dan penghilang rasa duka, kegelisahan, dan segala pemicu stress
49. Dzikir mengundang shalawat Allah dan para malaikat-Nya (QS. Al Ahzab: 41-43)
50. Siapa yang kelak ingin berada di taman syurga, hendaklah berada di majelis-majelis
dzikir
51. Majelis dzikir adalah majelis para malaikat
52. Allah membanggakan orang-orang yang selalu berdzikir di hadapan para malaikat
Nya
53. Para pedzikir akan masuk syurga sambil tersenyum
54. Sesungguhnya seluruh jenis amal disyariatkan hanya untuk menegakkan dzikir
kepada Allah, maka hidupkanlah dzikir (QS. Thaha: 14)
55. Keutamaan orang-orang yang rajin beramal adalah yang paling banyak dzikirnya
kepada Allah
56. Kontinuitas dzikir bisa setara dengan kombinasi berbagai amalan lain, baik yang
bersifat fisik/harta.
57. Mengundang pertolongan Allah sebesar-besarnya untuk taat kepada-Nya
58. Memudahkan yang sulit & meringankan yang berat
59. Menyingkirkan segala ketakutan dalam hati dan mengundang rasa aman di dalam
diri manusia
60. Memberi kekuatan pada pelakunya untuk melakukan hal-hal bahkan yang
sebelumnya tak ia duga bisa ia kerjakan di saat-saat kritis.
61. Fastabiqul khoirat selalu dimenangkan oleh orang yang paling banyak dzikirnya
kepada Allah
62. Jadi sebab pembenaran Allah terhadap hamba-Nya
63. Istana-istana di syurga dibangun dengan dzikir
64. Dzikir menghalangi antara hamba dengan Jahannam
65. Para malaikat memintakan ampunan bagi pedzikir
66. Gugusan gunung-gunung dan lembah merasa bangga dan gembira karena ada orang
yg berdzikir kepada Allah swt.
67. Selamat dari sifat kemunafikan di dalam diri (QS. An Nisa’:142 & Al Munaafiquun: 9)
68. Dzikir di sela-sela pekerjaan adalah kenikmatan yang tak tergantikan dengan hal
apapun
60. Membuat wajah menjadi ceria dan mendatangkan cahaya saat menghadapi peristiwa
kiamat.
70. Senantiasa berdzikir di manapun (di gunung, di jalan, di rumah, di atas air, di udara,
di daratan, dll) akan memperbanyak saksi bagi seorang hamba pada hari kiamat
72. Mengalihkan pelakunya dari aktivitas lain yg tidak perlu
73. Membebaskan pelakunya dari kepungan & tipudaya setan
74. Menghindarkan diri dari penyimpangan aqidah
75. Membuat seorang hamba semakin mengenal asma’ wa sifat dari Allah dengan cara-
cara yang Dia sukai
76. Menjadi ingat segala perintah, larangan, dan hukum-hukum-Nya krn mempelajari itu
semua termasuk dzikir
77. Dzikir lebih baik daripada doa
78. Sebaik-baik keutamaan: membaca al Qur’an lebih baik daripada berdzikir, dan
dzikir lebih baik daripada do’a.
Dikutip dari kitab “Sahihul Wabil Ash Shayyib Minal Kalimith Thayyib”

Catatan I’tikaf 4 : Bahaya Lidah

Catatan I’tikaf 4 : Bahaya Lidah

Catatan I’tikaf 4 : Bahaya Lidah
27 Oktober 2009 pukul 19:49
BAHAYA LIDAH
Pendahuluan
Lidah memiliki urgensi yang tinggi, karena lidah dapat membawa seseorang ke surga Allah bila digunakan untuk taat kepada-Nya. Sebaliknya lidah dapat menjerumuskan seseorang ke dalam neraka jika digunakan untuk maksiat kepada Allah.
Sahl bin Sa’id berkata, Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang menjamin untukka apa yang ada diantara dua jenggutnya dan dua kakinya maka aku menjamin untuknya surga.” (HR Bukhari).
Dari Barro’ bin ‘Azib, ia berkata, seorang Arab Badui datang menemui Rasulullah saw seraya berkata, “Tunjukkanlah kepadaku amal perbuatan yang dapat memasukkan diriku ke dalam surga.” Nabi saw bersabda, “Berilah makan orang yang lapar, berilah minum orang yang haus, perintahkan yang ma’ruf dan cegahlah yang munkar. Jika kamu tidak sanggup maka tahanlah lidahmu kecuali dari kebaikan.” (HR Ibnu Abid Dunya dengan sanad jayyid).
Allah swt berfirman, “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat yang ma’ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia.” (An-Nisa’ :114).
Sesungguhnya perkataan terbagi dalam empat bagian, perkataan yang berbahaya sepenuhnya, perkataan yang mengnadung manfaat dan bahaya (kedua perkataan ini harus ditinggalkan), dan perkataan yang tidak mengandung bahaya dan tidak mengandung manfaat (menyibukkan diri dengannya berarti menyia-nyiakan waktu dan berakibat beratnya hisab), serta perkataan yang bermanfaat sepenuhnya.
Berikut ini adalah penyakit-penyakit lidah yang harus dihindari:
1. Pembicaraan yang tidak berguna
Berbicara sesuatu yang tidak bermanfaat dan tidak diperlukan meskipun tidak berdosa (mubah) akan berakibat beratnya hisab di hari kiamat kelak. Karena menyibukkan diri dengan pembicaraan semacam itu berarti menyia-nyiakan waktu, dan telah menggantikan ucapan-ucapan yang baik dengan ucapan yang lebih rendah. Rasulullah saw bersabda, “Termasuk tanda baiknya keislaman seseorang adalah ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya.” (HR Ibnu Majah dan Turmudzi).
2. Melibatkan diri dalam pembicaraan yang batil
Yaitu berbicara tentang berbagai kemaksiatan, seperti memceritakan ihwal perempuan, kesenangan orang fasik dan lain sebagainya. Nabi bersabda, “Orang yang paling besar dosanya pada hari kiamat adalah orang yang paling banyak melibatkan diri dalam pembicaraan yang batil.” (HR Ibnu Abid Dunya secara mursal dan para perawinya terpercaya). Ibnu Sirrin berkata, seorang Anshar melewati suatu majlis, lalu berkata kepada majlis tersebut, “Berwudhulah kalian, karena sebagian yang kalian ucapkan lebih buruk dari hadats.”
3. Perbantahan dan perdebatan
Nabi saw bersabda,
“Janganlah kamu mendebat saudaramu, dan janganlah kamu bersenda gurau dan janganlah kamu membuat janji dengannya lalu tidak kamu tepati.” (HR Turmudzi).
“Tidaklah sesat suatu kaum setelah menunjuki mereka kecuali karena mereka melakukan perdebatan.” (HR Turmudzi)
Motivasi yang menggerakkan penyakit ini adalah rasa superioritas dengan menampakkan keunggulan diri disertai serangan terhadap orang lain dengan merendahkannya dan menampakkan kelemahannya.
4. Memaksakan bersajak dan membuat-buat kefasikan dan mengatakan dengan membuat perumpamaan di luar batas kewajaran.
Semua itu termasuk perkataan yang tercela karena menyebabkan bertele-telenya pembicaraan, bahkan menimbulkan kesalahfahaman.
Nabi bersabda,
“Akan datang suatu masa kepada manusia, mereka mengunyah pembicaraan dengan lidah seperti sapi mengunyah makanan dengan lidahnya.” (HR Ahmad).
5. Berkata keji, jorok dan cacian.
Ia tercela dan dilarang karena menjadi sumber keburukan dan kehinaan, Nabi bersabda,
“Mencaci-maki mukmin adalah kefasikan, sedangkan membunuhnya adalah kekafiran.” (HR Bukhari Muslim)
“Orang mukmin itu bukanlah orang yang suka melukai, melaknat, berkata keji dan bukan pula orang yang suka berkata kotor.” (HR Turmudzi)
“Kamu harus bertaqwa kepada Allah, jika seseorang mencelamu dengan sesuatu yang diketahuinya ada pada diri maka janganlah kamu membalas mencelanya dengan sesuatu yang ada pada dirinya, niscaya dosanya kembali kepadanya dan pahalanya untuk kamu, dan janganlah kamu mencela sesuatu.” (HR Ahmad dan Thabrani)
6. Melaknati
Baik melaknati binatang, benda mati atau manusia, semua itu adalah tercela. Rasulullah Saw bersabda,
“Orang mukmin itu bukan orang yang suka melaknat.” (HR Turmudzi).
Sifat-sifat yang menyebabkan pelaknatan : kafir, bid’ah dan kefasikan.
Dilihat dari sasarannya maka pelaknatan itu ada 3 tingkatan :
a. Pelaknatan terhadap sikap-sikap yang lebih umum (misal : laknat Allah bagi orang yang kafir) hal ini dibolehkan.
b. Pelaknatan terhadap terhadap sifat yang lebih khusus (misal : laknat Allah kepada orang Yahudi, Nasrani dan para pezina dll), hal ini dibolehkan.
c. Pelaknatan terhadap perorangan (laknat Allah terhadap Zaid), hal ini mengandung “bahaya” kecuali terhadap orang-orang tertentu yang telah nyata dilaknat oleh Allah.
5. Nyanyian dan syair
Perkataan syair yang baik –yang tidak mengandung kata-kata yang dibenci adalah baik, tetapi yang isinya buruk haruslah ditinggalkan. Tetapi berkonsentrasi penuh untuk syair adalah tercela, khususnya untuk jenis syair yang batil. Nabi saw bersabda,
“Bahwasanya bagian dalam salah seorang diantara kalian terisi penuh dengan nanah sampai mamatahkannya, sungguh itu lebih baik daripada ia penuh dengan syair.” (HR Muslim)
6. Senda gurau
Awalnya tercela dan dilarang kecuali dalam kadar yang sedikit. Rasulullah saw bersabda,
“Janganlah berbantah-bantahan dengan saudaramu, dan janganlah bersenda gurau.” (HR Turmudzi)
Senda gurau yang dibolehkan adalah yang isinya tidak menyakiti, tidak dusta dan tidak berlebihan, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi.
7. Ejekan dan cemoohan
Allah berfirman dalam Surat 49 : 11.
Nabi saw bersabda,
“Barangsiapa yang menjelek-jelekkan saudaranya dengan suatu dosa yang ia telah bertaubat darinya, maka orang itu tidak akan mati sebelum melakukan dosa itu.” (HR Turmudzi)
Olok-olokan tersebut haram, jika yang diolok-olak merasa sakit hati. Jika yang diolok-olok merasa senang atau bahkan membuat dirinya menjadi olok-olokan maka hal ini termasuk senda gurau.
8. Menyebarkan rahasia
Nabi bersabda,
“Apabila seseorang berbicara dengan suatu pembicaraan kemudian berpaling dari isi pembicaraan tersebut adalah amanah.” (HR Abu Dawud dan Turmudzi)
9. Janji palsu dan berdusta
Anas RA berkata, Rasulullah saw bersabda,
“Sambutlah aku dengan enam hal, niscaya aku akan menyambut kalian dengan surga. Para shahabat bertanya, “Apa saja?”. Nabi bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu berbicara, maka janganlah berdusta, apabila berjanji janganlah mengingkari, apabila dipercaya janganlah berkhianat, tundukkanlah pandangan jangalah kemaluanmu, dan tahanlah tangan kalian.” (HR Al Hakim)
“Sesungguhnya dusta membawa kepada kedurhakaan, sedangkan kedurhakaan menyeret ia kepada neraka, dan sesungguhnya seseorang berdusta hingga ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR Bukhari Muslim)
Adapun dusta yang dibolehkan adalah dusta yang terpaksa dilakukan demi tercapainya tujuan yang benar. Sebagaimana sabda Nabi,
“Bukan seorang pendusta orang yang mendamaikan antara manusia (yang bersengketa) yang kemudian menimbulkan kebaikan atau berkata baik.” (HR Bukhari Muslim)
10. Menggunjing (Ghibah)
Ghibah adalah menyebut saudaranya dengan hal yang tidak disukainya seandainya ia mendengarnya (baik penyebutannya dengan lisan, tertulis, isyarat atau dengan cara “menyemangati” seseorang untuk menggunjing saudaranya).
Nabi saw bersabda,
“Janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.”
Adapun penyebab ghibah antara lain : melampiaskan marah, berbasa-basi kepada kawan, membanggakan diri, dengki, bersenda gurau, ingin cuci tangan dari perbuatan yang dituduhkan kepadanya, merendahkan teman, mendahului menjelek-jelekkan di sisi orang yang disegani.
Beberapa alasan yang memberikan rukhshah dalam ghibah antara lain :
- mengadukan kedzaliman.
- Menjadi sarana untuk mengubah kemunkaran, dan mengembalikan orang bermaksiat ke jalan yang benar.
- Meminta fatwa.
- Memperingatkan orang muslim dari keburukan.
- Jika orang yang disebutkan sudah terkenal cacatnya.
- Jika orang yang disebutkan malakukan kefasikan secara terang-terangan.
Kafarat ghibah :
Orang terlanjur menggunjing harus berbuat dan menyesali perbuatannya serta meminta pembebasan dari orang yang digunjing agar terbebas dari tuntutan balasan kedzalimannya, meskipun dalam hal ini ulama berbeda pendapat (At-Tahrim : 10)
11. Perkataan yang berlidah dua
Yaitu perkataan orang yang bolak-balik antara dua orang berselisih dan kepada masing-masing ia mengatakan apa yang disetujuinya. Nabi bersabda,
“Kalian mendapati di antara hamba Allah yang paling buruk pada hari kiamat adalah orang yang memiliki dua wajah. Yang datang kepada dua pihak dengan suatu pembicaraan dan datang kepada pihak (lain) dengan pembicaraan yang (lain pula).”
12. Sanjungan
Sanjungan dapat tersusupi oleh enam penyakit : empat diantaranya terdapat pada orang yang menyanjung, sedangkan dua diantaranya terdapat pada orang disanjung.
Penyakit yang terdapat pada orang yang menyanjung adalah :
a. Berlebih-lebihan sehingga sampai kebohongan.
b. Dapat tersusupinya.
c. Kadang-kadang mengatakan hal yang tidak sebenarnya.
Nabi bersabda,
“Celaka kamu, kamu telah memenggal leher temanmu seandainya dia mendengarnya niscaya dia tidak akan beruntung.”
d. Bila jadi sanjungan tersebut membuat senang orang yang disanjung padahalia orang dzalim atau fasiq.
Penyakit yang terdapat pada orang yang disanjung adalah:
a. Kesombongan dan ujub.
b. Menyenangi sanjungan dan puas terhadap dirinya.
Sedangkan orang yang disanjung –agar tidak terjerumus ke dalam penyakit kesombongan, ujub dan future- maka ia harus berupaya :
- mengenal dirinya secara baik.
- merencanakan bahaya riya’.
- menunjukkan ketidaksukaan terhadap sanjungan.
Nabi bersabda,
“Taburkan pasir di wajah orang-orang yang menyanjung.” (HR Muslim).
13. Kurang cermat dalam berbicara
Banyak bicara adalah ancaman yang berbahaya bagi seseorang kecuali jika lidahnya “fasih”, didukung ilmu yang luas, sifat waro’, hati-hati dan pengawasan yang ketat. Sabda Nabi saw,
“Barangsiapa diam maka pasti selamat.” (HR Turmudzi)
14. Melibatkan diri dg bodoh pada beberapa pengetahuan dan pertanyaan yang menyulitkan.
Nabi saw bersabda,
“Biarkan apa yang aku tinggalkan untuk kalian, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena banyak bertanya, dn menentang Nabi mereka. Apa yang aku larang untuk kalian maka hendaklah kalian menjauhinya, dan apa yang aku perintahkan kepada kalian maka hendaklah kalian mengerjakannya sedapat mungkin.” (HR Bukhari Muslim)
15. Namimah (menghasut)
Nabi bersabda,
“Tidak masuk surga orang yang suka menghasut.” (HR Bukhari Muslim).
Namimah adalah membeberkan apa saja yang tidak disukai pembebernya –baik oleh yang dilaporkan, atau yang dilapori atau pihak ketiga- baik pembeberan tersebut dilakukan dengan lidah, tulisan, isyarat dan lain sebagainya. (lihat QS. Al Qalam : 11 ; At Tahrim : 10)

Catatan I’tikaf 5 : MA’NA TAZKIYATUN NAFS

Catatan I’tikaf 5 : MA’NA TAZKIYATUN NAFS

Catatan I’tikaf 5 : MA’NA TAZKIYATUN NAFS
16 September 2009 pukul 19:37
TazkiyatunNafs
MA’NA TAZKIYATUN NAFS
Apa yang anda ketahui tentang tazkiyatun nafs ? Dan apa yang anda pahami tentang dampak dari tazkiyatun nafs terhadap diri dan orang lain serta lingkungan?
A. secara etimologis, tazkiyatun nafs berasal dari dua buah kata yaitu Tazkiyatun dan An-nafs.
Tazkiyah berasal dari akar kata (Zakaa Yazku-Zakaa & Zakatan) yang berarti Nama (baca; Tumbuh) dan Zada (baca;Bertambah). Zakaa juga bisa berarti Solaha (baca;baik)dan ia juga berarti Barokah (baca;banyak kebaikannya), disamping itu juga berarti Thaharoh / Suci bersih.(lihat . Al-Mu’jamul Wasith, hal 396).
Sedang bentuk kata Tazkiyah dari kata Zaka yang diberi tambahan huruf kaf, sehingga menjadi Zakka-Yuzakki-Tazkiyatan yang berarti menumbuhkan, mengembangkan, memperbaiki, membersihkan, mensucikan dan menjadikannya jadi baik serta bertambah baik.
Kata Zakka-Tazkiyatan dalam berbagai bentuk disebutkan didalam Al-Qur’an berulang kali, bahkan sampai 20 kali, 9 kali dalam ayat-ayat Makkiyah (yang diturunkan si Mekah sebelum hijrah), dan 11 kali dalam ayat-ayat Madaniyah (yang diturunkan sesudah hijrah ke Madinah).
Kata An-Nafs bisa berarti ruh/nyawa/jiwa, seperti dalam ayat “Keluarkanlah Ruh mu”. Ia bisa berarti Nafas, yaitu udara yang keluar dan masuk ke dalam tubuh manusia, melalui mulut atau hidung.(lihat Al-Mufradat fii qoribil Qur’an, hal 501).
An-Nafs bisa berarti diri sendiri, seperti pada kalimat “Ja a Huwa Nafsuhu”, artinya dirinya sendiri yang datang, bukan wakil atau siapa dan apa-apanya. (Lihat, Al-Mu’jamul Wasith, hal. 940).
Dan kata An-Nafs dalam bentuk tunggal dan jamak di dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 306 kali.
Jadi secara etimologis Tazkiyatun nafs berarti ; membersihkan jiwa, memperbaikinya dan menumbuhkannya agar menjadi semakin baik serta mengembangkan potensi baik jiwa manusia.
B. Ma’na istilahi terdiri dari berbagai pendapat ulam dan Shalafus Shalih, dimana satu sama lain melengkapi.
Menurut Abul Qasim Husain bin Muhammad, beliau lebih populer dikenal dengan Ragib Al-isfahani (wafat 502 H), beliau mengatakan bahwa Tazkiyatun Nafs adalah upaya manusia untuk mensucikan jiwa dan dirinya, sehingga ia mempunyai sifat terpuji pada dirinya di dunia tentunya dan kelak di akhirat mendapatkan pahala dan balasan yang besar,(lihat hal. 213)
Syeikh Sa’id Hawwa menjelaskan bahwa Taziyatun nafs adalah salah satu tugas utama para rasul, ia merupakan tujuan yang dicapai oleh orang-orang bertaqwa. Dan selamat atau celakanya manusia tergantung sikapnya terhadap Tazkiyatun nafs, apakah ia concern terhadap permasalahan yang satu ini, atau acuh tak acuh dengan hal ini.
Karena Tazkiyatun Nafs adalah proses pembersihan jiwa dari akhbas (baca;kotoran )serta memperbaiki jiwa, maka tazkiyatun nafs dapat dilakukan dengan berbagai bentuk ibadah, perbuatan baik dan berbagai amalan shalih serta langkah-langkah mujahadah.
Apabila semuanya itu dilakukan, maka akan menjadi bersih yang selanjutnya mempuyai pengaruh, dampak positif hasilnya pada prilaku, tingkah laku dan perkataan, pengaruh itu akan membekas pada lidah,mata,telinga dan anggota tubuh lainnya.
Buahnya yang paling nyata adalah perlakuanya yang baik terhadap Allah dan terhadap manusia juga makhluq lain serta makluq di muka bumi ini. Adabnya kepada Allah berupa komitmen melakukan seluruh kewajibannya kepada Allah dan menjahui segala bentuk prilaku dan perbuatan yang menyebabkan murka Allah, termasuk mengorbankan harta, jiwa dan raganya berjihad dijalan Allah.(Al-Mustakhlas fii Tazkiyatul Anfus, hal. 5-6)
Jadi Tazkiyatun nafs pada hakikatnya adalah proses pembersihan jiwa dan hati dari berbagai dosa dan sifat-sifat tercela yang mengotorinya, dan selanjutnya peningkatan kwalitas jiwa dan hati tersebut dengan mengembangkan sifat-sifat terpuji yang diridhai Allah Swt, serta potensi-potensi positifnya dengan mujahadah, ibadah dan berbagai perbuatan baik lainnya, sehingga hati dan jiwa menjadi bersih dan baik serta berkwalitas. Yang selanjutnya menjadikannya mempuyai sifat-sifat dan prilaku yang baik dan terpuji.
URGENSI TAZKIYATUN NAFS
‘Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah dan mentazkiyah (mensucikan)mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Hikmah.” (QS.3:34)
Kita sering menyibukan diri kita dengan kebersihan badan saja. Padahal Kebersihan jiwa jauh lebih penting dari pensucian badaniyah. Diantara pentingnya atau urgennya Tazkiyatun nafs atau pensucian hati adalah :
Pertama: prilaku dan perbuatan manusia sangat tergantung pada kondisi hati yang ada di dalam dirinya. Apabila hatinya bersih dan baik, prilakunya baik dan sebaliknya apabila hatinya kotor dan buruk prilakunya juga akan buruk. Rasulullah bersabda “ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada suatu organ (mudqoh), apabila ia baik, baiklah seluruh tubuhnya, apabila ia rusak, maka akan rusaklah seluruh tubuh it. Dan organ itu adalah hati.”
Jadi perbaikan diri dan perilaku kita harus dimulai dari dalam diri kita sendiri, dari hati kita. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu Nasib suatu kaum sehngga mereka apa yang ada dalam diri. Dan organ itu adalah hati”.(QS.13:11)
“hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berkatalah dengan kata yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki perbuatan-perbuatanmu dan mengampuni dosa-dosamu.”(QS.33:70)
perhatikanlah ayat tersebut diatas, dimulai dengan iman, kedua dengan perintah bertakwa baru kemudian perintah yang ketiga berkata benar, keempat perbuatan-perbuatan akan membaik dan kelima dosa-dosa akan diampuni Allah. Iman dan takwa yang tempatnya di dalam hati merupakan faktor utama yang menentukan perilaku manusia sehingga mendorongnya untuk berkata benar dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik. Manakala semua ini dilakukan, Allah akan mentazkiah orang tersebut dengan mengampuni dosa-dosanya .
kedua : dari penjelasan diatas dapat kita fahami betapa pentingnya tazkiyatun nafs tersebut. Kebersihan hati lebih penting dan lebih utama dari pada kebersihan fisik. Hati yang bersih akan melahirkan tubuh dan prilaku yang bersih dan sehat, tidak sebaliknya. Dan tidak selalu benar ungkapan yang mengatakan “di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat.”yang benar adalah “hati yang bersih dan sehat akan menampilkan perilaku dan akhlak yang bersih terpuji”
Allah SWTberfirman “sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat (mensucikan hatinya) dan mencintai orang-orang yang membersihakan dirinya (fisiknya).” Ayat ini mendahulukan hati dengan bertaubat ketimbang kebersihan badan dari najis atau hadast. Ini sekaligus berarti kebersihan hati lebih urgen bila dibandingkan kebersihan badan.
Ketiga : dengan hati yang bersih, hidup manusia akan tenang, damai dan bahagia . sungguh beruntung orang yang membersihkan dirinya. Dn sungguh merugi orang yang mengotori dirinya. Kebahagian dn ketentraman ini bukan saja terletak pad kehidupan duniawi yang fana, tetapi hati yang bersih juga jaminan kebahagian ukrowi yang kekal dan abadi. Pada hari kiamat nanti, anak-anak dan harta tidak bermanfaat lagi, kecuali yang datang menhadap ke Allah dengan hati yang bersih “wahai jiwa yang tentram, kembalilah kepada Rabbmu dengan sukarela dan diridhoi Allah, masuklah kedalam surga-Ku.”
Keempat : mengingat demikian urgennya tazkiyatun nafs bagi kehidupan manusia, karenanya Nabi Ibrahim, kekasih Allah dan juga panutan kita, secara khusus meminta kepada Allah agar mengutus Rasul diantara anak cucunya yang kelak akan berperang melakukan Tazkiah . “Wahai Rabb kami, utuslah untuk mereka seorang Rasuldari kalangan mereka yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau. Dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan hikmah serta mentazkiyah (mensucikan mereka) (QS3.2:129)
Permohonan Nabi Ibrahim ini kemudian dikabulkan oleh Allah SWT dengan firman-Nya “sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka ayat-ayat Allah dan mentazkiyah (mensucikan) mereka dan mengajarkan kepad mereka Al-Kitab dan hikmah.” (QS.3:64)
Perhatikan antara do’a Nabi Ibrahim dan jawaban Allah SWT yang mengabulkan do’a tersebut. Pada do’a Nabi Ibrahim disebutkan pada urutan ketiga, urutan terakhirnya setelah membacakan (yasiu) dan mengajarkan (yuallim). Sedangkan dalam jawaban Allah yang mengabulakan do’a tersebut kata tazkiyah/mensucikan (yuzakki) ditempatkan pada posisi kedua setelah membacakan (yaslu), Bukan pada posisi ketiga dan ini menujukan bahwa tazkiyah demikian pentingnya sehinga harus ditarik pada posisi kedua.
Kelima ; ketika Allah SWT mengutus Rasulullah SAW, di jelaskan bahwa salah satu risalah utama beliau adalah tazkiyah .”Dialah yang mengutus kepadakamu yang buta hruf seorang Rasul (Muhammad SAW) diantara mereka yang membacakan ayat-ayat kepada mereka, mentazkiyah(mensucikan) mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah.” (QS. 62:2)
Dalam do’a yang sering beliau panjatkan ke hadirat Allah SWT juga berisi permintaan agar Allah membersihkan hatinya. “Ya Allah, berikanlah ketakwaan ke dalam hatiku dan bersihkanlah hati ini. Engkaulah sebaik-baik yang membersihkannya, Engkaulah pemeliharanya .” (HR. Muslim)
SARANA TAZKIYATUN NAFS
Tazkiyatun nafs , baik dalam artian mensucikan hati, membersihkan diri serta prilaku dari sifart negatif atasdalam artian meningkatkan kualitas diri yang dihiasi dengan ahlak-ahlak mulia dan terpuji dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai sarana (wasail). Sarana tersebut dapatr disederhanakan menjadi dua bagian , yaitu :
Pertama, dengan proses takhalli, yang membersihkan dan membebaskan diri dari berbagai kotoran hati dari berbagai dosa dengan bertaubat dan beristigfar. Dan menjauhkan diri serta membebaskannya dari perbuatan dan sifat-sifat negatif atau tercela. Dengan meninggalkan dan menajahui perbuatan tersebut seperti bohong, khianat, dengki, fasik, nifak, takabur, ghibah , namimah, dan berbagai sifat tercela lainnya.
Kedua, dengan melakukan proses tahalli, yaitu membekali, membiasakan, dan menghiasi diri dengan berbagai perbuatan baik dan positif, seperti peningkatan ilmu, iman, takwa, ibadah, zikir, do’a, tilawah, dan tadabur Al-Quran. Juga dapat dilakukan dengan menumbuhkan membiasakan sifat-sifat terpuji seperti siddiq, jujur, amanah, tawadhu, kidmah dan seterusnya. Sehingga kelak sifat-sifat tersebut menjadi kebiasaan dari ahklaknya dalam kehidupan sehari-hari.
Yang paling tahu tentang hati manusia adalah penciptaNya, yaitu Allah SWT sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur’an :
‘bukankah Dia mengetahui mahluk yang diciptakannya? dan Dia Maha lembut dan Maha mengetahui ‘( QS.67:74)
Oleh karena itu, Dia pulalah yang paling tahu tentang bagaimana cara yang paling efektif untuk mensucikan hati manusia. Berikut ini dikemukakan beberapa sample atau contoh tazkiyatun nafs yang diambil dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW :
1. Tazkiyatun nafs dengan ilmu
Baik dengan cara mempelajarinya, mengamalkannya, dan mengajarkannya kepada orang lain.
‘Berilmulah (ketahuilah) bahwa tidak ada illah kecuali Allah. Dan mintalah ampunan terhadap dosamu.’( QS.47:19)
Dengan peningkatan ilmu tentang ma’rifatullah akan mendorong manusia memohon ampunan atas dosanya, kelalaian. Dan kesalahannya, dan dengan ampunan atas dosa-dosanya maka hatinya menjadi bersih.
Nabi bersabda, ‘ Barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akn memudahkan baginya jalan menuju surga. Dan sesungguhnya malaikat-malaikat meletakan sayap-sayapnya karena senang kepada orang yang menuntut ilmu, dan sesungguhnya orang-orang yang berilmu akan dimohonkan ampunan untuknya oleh penghuni langit dan bumi samapi ikan yang ada di dalam air. HR.Abu Daud dan Tirmizi’ .
Perhatikan sekali lagi hadist diatas, bahwa seluruh penghuni langit dan bumi, bahkan ikan didalam air semuanya memohonkan ampunan kepada Allah bagi orang yang berilmu. Jadi ilmu akan mengatarkan manusia untuk mendapatkan ampunan, yang sekaligus merupakan tazkiyah dari Allah SWT.
2. Iman, taqwa, siddiqul kalam, dan amal sholeh
Iman, taqwa, siddiqul kalam, dan amal sholeh merupakan sarana tazkiyah yang paling efektif. Allah berfirman :’Hai orang-orang yang beriman, bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah akan memperbaiki amal-amal perbuatanmu dan mengampuni dosa-dosamu.’ ( QS.33:70)
‘sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik-baik akan mengahapus kesalahan-kesalahan’ (QS.11:114)
3. Iman dan jihad dangan harta jiwa
‘hai orang-orang yang beriman, maukah kamu aku tunjukan perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang sangat pedih ? yaitu kamu beriman kepada Allah dengan harta dan dirimu itulah yang lebih baik jika kamu mengetahuinya. Niscaya Allah Akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukan kemu kedalam syurga.’ ( QS.61:10)
Rasulullah SAW bersabda ‘keberadaan seseoaran gkamu di jalan Allah lebih afdhol dari pada sholatnya dirumah selama tujuh puluh tahun. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampuni dosamu dan memasukan kamu ke dalam surga/ berperang atau berjihad di jalan Allah. Barang siapa yang berjihad di jalan Allah sejenak saja pasti masuk surga.’HR.Tirmizi
4. Zakat, infak dan shdaqoh
‘Ambillah sebagian sari harta mereka (zakatnya) untukmembersihkan dan mensucikan mereka dengan zakat tersebut.’ (QS.9:103)
‘shadaqoh dapat menghapus dosa-dosa seprti air memadamkan api. Orang yang bertawkwa akan dijauhkan dari api nerak. Yaitu orang yang menjadi bersih.’ (QS.62:16-17)
5. Taubat, Istigfar dan do’a.
‘Dan beristigfarlah kepada Rob-mu sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Sesungguhnya Allah membentangkan tengannya pada malam hari untuk menerima taubat orang yang berbuat salah disiang hari. Dan dia membentangkan tangannya disiang hari untuk menerima taubat orang-orang yang berbuat salah dimalam hari hingga matahari terbenam dari sebelah barat.’ (HR.Muslim)
‘Apabila hamba-hambaku bertnya tentang Aku, sesungguhnya aku dekat. Aku mengabulkan permintaah orang-orang yang berdo’a apabila ia berdo’a kepadaku.. ‘ ( QS.2:186)
Rasulullah SAW bersabda, ‘Rab kita azza wa jalla turun kedunia setiap malam pada sepertiga malam yang terakhir. Dia berkata, siapa yang berdo’a kepada-Ku, Aku kabulkan permintaannya, siapa yang memohon ampuna kepada-Ku, Aku ampuni Dia.’ HR. Jama’ah
Itulah beberapa sample dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Rasulullah SAW. Dan masih banyaklagi yang lain. Pada bagian selanjutnya dari serial tazkiyatun nafs akan dibahas lebih luas dan rinci lagi sarana-saran tazkiyatun nafs tersebut. Insya Allah.
Obat Strees
” Tombo ati iku limo wernane,
ingkang dihin moco Al Qur’an sak maknane’
kaping pindo dzikir ingkang suwe,
kaping telu ngempet weteng kroso luwe,
kaping papat sholat wengi lakonono,
kaping limo sedulur muslim sambangono,
sapa bisa ngelakoni salah siji,
Insya Allah huta’ a’la nyembadani “
Bagaimanakah “obat hati”
yang Islami itu.
1. Yang pertama adalah membaca Al Qur’an dengan disertai pemahaman maknanya. Al Qur’an adalah bacaan yang paling cocok dalam segala suasana. Pada saat kita gembira, maka peringatan-peringatan yang ada dalam Al Qur’an akan mampu menjadi pengerem agar kita tak lupa diri. Demikian pula halnya pada saat kita sedih, maka dengan membaca Al Qur’an terasa sekali dalam lubuk hati kita sentuhan kesejukan dari Firman Allah SWT. Kala kita gagal dalam mencapai sesuatu, maka pesan-pesan dalam Al Qur’an akan mampu menawarkan kesedihan yang ada dalam hati kita. Dengan membaca Al Qur’an, semangat yang hampir pudar karena kegagalan insya Allah akan berangsur pulih kembali.
Firman Allah dalam surat Al Israa’ ayat 82 ” Dan Kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman ….”
2. Yang kedua adalah dengan berdzikir yang lama. Allah SWT berfirman
” ..ingatlah, hanya dengan mengingat Allah.lah hati menjadi tenang ” QS. Ar Rad 28.
Kenapa dengan berdzikir ? Sebab dengan mengingat Allah, maka timbulah tawakkal dan penyerahan diri kita kepada Allah. Dan kalau toh apa yang hendak kita raih tersebut luput terpegang tangan, maka dengan kembali mengingat Allah, sadarlah kita, mungkin apabila keinginan kita tersebut terkabul, justru mudharotlah yang datang. Dengan demikian yang muncul bukanlah rasa kecewa dan penyesalan, akan tetapi justru syukur yang dalam pada Allah. Bukankah Allah yang paling mengetahui keadaan dan kemampuan kita ?
3. Yang ketiga adalah dengan puasa. Salah satu hikmah puasa, disamping dapat menimbulkan perasaan sosial terhadap sesama, adalah untuk kesehatan. Bukti-bukti cukup banyak, bahwa orang orang yang mengidap mag, malah sembuh bila berpuasa, padahal menurut ilmu kedokteran seharusnya orang yang mengidap mag menjaga makannya agar teratur dan tidak telat.
Penulis sendiri juga mengalami, gangguan pencernaan yang tak kunjung reda, malah sembuh dengan membiasakan puasa sunah. Ditinjau dari segi kejiwaanpun puasa ternyata mempunyai efek yang baik sekali. sebab dengan puasa, secara tidak langsung seseorang dilatih untuk dapat mengendalikan tuntutan hawa nafsu yang cenderung untuk melakukan hal-hal yang sesat.
Dilain pihak, dengan berpuasa, seseorang akan jadi merasa lebih dekat dengan Allah, sehingga merasa lebih aman dan tenteram.
4. Yang ke empat ialah shalat malam. Shalat tahajut, meskipun tidak wajib, tetapi sangat dianjurkan untuk melaku-kannya. Banyak ayat dalam Al Qur’an yang menujukkan betapa penghargaan Tuhan terhadap hamba-hambaNya yang datang menemuiNya, pada saat hamba-hamba yang lain lelap dalam tidur. Allah menjajikan, terhadap orang-orang yang bersegera menuju keridhaanNya, suatu derajat yang tinggi.
” Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajutlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji ” QS Al Israa’ 79
5. Yang kelima ialah mengunjungi saudara sesama muslim. Banyak sekali hikmah yang dapat dikaji dari silaturahmi terhadap sesama saudara muslim ini.
Dengan bersilaturami, maka ukhuwah yang hampir retak akan kembali utuh. Dengan bersilaturami, maka berbagai persoalan yang membelit kepala insya Allah akan dapat dicarikan penyelesaiannya. Dengan bersilaturahmi, kita dapat saling berbagi suka dan duka, berbagi kesedihan, mencurahkan pera- saan, sehingga beban berat yang menghimpit, akan terasa lebih ringan, karena kita tidak sendiri. Disamping itu, saling pesan dalam kebenaran dan kesabaran hanya mungkin terlaksana apabila tali ukhuwah tetap terjalin.
Tersebut dalam Hadist riwayat Abu Dawud, Rasulullah SAW bersabda
” Diantara hamba-hamba Allah ada sekelompok orang yang bukan nabi an
syuhada, tetapi para nabi dan syuhada merasa tergiur dengan keadaan mereka,karena kedudukannya yang mulia di sisi Allah. Para sahabat bertanya, ” Wahai Rasulullah, siapakah mereka itu ?”. Jawab beliau : “Mereka adalah sekelompok orang yang memadu cinta kasih dalam mencari keridhaan Allah, yang diantara mereka tidak ada hubungan kerabat dan tidak ada tujuan duniawi. Demi Allah, wajah mereka bercahaya, sedangkan mereka tidak merasa khawatir dan takut ketika orang lain dilanda perasaan khawatir dan takut. Mereka tidak berduka cita ketika orang lain menderita “

Catatan I’tikaf 6 : Muraqabah dan Muhasabah

Catatan I’tikaf 6 : Muraqabah dan Muhasabah

Catatan I’tikaf 6 :  Muraqabah dan Muhasabah
16 September 2009 pukul 19:40
Muraqabah dan Muhasabah
Muqaddimah
“(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu masih berupa janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa”.(QS. 53:32)
Ayat Allah SWT tersebut di atas benar-benar menyadarkan kita akan kelemahan dan kenistaan kita sebagai manusia yang sering kali berbuat kekhilafan. Bahwa seandainya pun kita terhindar dari dosa-dosa besar, kita pasti tak akan luput dari dosa-dosa kecil. Allah menegaskan bahwa kita jangan merasa dan mengklaim diri suci, karena Allah sajalah yang paling mengetahui siapa yang bertaqwa dan yang tidak. Sementara Allah juga tahu siapa diri kita sejak dari awal penciptaan, ketika masih berupa janin di rahim ibu kita, hingga kita dewasa. Namun Ia juga mengingatkan kita tentang ampunan-Nya yang luas.
Memang hanya satu insan kamil yang ma’shum, yakni Rasulullah SAW. Beliau menjalani proses pembedahan dada dan pembersihan jiwa oleh malaikat Jibril karena beliau dipersiapkan untuk mengemban tugas mulia. Namun beliau juga pernah mengatakan bahwa kalau bukan karena rahmat Allah niscaya tak akan ada yang selamat dari siksa Allah dan neraka-Nya. “Tidak juga engkau ya Rasulullah?”. “Ya, tidak juga aku”.
Selain sifat manusia yang lemah, mudah lupa, khilaf, kikir dan berkeluh kesah, penyebab terjerumusnya manusia ke dalam lembah kenistaan dan kemaksiatan adalah godaan syaithan yang gencar dari segala penjuru.
Dalam QS. Az-Zukhruf:36-37, Allah SWT berfirman: “Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Qur’an), kami adakan baginya syaithan (yang menyesatkan). Maka syaithan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya (qarin). Dan sesungguhnya syaithan-syaithan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk”.
Qarin alias syaithan yang selalu mendampingi kita, akan sukses menggoda kita, jika kita berpaling dari-Nya dan ajaran-Nya (Al-Qur’an). Sampai akhirnya kita terhalang dari jalan yang lurus dan benar. Namun ironisnya, kita tetap menyangka berada di jalan yang benar dan memperoleh petunjuk-Nya. Padahal kita sudah jauh tersesat.
Hanya Rasulullah SAW saja yang tak dapat digoda oleh Qarin. Bahkan Qarinpun tak akan mampu menyerupai Rasulullah SAW baik ketika beliau masih hidup maupun setelah meninggal dunia.
Menyadari begitu rentan dan lemahnya kita sebagai manusia dari godaan syaithan yang menyesatkan dan menghalangi kita dari ajaran Allah serta melalaikan kita dari mengingat-Nya, maka jelas pemahaman dan kesadaran muraqabah dan muhasabah adalah satu kemestian.
Pengertian Muraqabah dan Muhasabah
Muraqabah adalah upaya diri untuk senantiasa merasa terawasi oleh Allah (muraqabatullah). Jadi upaya untuk menghadirkan muraqabatullah dalam diri dengan jalan mewaspadai dan mengawasi diri sendiri.
Sedangkan muhasabah merupakan usaha seorang Muslim untuk menghitung, mengkalkulasi diri seberapa banyak dosa yang telah dilakukan dan mana-mana saja kebaikan yang belum dilakukannya. Jadi Muhasabah adalah sebuah upaya untuk selalu menghadirkan kesadaran bahwa segala sesuatu yang dikerjakannya tengah dihisab, dicatat oleh Raqib dan Atib sehingga ia pun berusaha aktif menghisab dirinya terlebih dulu agar dapat bergegas memperbaiki diri.
Urgensi Muraqabah dan Muhasabah
Bila setiap Muslim senantiasa memuraqabahi dirinya dan menghadirkan muraqabatullah (pengawasan Allah) dalam dirinya maka ia akan selalu takut untuk berbuat kemaksiatan karena ia selalu merasa dan sadar dirinya dalam pemantauan dan pengawasan Allah.
Kemudian bila ia juga gemar memuhasabahi dirinya karena takut pada perhitungan hari akhirat, maka bisa dipastikan akan terwujud masyarakat yang aman karena semua orang sudah memiliki pengawasan melekat. Orientasi Ukhrawi membuat seseorang senantiasa memperhitungkan segala tindak-tanduknya dalam perspektif Ukhrawi. Ia juga akan terhindar dari penyakit Wahn (cinta dunia dan takut mati), keserakahan, kezhaliman, penindasan dan kemungkaran, karena semua keburukan itu hanya akan menyengsarakannya di akhirat kelak.
Sebaliknya ia akan berusaha menanam kebajikan sebanyak mungkin (QS. 22:77) agar dapat menuai hasilnya di akhirat kelak. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah pernah mengibaratkan bahwa dunia adalah ladang tempat menanam, bibitnya adalah keimanan dan ketaatan adalah air dan pupuknya. Sementara akhirat adalah tempat kita memetik atau menuai hasilnya, kelak.
Bila demikian keadaannya, Insya Allah akan tercipta “Baldatun thayyibatun warabbun ghafur” (negeri yang baik, berkah dan dalam ampunan Allah) yang bukan sekedar slogan. Selain tercipta kemaslahatan dalam scope atau ruang lingkup negeri, Insya Allah akan tercipta pula kemaslahatan di ruang lingkup dunia internasioanal bila para Muslimnya dengan kualitas seperti itu mampu menjadi “Ustadziatul ‘alam” (soko guru dunia). Hanya dengan bimbingan dan arahan para ustadziatul ‘alam yang sekaligus khalifatullah fil ardhi sajalah, dunia akan terbebas dari bencana, kerusakan dan kemurkaan Allah (QS. 2:10-11, 30:41).
Namun bila para Muslim tetap mengekor musuh-musuh Allah yang membenci Al-Qur’an (QS. 47:25-26) maka bahaya kemurtadan massal menghadang di depan mata dan tetap saja yahudi la’natullah alaihim yang memegang supremasi dan mengendalikan dunia serta terus menimbulkan kerusakan dan menumpahkan darah.
Tahapan-tahapannya
Ada beberapa tahapan yang memiliki keterkaitan erat satu sama lain dan membangun sistem pengawasan serta penjagaan yang kokoh. Kesemua tahapan tersebut penting kita jalani agar benar-benar menjadi “safety net” (jaring pengaman) yang menyelamatkan kita dari keterperosokan dan keterpurukan di dunia serta kehancuran di akhirat nanti.
1. Mu’ahadah.
Mu’ahadah yakni mengingat dan mengokohkan kembali perjanjian kita dengan Allah SWT di alam ruh. Di sana sebelum kita menjadi janin yang diletakkan di dalam rahim ibu kita dan ditiupkan ruh, kita sudah dimintai kesaksian oleh Allah, “Bukankah Aku ini Rabbmu?” Mereka menjawab: “Benar (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi”.(QS. 7:172) Dengan bermu’ahadah, kita akan berusaha menjaga agar sikap dan tindak tanduk kita tidak keluar dari kerangka perjanjian dan kesaksian kita.
Dan kita hendaknya selalu mengingat juga bahwa kita tak hanya lahir suci (HR. Bukhari-Muslim) melainkan sudah memiliki keberpihakan pada Al-haq dengan syahadah di alam ruh tersebut sehingga tentu saja kita tak boleh merubah atau mencederainya (QS. 30:30)
2. Muraqabah.
Setelah bermu’ahadah, seyogyanyalah kita bermuraqabah. Jadi kita akan sadar ada yang selalu memuraqabahi diri kita apakah melanggar janji dan kesaksian tersebut atau tidak.
Penjelasan yang detail tentang muraqabah diuraikan dalam bagian tersendiri, karena tulisan ini memang menitikberatkan pada pembahasan tentang muraqabah dan muhasabah.
3. Muhasabah.
Muhasabah adalah usaha untuk menilai, menghitung, mengkalkulasi amal shaleh yang kita lakukan dan kesalahan-kesalahan atau maksiat yang kita kerjakan. Penjabaran lebih detail tentang muhasabah juga ada pada bagian tersendiri.
4. Mu’aqabah.
Selain mengingat perjanjian (mu’ahadah), sadar akan pengawasan (muraqabah) dan sibuk mengkalkulasi diri, kita pun perlu meneladani para sahabat dan salafus-shaleh dalam meng’iqab (menghukum/menjatuhi sanksi atas diri mereka sendiri). Bila Umar r.a terkenal dengan ucapan: “Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab”, maka tak ada salahnya kita menganalogikan mu’aqabah dengan ucapan tersebut yakni “Iqablah dirimu sebelum kelak engkau diiqab”. Umar Ibnul Khathab pernah terlalaikan dari menunaikan shalat dzuhur berjamaah di masjid karena sibuk mengawasi kebunnya. Lalu karena ia merasa ketertambatan hatinya kepada kebun melalaikannya dari bersegera mengingat Allah, maka ia pun cepat-cepat menghibahkan kebun beserta isinya tersebut untuk keperluan fakir miskin. Hal serupa itu pula yang dilakukan Abu Thalhah ketika beliau terlupakan berapa jumlah rakaatnya saat shalat karena melihat burung terbang. Ia pun segera menghibahkan kebunnya beserta seluruh isinya, subhanallah.
5. Mujahadah
Mujahadah adalah upaya keras untuk bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah kepada Allah, menjauhi segala yang dilarang Allah dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan-Nya. Kelalaian sahabat Nabi SAW yakni Ka’ab bin Malik sehingga tertinggal rombongan saat perang Tabuk adalah karena ia sempat kurang bermujahadah untuk mempersiapkan kuda perang dan sebagainya. Ka’ab bin Malik mengakui dengan jujur kelalaian dan kurangnya mujahadah pada dirinya. Ternyata Kaab harus membayar sangat mahal berupa pengasingan/pengisoliran selama kurang lebih 50 hari sebelum akhirnya turun ayat Allah yang memberikan pengampunan padanya.
Rasulullah Muhammad SAW terkenal dengan mujahadahnya yang luar biasa dalam ibadah seperti dalam shalat tahajjudnya. Kaki beliau sampai bengkak karena terlalu lama berdiri. Namun ketika isteri beliau Ummul Mukminin Aisyah r.a bertanya, “Kenapa engkau menyiksa dirimu seperti itu, bukankah sudah diampuni, seluruh dosamu yang lalu dan yang akan datang”. Beliau menjawab. “Salahkah aku bila menjadi ‘abdan syakuran?”.
6. Mutaba’ah.
Terakhir kita perlu memonitoring, mengontrol dan mengevaluasi sejauh mana proses-proses tersebut seperti mu’ahadah dan seterusnya berjalan dengan baik.
Muraqabah
Muraqabah atau perasaan diawasi adalah upaya menghadirkan kesadaran adanya muraqabatullah (pengawasan Allah). Bila hal tersebut tertanam secara baik dalam diri seorang Muslim maka dalam dirinya terdapat ‘waskat’ (pengawasan melekat atau built in control) yakni sebuah mekanisme yang sudah inheren, dalam dirinya. Artinya ia akan aktif mengawasi dan mengontrol dirinya sendiri karena ia sadar senantiasa berada di bawah pengawasan Allah seperti dalam untaian ayat-ayat Allah berikut ini:
“…Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.(QS. 57:4), “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya”.(QS. 50:16), “Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”.(QS. 6:59)
(Luqman berkata) : “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya) sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.(QS. 31:16)
Kemudian dalam HR. Ahmad, Nabi SAW bersabda, “Jangan engkau mengatakan engkau sendiri, sesungguhnya Allah bersamamu. Dan jangan pula mengatakan tak ada yang mengetahui isi hatimu, sesungguhnya Allah mengetahui”.
Muraqabatullah atau kesadaran tentang adanya pengawasan Allah akan melahirkan ma’iyatullah (kesertaan Allah) seperti nampak pada keyakinan Rasulullah SAW (QS. 9:40) bahwa “Sesungguhnya Allah bersama kita” ketika Abu Bakar r.a sangat cemas musuh akan bisa mengetahui keberadaan Nabi dan menangkapnya. Begitu pula pada diri Nabi Musa a.s ketika menghadapi jalan buntu karena di belakang tentara Fir’aun mengepung dan laut merah ada di depan mata. Namun ketika umat pengikutnya panik dan ketakutan, beliau sangat yakin adanya kesertaan Allah. Ia berkata, “Sekali-kali tidak (akan tersusul). Rabbku bersamaku. Dia akan menunjukiku jalan”.
Kemudian akhirnya Nabi Ibrahim a.s juga dapat menjadi contoh agung tentang kesadaran akan kesertaan dan pertolongan Allah. Yakni ketika beliau diseret dan dibakar di api unggun, beliau tetap tenang. Dan benar saja terbukti beliau keluar dari api unggun dalam keadaan sehat wal ’afiat karena Allah telah memerintahkan makhluknya yang bernama api agar menjadi dingin dengan izin dan kehendak-Nya.
Muhasabah
Muhasabah atau menghisab, menghitung atau mengkalkulasi diri adalah satu upaya bersiap-siaga menghadapi dan mengantisipasi yaumal hisab (hari perhitungan) yang sangat dahsyat di akhirat kelak.
Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri, memperhatikan bekal apa yang dipersiapkannya untuk hari esok (kiamat). Bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.(QS. 59:18). Persiapan diri yang dimaksud tentu saja membekali diri dengan taqwa kepada karena di sisi Allah bekal manusia yang paling baik dan berharga adalah taqwa.
Umar r.a pernah mengucapkan kata-katanya yang sangat terkenal: “Haasibu anfusakum qabla antuhasabu” (Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab).
Allah SWT juga menyuruh kita bergegas untuk mendapat ampunan-Nya dan syurga-Nya yang seluas langit dan bumi, diperuntukkan-Nya bagi orang-orang yang bertaqwa.(QS 3:133)
Begitu pentingnya kita melakukan muhasabah sejak dini secara berkala karena segala perkataan dan perbuatan kita dicatat dengan cermat oleh malaikat Raqib dan Atid dan akan dimintakan pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah.( QS. 50:17-18). Setiap kebaikan sekecil apapun juga akan dicatat dan diberi ganjaran dan keburukan sekecil apapun juga akan dicatat dan diberi balasan berupa azab-Nya.(QS. 99:7-8)
Bila kita mengingat betapa dahsyatnya hari penghisaban, perhitungan dan pembalasan, maka wajar sajalah jika kita harus mengantisipasi dan mempersiapkan diri sesegera, sedini dan sebaik mungkin. Dalam QS. 80:34-37, tergambar kedahsyatan hari itu ketika semua orang berlarian dari saudara, kerabat, sahabat, ibu dan bapaknya serta sibuk memikirkan nasibnya sendiri. Hari di mana semua manusia pandangannya membelalak ketakutan, bulan meredup cahayanya, matahari dan bulan dikumpulkan, manusia berkata: “Kemana tempat lari?. Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung. Hanya kepada Tuhanmu saja pada hari itu tempat kembali”.(QS. 75:7-12)
Ummul Mu’minin Aisyah r.a bertanya kepada Rasulullah SAW apakah manusia tidak malu dalam keadaan telanjang bulat di padang mahsyar. Rasulullah SAW menjawab bahwa hari itu begitu dahsyat sampai-sampai tidak ada yang sempat melihat aurat orang lain.
Rasulullah SAW juga pernah bersabda bahwa ada 7 golongan yang akan mendapat naungan/perlindungan Allah di mana di hari tidak ada naungan/perlindungan selain naungan/perlindungan Allah (Yaumul Qiyamah atau Yaumul Hisab). Ketujuh golongan itu adalah Imam yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah SWT, pemuda yang lekat hatinya dengan masjid, orang yang saling mencintai karena Allah; bertemu dan berpisah karena Allah, orang yang digoda wanita cantik lagi bangsawan dia berkata, “Sesungguhnya aku takut kepada Allah”, orang yang bersedekah dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya tidak mengetahuinya (secara senbunyi-sembunyi) dan orang yang berkhalwat dengan Allah di tengah malam dan meneteskan airmata karena takut kepada Allah.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa orang yang pertama dihisab adalah mereka yang berjihad, berinfaq dan beramal shaleh (QS. 22:77, 2:177). Kemudian sabda Rasulullah SAW di hadits lainnya: “Ada 70.000 orang akan segera masuk surga tanpa dihisab”. “Do’akan aku termasuk di dalamnya, ya Rasulullah!”, mohon Ukasyah bersegera. “Ya, Engkau kudo’akan termasuk di antaranya”, sahut Nabi SAW. Ketika sahabat-sahabat yang lain meminta yang serupa, jawab Nabi SAW singkat, “Kalian telah didahului oleh Ukasyah”. “Siapa mereka itu ya Rasulullah?”, tanya sahabat. “Mereka adalah orang yang rajin menghisab dirinya di dunia sebelum dihisab di akhirat”. Subhanallah.
Di riwayat lain dikisahkan bahwa orang-orang miskin bergerombol di depan pintu surga. Ketika dikatakan kepada mereka agar antri dihisab dulu, orang-orang miskin yang shaleh ini berkata, “Tak ada sesuatu apapun pada kami yang perlu dihisab”.
Dan memang ada 3 harta yang tak akan kena hisab yakni: 1 rumah yang hanya berupa 1 kamar untuk bernaung, pakaian 1 lembar untuk dipakai dan 1 porsi makanan setiap hari yang sekedar cukup untuk dirinya. Maka orang-orang miskin itupun dipersilakan masuk ke surga dengan bergerombol seperti kawanan burung.
Betapa beruntungnya mereka semua padahal hari penghisaban itu begitu dahsyatnya sampai banyak yang ingin langsung ke neraka saja karena merasa tak sanggup segala aibnya diungkapkan di depan keseluruhan umat manusia. Apalagi tak lama kemudian atas perintah Allah, malaikat Jibril menghadirkan gambaran neraka yang dahsyat ke hadapan mereka semua sampai-sampai para Nabi dan orang-orang shaleh gemetar dan berlutut ketakutan. Apalagi orang-orang yang berlumuran dosa.
Yaumul Hisab itu bahkan juga terasa berat bagi para Nabi seperti Nabi Nuh yang ditanya apakah ia sudah menyampaikan risalah-Nya atau Nabi Isa yang ditanya apakah ia menyuruh umatnya menuhankan ia dan ibunya sebagai dua tuhan selain Allah. Pertanyaan yang datang bertubi-tubi itu terlihat menekan dan meresahkan para Nabi. Jika Nabi-nabi saja demikian keadaannya, bagaimana pula kita ?.
Mudah-mudahan saja kita tidak termasuk orang yang bangkrut/pailit di hari penghisaban, hari ketika dalih-dalih ditolak dan hal sekecil apapun dimintakan pertanggungjawabannya. Mengapa disebut bangkrut? Karena ternyata amal shaleh yang dilakukan terlalu sedikit untuk menebus dosa-dosa kita yang banyak sehingga kita harus menebusnya di neraka. Na’udzubillah min dzalik.
Hasil Muraqabah dan Muhasabah
Seseorang yang rajin me’muraqabah’i dan me’muhasabah’i dirinya akan mau dan mudah melakukan perbaikan diri. Ia juga akan mau meneliti, mengintrospeksi, mengoreksi dan menganalisis dirinya. Hal-hal apa saja yang menjadi faktor kekuatan dirinya yang harus disyukuri dan dioptimalkan. Kemudian hal-hal apa saja yang menjadi faktor kelemahan dirinya yang harus diatasi, bahkan kalau mungkin dihilangkan. Lalu bahaya-bahaya apa yang mengancam diri dan aqidahnya sehingga harus diantisipasi, dan akhirnya peluang-peluang kebajikan apa saja yang dimilikinya yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Jika dirinci, paling tidak, ada 3 hasil yang akan diraih orang yang rajin melakukan muraqabah dan muhasabah :
1. Mengetahui aib, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan dirinya serta berupaya sekuat tenaga meminimalisir atau bahkan menghilangkannya.
2. Istiqamah di atas syari’at Allah. Karena ia mengetahui dan sadar akan konsekuensi-konsekuensi keimanan dan pertanggungjawaban di akhirat kelak maka cobaan sebesar apapun tidak akan memalingkannya dari jalan Allah seperti misalnya tokoh Bilal dan Masyitah. Walaupun keistiqamahan adalah hal yang sangat berat sehingga Rasulullah SAW sampai mengatakan, “Surat Hud membuatku beruban” (Karena di dalamnya ada ayat 112 berisi perintah untuk istiqamah).
3. Insya Allah akan aman dari berat dan sulitnya penghisaban di hari kiamat nanti (QS. 3:30)
Wallahu ‘alam bish showab

Catatan I’tikaf 7 Keutamaan Berzikir

Catatan I’tikaf 7 : Keutamaan Berzikir

Catatan I’tikaf 7   : Keutamaan Berzikir
16 September 2009 pukul 19:43
Keutamaan Berzikir
. “Hendaklah engkau senantiasa merasa diawasi oleh Allah Taala. Mengingat akhirat, dan bersiap-siap untuk menjemputnya, mengambil jalan pintas untuk menuju ridha Allah Taala. Dengan tekad yang kuat, mendekatkan diri kepada-Nya dengan ibadah sunnah seperti qiyamul lail, puasa tiga hari minimal setiap bulan, memperbanyak zikir dan berusaha mengamalkan do’a yang diajarkan pada setiap kesempatan”.(Risalatul Ta’lim, Hasan Al-Banna)
Selain shalat sebagai sarana utama berzikir kepada Allah, terdapat banyak cara berzikir yang lain dengan bacaan-bacaan yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Terdapat berbagai macam zikir yang sebaiknya dibaca setelah shalat dan bahkan di setiap waktu, keadaan, kegiatan selalu ada zikirnya. Maka setiap kader seyogianya bahkan harus mampu mengamalkan zikir-zikir tersebut.
Tidak ada alasan bahwa sulit menemukan bentuk-bentuk dan cara zikir, karena telah terdapat banyak buku yang dapat dibaca, baik yang masih berbahasa Arab maupun yang telah diterjemahkan. Namun demikian seorang kader, khususnya di bidang hadits atau bahasa Arab harus dapat menanyakan orisinalitas zikir tersebut atau maknanya, sehingga tidak terjebak kepada zikir-zikir yang tidak ma’tsur atau memiliki makna yang bertentangan dengan tauhid ahlussunnah wal jama’ah.
Agar seorang akh dapat mengerjakan zikir secara rutin, dapat memberikan berkah dan mengerjakan dengan penuh keikhlasan, maka perlu difahamkan akan: Dalil-dalil tentang berzikir, fadhilah berzikir, adab berzikir. Macam-macam zikir, cara membiasakan diri agar mencintai zikir dan melakukan zikir. Ancaman bagi yang tidak pernah berzikir dan contoh-contoh dalam berzikir.
Pokok-pokok Materi
1. Dalil-dalil tentang berzikir
2. Fadhilah berzikir
3. Adab berzikir
4. Macam-macam zikir
5. Cara membiasakan diri agar mencintai dan melakukan zikir
6. Ancaman bagi yang tidak berzikir
7. Contoh-contoh zikir
Maraji’
Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi; Majmu’atur Rasail, Hasan Al-Banna..
Mukadimah
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ * الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda kebesaran bagi kaum yang berfikir, yakni mereka yang selalu mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, atau berbaring seraya berfikir tentang penciptaan langit dan bumi (kemudian berkata): Ya Rabb kami, tidaklah Engkau ciptakan segala sesuatu dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari adzab api neraka”.(QS. Ali-Imran:190-191)
Suatu saat ketika Rasulullah SAW tengah shalat tahajjud, turunlah ayat ini dan beliaupun menangis. Bilal yang berada di dekat Rasulullah SAW melihat beliau menangis bertanya: “Mengapa engkau menangis, ya Rasulullah?” “Celakalah orang yang membaca ayat-ayat ini(QS. 3:190-191) namun tidak juga mengambil pelajaran darinya”.
Digambarkan dalam 2 ayat di atas keterpaduan antara ayat qauliyah dan kewajiban mentadabburinya serta ayat-ayat kauniyah dan kewajiban mentafakkurinya. Kemudian juga antara kegiatan berzikir dan berfikir.
Rasulullah SAW sebagai pribadi mulia yang menjadi panutan digambarkan sebagai orang yang diamnya fikir (senantiasa berfikir) dan bicaranya adalah zikir (senantiasa berzikir). Beliau tidak pernah berdiam diri, melamun yang tidak berguna, melainkan diamnya selalu dengan konteks berfikir. Begitu pula bila beliau berkata-kata, seluruh kata-katanya mengandung zikir atau paling tidak mengandung muatan zikir.
Dalam QS. Ali-Imran:102, Allah Taala berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu dengan sebenar-benar taqwa (haqqa tuqatih) dan janganlah engkau mati melainkan dalam keadaan Islam”.
Makna taqwa yang “haqqa tuqatihi” dijabarkan dalam hadits sebagai berikut: “Allah senantiasa kau ingat (dzikrullah) dan tidak kamu lupakan. Allah selalu kau syukuri (bersyukur kepada-Nya) dan tidak mengkufuri nikmatnya. Dan Allah senantiasa kau taati dan tidak kau kufuri”.
Salah satu ciri ketaqwaan yang hakiki ternyata adalah berzikir pada-Nya di mana saja dan kapan saja. Artinya di dalam kondisi yang bagaimanapun kita tetap mengingatnya, berzikir dengan hati, akal dan lisan kita.
Zikirullah juga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan keimanan. Dan orang-orang yang lalai dari mengingat Allah akan mudah terperosok atau terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan.
Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna ditaqdirkan Allah lahir ke dunia sebagai seorang mujtahid dan pejuang/mujahid. Ia seorang imam dalam segala hal, demikian ungkap Syaikh Ramadhan Al-Buthi. Ia juga pemimpin yang menyejarah, fenomenal, demikian ungkap Abul Hasan Ali An-Nadwi sedangkan komentar Al-Bahi al-Khuli, ia adalah sebuah gagasan yang menyimpan kekuatan. Dan Robert Jackson, pengamat asing menilai bahwa dalam diri Imam Hasan Al-Banna terkumpul kecerdikan politisi, kekuatan para panglima, hujjah para ulama, keimanan kaum sufi, ketajaman analisa para ahli matematika, analogi para filosofi, kepiawaian para orator dan keindahan susunan kata para sastrawan.
Salah satu bentuk kegenialan dan kecemerlangan Hasan Al-Banna adalah konsepnya tentang sosok-sosok rijalud dakwah (pelopor-pelopor dakwah). Bahwa dalam sosok rijalud dakwah itu terkandung konsep ulul albab yang memadukan antara unsur qalb dan ‘aql, antara unsur zikir dan fikir antara unsur keikhlasan, kebersihan hati, ketajaman analisis dan kesempurnaan pemahaman.
Oleh karena itu dalam buku Majmu’ah Rasail Al-Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna yang diterjemahkan oleh penerbit Intermedia, Solo sebagai Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin selain dibahas secara tajam dan jernih berbagai aspek yang krusial dan aktual, maka diulas pula masalah zikir secara lengkap dan rinci beserta contoh-contohnya.
Hasan Al-Banna memuji Rasulullah SAW sebagai sebaik-baik ahli zikir dan pemimpin orang-orang yang berzikir. Rasulullah adalah hamba yang paling mengenal Rabbnya, memiliki lafal-lafal yang indah, kedalaman makna zikir, do’a, syukur, tasbih dan tahmid di setiap waktu dan kesempatan baik zikir yang kecil, maupun zikir yang besar.
Karena Rasulullah SAW selalu berzikir di setiap kesempatan, maka jika ada pertanyaan kapankah kita berzikir, jawabannya adalah di setiap waktu dan tempat. Dan Hasan Al-Banna menuntut agar setiap a’dlo Ikhwanul Muslimin ber-ittiba’ dan berqudwah kepada sunnah Nabi dengan cara menghafal lafal-lafal zikirnya dalam rangka bertaqarrub kepada Allah.
Keutamaan Atau Fadhilah Zikir
Dalam Al-Qur’an ada begitu banyak ayat yang memerintahkan kita untuk memperbanyak zikir. Dan penjelasan tentang keutamaannya juga ada di banyak ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw.
Bahkan di dalam QS. 33:35 yang berisikan ciri-ciri orang-orang yang akan mendapat ampunan dan pahala yang besar dimulai dari laki-laki dan perempuan yang muslim, mukmin, taat, jujur, sabar, khusyu, bersedekah, berpuasa, menjaga kehormatannya hingga akhirnya puncak kriterianya adalah orang yang banyak mengingat Allah.
Dan di surat yang sama (Al-Ahzab) tetapi di ayat 41 dan 42, tertera jelas firman Allah,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا * وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama Allah) dengan zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang”.
Keutamaan zikir juga nampak dalam hadits-hadits ini, “Aku terserah kepada persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Jika ia mengingat-Ku (berzikir) dalam dirinya, Aku akan menyebutnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di dalam sebuah jama’ah, Aku akan menyebutnya di dalam jama’ah yang lebih baik dari mereka”.(Hadits Qudsi, Muttafaqun ‘alaihi dari Abu Hurairah).
Dan dalam hadits Hasan riwayat Tirmidzi dari Abdullah bin Yusr r.a. Ada seorang berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syari’at Islam telah banyak ada padaku, maka beritahulah kepadaku sesuatu yang aku bisa berpegang teguh dengannya”. Rasulullah pun bersabda: “Hendaklah lisanmu selalu basah karena berzikir kepada Allah”.
Paling tidak ada beberapa keutamaan zikrullah yang dapat disebut di antaranya ialah:
1. Memperoleh ketenangan hati dan ketenteraman jiwa. Iman dan kekuatan zikir serta hubungan dengan Allah menjadi stabilisator jiwa, sehingga seseorang selalu diliputi ketenangan dengan ketenteraman karena selalu ingat Allah. Seorang mukmin tak akan bergembira berlebih-lebihan, melonjak-lonjak atau terhanyut dalam kedukaan yang berkepanjangan. Seperti dalam hadits Nabi SAW: “Sungguh ajaiblah orang yang beriman. Bila diberi karunia ia bersyukur ( mengembalikannya kepada Allah) dan itu baik untuknya. Bila diberi musibah ia bersabar dan itu lebih baik lagi untuknya”.
2. Memberatkan timbangan hasanat di Yaumul Mizan. Kata Rasulullah ada ucapan zikir yang ringan diucapkan dan berat timbangan kebaikannya di antaranya ialah: Subhanallah, walhamdulillah walaa ilaha illallah wallahu akbar.
3. Dijauhkan dari segala tipu daya setan dan marabahaya. Dengan seseorang rajin membaca zikir ma’tsurat misalnya di waktu pagi dan petang, maka ia terhindar dari segala marabahaya yang datang dari syaitan jenis manusia maupun jin. Tidak akan terkena terkena tipu daya setan, hipnotis, santet, pelet, dan ilmu hitam lainnya.
4. Memperoleh keberuntungan dan kemenangan.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ * فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman jika sudah ada adzan/panggilan untuk shalat Jum’at, bersegerahlah untuk zikir kepada Allah dan tinggalkan jual beli, itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Maka jika sudah menunaikan shalat itu, bertebaranlah kamu di muka bumi, carilah bagian dari karunia Allah dan berzikirlah kepada Allah banyak-banyak agar kalian beruntung/sukses”.(QS. Al-Jumu’ah:9-10)
Jadi berzikir kepada Allah banyak-banyak adalah kunci keberuntungan dan kemenangan.
5. Sebagai alat kontrol dan pengendali diri jika sudah berhasil meraih kemenangan dan kesuksesan. Dalam QS. 110, Allah berfirman: “Ketika pertolongan Allah, dan kemenangan sudah datang dan kamu lihat orang-orang berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah (Islam) keseluruhannya, maka bertasbihlah memuji Rabbmu dan beristigfarlah. Sesungguhnya Ia Maha Pengampun”. Ayat itu mengingatkan kita agar tetap berzikir seandainya kemenangan sudah kita raih karena zikir akan jadi pengendali agar kita tidak lupa diri, ghurur atau takabbur.
Adab Berzikir
Menurut Imam Hasan Al-Banna di dalam buku “Majmu’atu Rasail” yang diterjemahkan menjadi Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin bab Ma’tsurat hal 272, yang dimaksud zikir bukanlah sebatas zikir ucapan saja melainkan segala sesuatu yang ada unsur taqarrub dan muraqabatullah. Oleh karena itu taubat juga dapat disebut zikir, begitu pula tafakkur, menuntut ilmu dan mencari ma’isyah yang halal. Sehingga seorang Muslim dapat berzikir di setiap waktu dan tempat sepanjang ia selalu dalam rangka mendekatkan diri pada Allah dan senantiasa merasa diawasi oleh Allah.
Namun jika kita berzikir tanpa memperhatikan adab-adabnya, maka ia sekedar gumaman kata-kata yang terucap tanpa menimbulkan makna atsar, bekas dan pengaruhnya dalam jiwa.
Memang banyak ulama yang menyebut adab-adab dan tata cara berzikir, namun Hasan Al-Banna menyebutkan 5 adab yang terpenting dan paling utama untuk dijaga dan diperhatikan yakni:
1. Khusyu’ atau menghadirkan hati dan pikiran dalam memahami makna lafal yang terucap. Kemudian berusaha terwarnai oleh zikir tersebut dan berusaha menjalani maksud dan tujuannya dalam kehidupan nyata sehari-hari.
2. Merendahkan suara sebisa mungkin, dengan konsentrasi yang penuh dan iradah (kemauan) yang besar sehingga tidak terganggu atau mengganggu yang lain. Terkait dengan ini, Allah Taala berfirman,
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang. Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”.(QS. Al-A’raaf:205)
3. Sesuai atau seirama dengan jama’ah (baik dalam nada dan volume suara) agar tercipta harmoni dan kebersamaan, jika kita kebetulan berzikir bersama jama’ah. Usahakan agar tidak mendahului, lebih lambat atau lebih keras dari bacaan yang lain. Bahkan seandainya datang terlambat sementara yang lain sudah memulai berzikir, hendaknya kita langsung mengikuti bacaan mereka. Baru kemudian di akhir zikir, kita mengqadha’ bacaan zikir yang belum sempat kita baca. Tidak diperkenankan kita membaca yang lain dengan bacaan yang tengah dibaca jama’ah agar tidak mengacaukan bacaan yang lain dan mengganggu harmoni kebersamaan.
4. Bersih pakaian dan tempat serta memperhatikan/memilih tempat-tempat yang terhormat seperti masjid dan waktu-waktu yang sesuai. Semua itu dimaksudkan agar semakin menambah pengkristalan iradah, kejernihan hari dan ketulusan niat.
5. Mengakhiri zikir dengan penuh adab dan kekhusyu’an, menjauhi kesalahan dan main-main. Karena hal itu dapat menghilangkan faedah dan pengaruh zikir. Jika kesemua adab berzikir tersebut diperhatikan, dijaga dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, insya Allah kita akan bisa mendapatkan manfaat sebesar-besarnya dari zikir yang kita baca. Kemudian akan terasa lezatnya di hati, menjadi cahaya bagi ruhani dan melapangkan dada agar dicurahi dengan limpahan rahmat Allah Taala.
Zikir Berjamaah
Ada banyak hadits yang mengisyaratkan disunnahkannya berzikir berjama’ah. Misalnya hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah suatu kaum duduk-duduk bersama (untuk) berzikir kepada Allah, melainkan para malaikat mengitari mereka, rahmat memayunginya, ketenangan turun kepadanya, dan Allah menyebut-nyebut mereka kepada siapa saja yang berada di sisi-Nya”.
Di banyak hadits juga diterangkan bahwa Rasulullah SAW, keluar untuk shalat berjamaah sementara mereka sedang menunggu sambil berzikir di mesjid. Lalu beliau memberikan kabar gembira dan tidak melarang mereka (melakukan hal itu).
Pada dasarnya berjamaah dalam segala kebaikan dan ketaatan dianjurkan bila membuahkan banyak manfaat, seperti bersatunya hati, menguatkan ikatan, menggunakan waktu untuk sesuatu yang bermanfaat, dan mengajarkan kepada orang awam yang belum baik bacaannya serta mengumandangkan syiar Allah Taala.
Namun berzikir berjamaah dapat terlarang jika di dalamnya terdapat hal-hal yang terlarang secara syar’i, seperti mengganggu orang yang sedang shalat, diselingi senda gurau dan tawa, menyelewengkan lafal, mengeraskan dan saling mengungguli atau mendahului dalam berzikir dan hal yang serupa itu. Bila terjadi hal-hal seperti itu maka zikir secara jama’i dilarang karena adanya kerusakan-kerusakan atau keburukan-keburukan. Jadi yang dilarang bukan berjama’ahnya. Apalagi jika zikir jama’ai itu dilakukan dengan lafal-lafal yang ma’tsur dan shahih, sebagaimana dalam wazhifah kubra dan sugra (zikir Al Ma’tsurat yang kita kenal, baca dan hafalkan)
Alangkah baiknya apabila para aktivis ikhwan sering berkumpul untuk membacanya bersama-sama di waktu pagi dan sore di tempat-tempat berkumpul mereka atau di masjid dengan tetap menjauhi hal-hal yang dilarang oleh syari’at. Dan barangsiapa yang tidak bisa atau tidak sempat berzikir berjama’ah, hendaknya membacanya sendiri serta jangan sampai meninggalkannya sama sekali.
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i dari Abu Sa’id al-Khudri r.a, ia berkata: “Muawiyah keluar (menuju) sebuah halaqah di masjid. Ia bertanya, “Apa yang membuat kalian duduk-duduk (di sini)?”. Mereka menjawab, “Kami duduk untuk berzikir kepada Allah”. Muawiyah menyanggahnya, “Demi Allah, kalian tidak duduk di sini untuk hal itu”. Mereka menjawab lagi, “Demi Allah, kami tidak duduk di sini melainkan untuk itu (berzikir)”. Muawiyah berkata lagi, “Saya tidak meminta kalian bersumpah karena ketidakpercayaanku kepada kalian. Karena tidak seorangpun di antara kalian yang setara denganku, di mata Rasulullah SAW dan yang lebih sedikit dariku dalam menukil hadits dari beliau (artinya Muawiyah merendah bahwa sahabat-sahabat tersebut jauh lebih mulia dan lebih banyak menukil hadits Nabi dibanding dirinya). Dan sesungguhnya Rasulullah SAW keluar menuju ke sebuah halaqah para sahabat seraya bertanya, “Apa yang menjadikan kalian duduk di sini?” Mereka menjawab, ”Kami duduk untuk berzikir kepada Allah, memanjatkan puji dan syukur kepada-Nya, karena Dia telah memberikan hidayah kepada Islam dan menganugerahkannya kepada kami”. Rasulullah saw. bersabda, “Saya tidak meminta kalian untuk bersumpah karena ketidakpercayaanku kepada kalian. Namun Jibril telah datang kepadaku seraya memberitahukan bahwa Allah membanggakan kalian di depan malaikat”.(HR. Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i).
Al-‘Aadah (Pembiasaan) agar kita cinta dan senang berzikir.
Salah satu upaya agar kita cinta dan senang berzikir adalah dengan senantiasa mengingat manfaat zikir, keutamaan zikir, dan ancaman bagi orang yang tak pernah berzikir, sehingga kita senantiasa termotivasi untuk berzikir.
Selain itu kita memang harus membiasakan diri kita dan anak kita sejak dini agar selalu berzikir, sehingga setiap ayunan langkah, helaan nafas, denyut nadi dan gumaman bibir kita terwarnai oleh dzikrullah.
Seperti dalam gambaran indah saat seorang salafusshaleh yang masyhur: Abdullah Ibnu Mubarrak bersama saudara-saudaranya diajak ayahnya rihlah (piknik) sambil riyadhah (berolahraga) dengan mengendarai kuda di dataran yang luas dan dipenuhi pohon-pohon, “Hai anak-anakku lihatlah pohon di sebelah sana, bertasbihlah kalian hingga ke pohon itu”. Maka berderaplah langkah-langkah kuda-kuda Abdullah Ibnu Mubarrak dan saudara-saudaranya menuju pohon itu sementara mereka terus bertasbih.
Kemudian begitu sampai sang ayah kembali berteriak lantang, “Anak-anakku, lihat pohon yang di depan sana, ayo tahmid”. Mereka pun semua bertahmid sambil menderap kuda-kuda mereka. Berikutnya sang ayah menyuruh mereka agar bertakbir hingga ke pohon yang lebih jauh lagi dan akhirnya bertahlil hingga ke pohon yang di ujung. Subhanallah, betapa anak-anak menjadi terbiasa berzikir dengan senang hati dan penuh keridhaan.
Macam-macam zikir dan contoh-contohnya
Ada dua jenis zikir yakni zikir yang terikat waktu dan tempat serta tata cara yang baku seperti bacaan dalam ibadah shalat dan haji, begitu pula zikir sesudah shalat. Dan ada pula yang tidak tertentu bisa di waktu pagi dan petang, kapan saja dan di mana saja seperti wadzifah ma’tsurat. Makalah singkat ini dilengkapi lampiran wirid-wirid Qur’an dan keutamaan-keutamaannya serta do’a-do’a sehari-hari yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan dinukil oleh Hasan Al-Banna dalam Majmu’ah Rasailnya.
Khatimah
Di dalam khatimah pembahasan tentang zikir di Majmu’ah Rasail, Imam Hasan Al-Banna menegaskan bahwa wadzifah baik kubra maupun sughra yang kita kenal sebagai ma’tsurat adalah bukan wadzifah khusus untuk a’dho atau ikhwan saja, melainkan, juga untuk seluruh kaum muslimin.
Dengan harapan, zikir tersebut dapat membantu semuanya untuk taat kepada Allah dan menghindarkan mereka dari kelalaian mengingat Allah yang menyebabkan mereka mendapat ancaman Allah. Wadzifah tersebut dibaca di waktu pagi, dari Shubuh hingga Zhuhur dan sore hari dari Ashar hingga ba’da Isya., baik berjamaah maupun sendiri-sendiri.
Barang siapa sibuk dan melalaikannya, hendaknya tidak melalaikannya sama sekali melainkan tetap membacanya sebagian agar tidak terbiasa mengabaikannya.
Sedangkan wirid-wirid Al-Qur’an untuk dibaca siang dan malam juga adzkar yang lain dibaca pada waktunya yang tepat.
Akhirnya kita memohon kepada Allah agar Ia mencurahkan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua dan juga memohon kepada Allah petunjuk-Nya agar kita tidak lalai, lupa dan malas. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. keluarga dan para sahabatnya.
Wallahu ’alam

Catatan I’tikaf 8 : Islamic Teaching

Catatan I’tikaf 8 : Islamic Teaching

Catatan I’tikaf 8 Islamic Teaching
1 September 2009 pukul 22:00
Islamic Teaching :
1. Knowledge of God is my Capital,
2. reason is teh Root of my Faith,
3. Love is my Foundation,
4, Enthusiasm is my Horse,
5. Remembreance of God is my Frend
6. Firmness is my Treasure
7. Soorow is my Companion
8. Science is my Instrument
9. Patience is my Mantle,
10. Contentment is my Prize
11. Poverti is my Pride
12. Devotion is my Art
13. Conviction is my Power
14. Truth is my Redeemer
15. Obedience is mya Sufficiency
16. Struggle is my Manner, and
17 My pleasure is my Prayers

Catatan I’tikaf 9 : Istighfar dan Taubat (Dr. Fadhl Ilah )

Catatan I’tikaf 9 : Istighfar dan Taubat (Dr. Fadhl Ilah )

Catatan I’tikaf 9 Istighfar dan Taubat (Dr. Fadhl Ilah )
16 September 2009 pukul 19:49
Istighfar dan Taubat
Dr. Fadhl Ilahi
________________________________________
Diantara sebab terpenting diturunkannya rizki adalah istighfar (memohon ampun) dan taubat kepada Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Menutupi (kesalahan). Untuk itu, pembahasan mengenai pasal ini kami bagi menjadi dua pembahasan.
Pertama, hakikat istighfar dan taubat.
Kedua, dalil syar’i bahwa istighfar dan taubat termasuk kunci rizki.
Pertama : Hakikat Istighfar dan Taubat
Sebagian besar orang menyangka bahwa istighfar dan taubat hanyalah cukup dengan lisan semata. Sebagian mereka mengucapkan.
“Artinya : Aku mohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya”.
Tetapi kalimat-kalimat di atas tidak membekas di dalam hati, juga tidak berpengaruh dalam perbuatan anggota badan. Sesungguhnya istighfar dan taubat jenis ini adalah perbuatan orang-orang dusta.
Para ulama -semoga Allah memberi balasan yang sebaik-baiknya kepada mereka- telah menjelaskan hakikat istighfar dan taubat.
Imam Ar-Raghib Al-Ashfahami menerangkan : “Dalam istilah syara’, taubat adalah meninggalkan dosa karena keburukannya, menyesali dosa yang telah dilakukan, berkeinginan kuat untuk tidak mengulanginya dan berusaha melakukan apa yang bisa diulangi (diganti). Jika keempat hal itu telah terpenuhi berarti syarat taubatnya telah sempurna”. (Al-Mufradat fi Gharibil Qur’an, dari asal kata ” tauba” hal. 76)
Imam An-Nawawi dengan redaksionalnya sendiri menjelaskan : “Para ulama berkata, ‘Bertaubat dari setiap dosa hukumnya adalah wajib. Jika maksiat (dosa) itu antara hamba dengan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia maka syaratnya ada tiga. Pertama, hendaknya ia menjauhi maksiat tersebut. Kedua, ia harus menyesali perbuatan (maksiat)nya. Ketiga, ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi. Jika salah satunya hilang, maka taubatnya tidak sah.
Jika taubatnya itu berkaitan dengan hak manusia maka syaratnya ada empat. Ketiga syarat di atas dan Keempat, hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi) hak orang tersebut. Jika berbentuk harta benda atau sejenisnya maka ia harus mengembalikannya. Jika berupa had (hukuman) tuduhan atau sejenisnya maka ia harus memberinya kesempatan untuk membalasnya atau meminta ma’af kepadanya. Jika berupa ghibah (menggunjing), maka ia harus meminta maaf”. (Riyadhus Shalihin, hal. 41-42)
Adapun istighfar, sebagaimana diterangkan Imam Ar-Raghib Al-Asfahani adalah “Meminta (ampunan) dengan ucapan dan perbuatan”. Dan firman Allah.
“Artinya : Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun”. (Nuh : 10)
Tidaklah berarti bahwa mereka diperintahkan meminta ampun hanya dengan lisan semata, tetapi dengan lisan dan perbuatan. Bahkan hingga dikatakan, memohon ampun (istighfar) hanya dengan lisan saja tanpa disertai perbuatan adalah pekerjaan para pendusta”. (Al-Mufradat fi Gharibil Qur’an, dari asal kata “ghafara” hal. 362)
Kedua : Dalil Syar’i bahwa Istighfar dan Taubat Termasuk Kunci Rizki
Beberapa nash (teks) Al-Qur’an dan Al-Hadits menunjukkan bahwa istighfar dan taubat termasuk sebab-sebab rizki dengan karunia Allah Ta’ala. Di bawah ini beberapa nash dimaksud :
1. Apa yang disebutkan Allah Subhana wa Ta’ala tentang Nuh alaihis salam yang berkata kepada kaumnya.
“Artinya : Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu’, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai”. (Nuh : 10-12)
Ayat-ayat di atas menerangkan cara mendapatkan hal-hal berikut ini dengan istighfar:
1. Ampunan Allah terhadap dosa-dosanya. Berdasarkan firman-Nya : “Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun”.
2. Diturunkannya hujan yang lebat oleh Allah. Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata “midraaraa” adalah (hujan) yang turun dengan deras. (Shahihul Bukhari, Kitabul Tafsir, surat Nuh 8/666)
3. Allah akan membanyakkan harta dan anak-anak. Dalam menafsirkan ayat “wayumdid kum biamwalin wabanina” Atha’ berkata : “Niscaya Allah akan membanyakkan harta dan anak-anak kalian”. (Tafsir Al-Bagawi, 4/398. Lihat pula, Tafsirul Khazin, 7/154)
4. Allah akan menjadikan untuknya kebun-kebun.
5. Allah akan menjadikan untuknya sungai-sungai. Imam Al-Qurthubi berkata : “Dalam ayat ini, juga yang disebutkan dalam surat Hud : 3 (‘Artinya : Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya’) adalah dalil yang menunjukkan bahwa istighfar merupakan salah satu sarana meminta diturunkannya rizki dan hujan”. (Tafsir Al-Qurthubi, 18/302. Lihat pula, Al-Iklil fis Tinbathil Tanzil, hal. 274, Fathul Qadir, 5/417)
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata : “Maknanya, jika kalian bertaubat kepada Allah, meminta ampun kepadaNya dan kalian senantiasa menta’atiNya, niscaya Ia akan membanyakkan rizki kalian, menurunkan air hujan serta keberkahan dari langit, mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk kalian, melimpahkan air susu perahan untuk kalian, membanyakkan harta dan anak-anak untuk kalian, menjadikan kebun-kebun yang di dalamnya bermacam-macam buah-buahan untuk kalian serta mengalirkan sungai-sungai diantara kebun-kebun itu (untuk kalian)”. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/449)
Demikianlah, dan Amirul Mukminin Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu juga berpegang dengan apa yang terkandung dalam ayat-ayat ini ketika beliau memohon hujan dari Allah Ta’ala.
Mutharif meriwayatkan dari Asy-Sya’bi : “Bahwasanya Umar Radhiyallahu ‘anhu keluar untuk memohon hujan bersama orang banyak. Dan beliau tidak lebih dari mengucapkan istighfar (memohon ampun kepada Allah) lalu beliau pulang. Maka seseorang bertanya kepadanya, ‘Aku tidak mendengar Anda memohon hujan’. Maka ia menjawab, ‘Aku memohon diturunkannya hujan dengan majadih 1) langit yang dengannya diharapkan bakal turun hujan. Lalu beliau membaca ayat.
“Artinya : Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat”. (Nuh : 10-11). (Tafsir Al-Khazin, /154)
Imam Al-Hasan Al-Bashri juga menganjurkan istighfar (memohon ampun) kepada setiap orang yang mengadukan kepadanya tentang kegersangan, kefakiran, sedikitnya keturunan dan kekeringan kebun-kebun.
Imam Al-Qurthubi menyebutkan dari Ibnu Shabih, bahwasanya ia berkata : “Ada seorang laki-laki mengadu kepada Al-Hasan Al-Bashri tentang kegersangan (bumi) maka beliau berkata kepadanya, ‘Ber-istighfar-lah kepada Allah!. Yang lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan maka beliau berkata kepadanya, ‘Ber-istighfar-lah kepada Allah!. Yang lain lagi berkata kepadanya, ‘Do’akanlah (aku) kepada Allah, agar Ia memberiku anak!, maka beliau mengatakan kepadanya, ‘Ber-istighfar-lah kepada Allah!. Dan yang lain lagi mengadu kepadanya tentang kekeringan kebunnya maka beliau mengatakan (pula) kepadanya, ‘Ber-istighfar-lah kepada Allah!”.
Dan kami menganjurkan demikian kepada orang yang mengalami hal yang sama. Dalam riwayat lain disebutkan : “Maka Ar-Rabi’ bin Shabih berkata kepadanya, ‘Banyak orang yang mengadukan macam-macam (perkara) dan Anda memerintahkan mereka semua untuk ber-istighfar’. (Tafsir Al-Khazin, 7/154. Lihat pula, Ruhul Ma’ani, 29/73). Maka Al-Hasan Al-Bashri menjawab, ‘Aku tidak mengatakan hal itu dari diriku sendiri. Tetapi sungguh Allah telah berfirman dalam surat Nuh.
“Artinya : Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai”. (Nuh : 10-12). (Tafsir Al-Qurthubi, 18/302-303. Lihat pula Al-Muharrar Al-Wajiz, 16/123)
Allahu Akbar ! Betapa agung, besar dan banyak buah dari istighfar ! Ya Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-hamba-Mu yang pandai ber-istighfar. Dan karuniakanlah kepada kami buahnya, di dunia maupun di akhirat. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan. Amin, wahai Yang Maha Hidup dan terus menerus mengurus mahluk-Nya.
2. Ayat lain adalah firman Allah yang menceritakan tentang seruan Hud Alaihis Shalatu was sallam kepada kaumnya agar ber-istighfar.
“Artinya : Dan (Hud berkata), Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atasmu dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa”. (Hud : 52)
Al-Hafiz Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat yang mulia di atas menyatakan : “Kemudian Hud Alaihis salam memerintahkan kaumnya untuk ber-istighfar yang dengannya dosa-dosa yang lalu dapat dihapuskan, kemudian memerintahkan mereka bertaubat untuk masa yang akan mereka hadapi. Barangsiapa memiliki sifat seperti ini, niscaya Allah akan memudahkan rizkinya, melancarkan urusannya dan menjaga keadaannya. Karena itu Allah berfirman.
“Artinya : Niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atasmu”. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/492. Lihat pula, Tafsir Al-Qurthubi, 9/51)
Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang memiliki sifat taubat dan istighfar, dan mudahkanlah rizki-rizki kami, lancarkanlah urusan-urusan kami serta jagalah keadaan-keadaan kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha mengabulkan do’a. Amin, wahai Dzat Yang Memiliki keagungan dan kemuliaan.
3. Ayat lain adalah firman Allah.
“Artinya : Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepadaNya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat”. (Hud : 3)
Pada ayat yang mulia di atas, terdapat janji-janji dari Allah Yang Mahakuasa dan Maha Menentukan berupa kenikmatan yang baik kepada orang yang ber-istighfar dan bertaubat. Dan maksud dari firmanNya.
“Artinya : Niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu”. Sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma adalah. ‘Ia akan menganugrahi rizki dan kelapangan kepada kalian’. (Zaadul Masiir, 4/75)
Sedangkan Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan : “Inilah buah istighfar dan taubat. Yakni Allah akan memberikan kenikmatan kepada kalian dengan berbagai manfaat berupa kelapangan rizki dan kemakmuran hidup serta Ia tidak akan menyiksa kalian sebagaimana yang dilakukanNya terhadap orang-orang yang dibinasakan sebelum kalian”. (Tafsir Al-Qurthubi, 9/403. Lihat pula, Tafsir Ath-Thabari, 15/229-230, Tafsir Al-Baghawi. 4/373, Fathul Qadir, 2/695 dan Tafsir Al-Qasimi, 9/63)
Dan janji Tuhan Yang Mahamulia itu diutarakan dalam bentuk pemberian balasan sesuai dengan syaratnya. Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata : “Ayat yang mulia tersebut menunjukkan bahwa ber-istighfar dan bertaubat kepada Allah dari dosa-dosa adalah sebab sehingga Allah menganugrahkan kenikmatan yang baik kepada orang yang melakukannya sampai pada waktu yang ditentukan. Allah memberikan balasan (yang baik) atas istighfar dan taubat itu dengan balasan berdasarkan syarat yang ditetapkan”. (Adhwa’ul Bayan, 3/9)
4. Dalil lain bahwa istighfar dan taubat adalah diantara kunci-kunci rizki yaitu hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Allah 2) niscaya Allah menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar dan untuk setiap kesempitannya kelapangan dan Allah akan memberinya rizki (yang halal) dari arah yang tidak disangka-sangka 3)”.
Dalam hadits yang mulia ini, Nabi yang jujur dan terpercaya, yang berbicara berdasarkan wahyu, Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang tiga hasil yang dapat dipetik oleh orang yang memperbanyak istighfar. Salah satunya yaitu, bahwa Allah Yang Maha Memberi rizki, Yang Memiliki kekuatan akan memberikan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka dan tidak diharapkan serta tidak pernah terdetik dalam hatinya.
Karena itu, kepada orang yang mengharapkan rizki hendaklah dia bersegera untuk memperbanyak istighfar (memohon ampun), baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan. Dan hendaknya setiap muslim waspada! Sekali lagi hendaknya waspada! dari melakukan istighfar hanya sebatas dengan lisan tanpa perbuatan. Sebab ia adalah pekerjaan para pendusta.
Footnote :
1. Majadih bentuk tunggalnya adalah majdah yakni salah satu jenis bintang yang menurut bangsa Arab merupakan bintang (yang jika muncul) menunjukkan hujan akan turun. Maka Umar Radhiyallahu ‘anhu menjadikan istighfar sama dengan bintang-bintang tersebut, suatu bentuk komunikasi melalui apa yang mereka ketahui. Dan sebelumnya mereka memang menganggap bahwa adanya bintang tersebut pertanda akan turun hujan, dan bukan berarti Umar berpendapat bahwa turunnya hujan karena bintang-bintang tersebut. (Tafsir Al-Khazin, 7/154)
2. “Barangsiapa menetapi -dalam riwayat lain- tidak meninggalkan istighfar”. Lihat, Sunan Abi Daud, 4/267, Sunan Ibni Majah, 2/339. Dan maknanya, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Abu Ath-Thayyib Al-Azhim Abadi yaitu saat terjadinya maksiat atau adanya ujian atau ada orang yang penyakitnya terus menerus, maka sungguh dalam setiap nafas ia membutuhkan kepadanya (istighfar dan taubat). Karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Artinya : Beruntunglah orang yang mendapati dalam shahifah (catatan amalnya) istighfar yang banyak”. (Hadist Riwayat Ibnu majah dengan sanad hasan shahih). (Aunul Ma’bud, 4/267)
3. Al-Musnad, no. 2234, 4/55-56 dan lafazh tersebut adalah redaksi miliknya; Sunan Abi Daud, Abwabu Qiyamil Lail, Tafri’u Abwabil Witr, Bab Fil Istighfar, no. 1515, 4/267; Kitabus Sunan Al-Kubra, Kitabu Amalil Yaumi wal Lalilah, no 10290/2,6/118; Sunan Ibni Majah, Abwabul Adab, Bab Al-Istighfar, no. 3864, 2/339; Al-Mustadrak ‘alash Shahihain, Kitabut Taubah wal Inabah, 4/292. Sebagian ahli hadits menyatakan hadits ini dha’if karena salah satu periwayatnya (cacat). (Lihat, At-Talkhish, l-Hafizd Adz-Dzahabi, 4/262; Aunul Ma’bud, 4/267; Dha’ifu Sunan Abi Daud, Syaikh Al-Albani, hal. 149). Tetapi sanad hadits tersebut dishahihkan oleh Imam Al-Hakim (Lihat, Al-Mustadrak, 4/262). Dan Syaikh Ahmad Muhammad Syakir berkata : “Sanad hadits ini shahih” (Hamisy Al-Musnad, 4/55). Demikian sebagai jawaban atas apa yang dikatakan tentang salah seorang perawinya. Wallahu a’lam bish shawab.
ISTIGHFAR
“Tsakilatka ummuk,” kata ‘Ali bin Abi Thalib ketika berjumpa dengan
seorang yang berkata astaghfirullah. Ucapan itu secara harfiah berarti
ibumu pantas menangisimu atau alangkah baik-nya bila ibumu dulu kehilangan kamu. Secara idiomatis, perkataan itu diucapkan kepada orang yang berbuat kekeliruan atau menderita kemalangan. Amat mengherankan ‘Ali mengucapkan kata itu untuk orang yang membaca istighfar. Bukankah kita harus menghargai orang yang bertobat, apalagi bila yang bertobat itu bekas parampok besar atau penjarah bangsa? Kita menghardik siapa saja yang menghujat pemimpin yang sudah bertobat. Kita menganggap tidak etis atau tidak sesuai dengan norma ketimuran untuk menuntut kekayaan orang yang sudah beristighfar.
Tetapi ‘Ali menyesalkan orang yang mengucapkan istighfar. Apakah ‘Ali, yang terkenal sebagai pemimpin yang bijak, tidak etis? Dengarkan penjelasannya, “Kamu tidak tahu apa makna astaghfirullah. Astaghfirullah dimaksudkan bagi orang-orang yang berkedudukan tinggi. Kata itu berdiri di atas enam topangan. Yang pertama adalah penyesalan untuk perbuatan salah yang sudah dilakukan; kedua, bertekad sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan yang salah; ketiga, mengembalikan hak-hak manusia yang sudah kamu rampas supaya kamu meng-hadap Allah dengan bersih tanpa ada satu pun kezaliman yang dipertanggung-jawabkan; keempat, kamu ganti kewajiban yang sudah kamu
abaikan sehingga kamu berlaku adil atasnya; kelima, berkenaan dengan daging tubuhmu.yang tumbuh dari rezeki haram, hilangkan daging itu dengan kesedihan sampai kulit menyentuh tulang. Setelah itu, tumbuhkan daging baru dengan rezeki yang halal; keenam, usahakan agar tubuhmu merasakan pedihnya ketaatan sebagaimana dahulu tubuh yang sama merasakan lezatnya kemaksiatan. Setelah itu, ucapkanlah astaghfirullah.”
Istighfar artinya permohonan maaf kepada Allah atas dosa-dosa yang –pernah kita lakukan, baik berkenaan dengan kewajiban kepada manusia maupun kewajiban kita kepada Tuhan. Kita dengan gampang mengasumsikan bahwa istighfar adalah “pemutihan”. Dengan istighfar, Tuhan mengampuni semuanya.
Tsakilatka ummuk bila orang bisa lobs dari hukum hanya dengan sepatah kata saja. Tertipulah orang yang segera memberi penghargaan -kepada penjahat yang sudah mengucapkan patahan kata itu.
Istighfar harus dimulai dengan penyesalan. Penyesalan adalah pengakuan
-dosa dan permohonan maaf kepada pihak yang hak-haknya kita langgar. Kepada Tuhan, kita ungkapkan penye-salan dengan merebahkan diri kita di
hadapan-Nya sambil menangis. -Kepada hamba-hamba-Nya; kita harus mengaku terus terang -segala kesalahan yang kita lakukan. Kita minta maaf dengan sungguh-sungguh. Untuk tahap ini saja, betapa sedikitnya di-antara kita yang sanggup melakukannya.
Tahap yang paling berat untuk orang atau institusi yang melakukan kesalahan adalah penyesalan dengan meminta maaf. Per-nahkah kita dengar permohonan maaf dari orang-orang yang berkuasa, betapapun banyak bukti dionggokkan tentang -kesalahan mereka? Pernah, tetapi penguasa di luar negeri, menurut berita di media. Di Australia, seorang pejabat penting bunuh diri karena ia keliru menggunakan uang SPJ untuk kepentingan pribadinya. Di Jepang, seorang Menteri Perhubungan mengundurkan din karena tidak berhasil menjaga keselamatan penerbangan. Di kota-kota kecil, di seberang Atlantik, wali kota meminta maaf bila ada kerugian yang diderita warga akibat kebijakan yang salah.
Di negeri kita, ABRI segan meminta maaf bila oknum-oknumnya menculik atau melakukan kesalahan prosedur. Petugas keamanan tak pernah minta maaf bila ia gagal menjaga ke-amanan penduduk. Wali kota tak pernah minta maaf bila kebi-jakannya menyusahkan warganya. Dan presiden tak boleh kita tuntut untuk minta maaf bila pemerintahannya telah menyeng-sarakan kita.
Tahap kedua adalah tidak boleh mengulangi lagi kesalahan yang sama. Tuhan tidak akan memaafkan pemerintah Indonesia yang sesudah reformasi masih juga memberikan surat sakti untuk proyek-proyek pertambangan atau menyalurkan dana IMF secara sembunyi-sembunyi.
Pada tahap berikutnya, orang yang sudah melanggar hak orang lain harus
mengembalikan hak yang dilanggarnya. Yang sudah menjarah harta rakyat harus mengembalikan lagi semua hasil jarahannya. Yang pernah menculik harus mengembalikan orang yang diculiknya. Yang suka membodohi rakyat dengan manipulasi informasi harus memberikan informasi yang benar. Yang pernah mengadu domba harus mendamaikan lagi yang bertengkar. Yang pernah memfitnah harus merehabilitasi kehormatan orang yang terfitnah. Yang pernah merugikan orang lain harus mengganti kerugian itu.
Pada tahap keempat, para pendosa harus memenuhi kewajiban yang pernah
diabaikannya. Petugas keamanan harus melindungi rakyat setelah sekian lama mencengkeram mereka dengan ketakutan. Pemerintah harus menggunakan kekayaan negara untuk kemakmuran rakyat setelah sekian lama menggunakannya untuk memakmuran pejabat dan keluarganya. Pengusaha harus membagikan keuntungan perusahaan kepada masyarakat dengan mensejahterakan mereka setelah sekian lama menindasnya. Para perusak lingkungan harus memperbaiki lingkungan setelah lama menghancurkannya. Para pemerkosa harus mengganti segala kerugian material dan nonmaterial yang diderita korban.
Pada dua tahap terakhir; perut Anda yang kembung dari barang haram harus dikempiskan; tubuh Anda yang gemuk hasil KKN harus Anda kuruskan. Mulailah hidup de-ngan yang halal. Rasakan susahnya menjalankan kewaj-iban Anda kepada Tuhan dan kepada sesama manusia setelah Anda merasakan kelezatan melanggar kewajiban itu. Payahkan diri Anda -untuk berkhidmat kepada rakyat karena jabatan Anda setelah Anda merasakan kesenangan memanfaatkan fasi-litas itu. Setelah semua tahapan ini Anda lalui, barulah Anda mengucapkan astaghfirullah.