TANDA-TANDA HAJI MABRUR
 
 Oleh
 Ustadz Anas Burhanuddin
 
 
 
 PEMBUKA
 Ajaran Islam dalam semua aspeknya memiliki hikmah dan tujuan tertentu.  Hikmah dan tujuan ini diistilahkan oleh para Ulama dengan maqâshid  syarî'ah, yaitu berbagai maslahat yang bisa diraih seorang hamba, baik  di dunia maupun di akhirat. 
 
 Adapun maslahat akhirat, orang-orang shaleh ditunggu oleh kenikmatan  tiada tara yang terangkum dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa  sallam(hadits qudsi): 
 
 قَالَ اللَّه: أَعْدَدْتُ لِعِبَادِيْ الصَّالِحِيْنَ مَا لاَ عَيْنَ  رَأَتْ ، وَلاَ أُذُنَ سَمِعَتْ ، وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ
 
 Allah berfirman: “Telah Aku siapkan untuk hamba-hamba-Ku yang shaleh  kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar  telinga, dan tidak pernah terbetik di hati manusia." [1] 
 
 Untuk ibadah haji, secara khusus Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 
 
 وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
 
 Haji yang mabrûr tidak lain pahalanya adalah surga. [2]
 
 Adapun di dunia, banyak maslahat yang bisa diperoleh umat Islam dengan  menjalankan ajaran agama mereka. Dan untuk ibadah haji khususnya, ada  beberapa contoh yang bisa kita sebut; seperti menambah teman, bertemu  dengan Ulama dan keuntungan berdagang. 
 
 Di samping itu, Allah Azza wa Jalla juga memberikan tanda-tanda  diterimanya amal seseorang, sehingga Allah Azza wa Jalla bisa  menyegerakan kebahagiaan di dunia sebelum akhirat dan agar ia semakin  bersemangat untuk beramal.
 
 TIDAK SEMUA ORANG MERAIH HAI MABRUR
 Setiap orang yang pergi berhaji mencita-citakan haji yang mabrûr. Haji  mabrûr bukanlah sekedar haji yang sah. Mabrûr artinya diterima oleh  Allah Azza wa Jalla , dan sah artinya menggugurkan kewajiban. Bisa jadi  haji seseorang sah sehingga kewajiban berhaji baginya telah gugur, namun  belum tentu hajinya diterima oleh Allah Azza wa Jalla . 
 
 Jadi, tidak semua yang hajinya sah terhitung sebagai haji mabrûr. Ibnu  Rajab al-Hanbali mengatakan: "Yang hajinya mabrûr sedikit, tapi mungkin  Allah Azza wa Jalla memberikan karunia kepada jama`ah haji yang tidak  baik dikarenakan jama’ah haji yang baik."[3] 
 
 TANDA-TANDA HAJI MABRUR
 Bagaimanakah mengetahui mabrûrnya haji seseorang? Apa perbedaan antar  haji yang mabrûr dengan yang tidak mabrûr? Tentunya yang menilai mabrûr  tidaknya haji seseorang adalah Allah Azza wa Jalla semata. Kita tidak  bisa memastikan bahwa haji seseorang adalah haji yang mabrûr atau tidak.  Para Ulama menyebutkan ada tanda-tanda mabrûrnya haji, berdasarkan  keterangan al-Qur`ân dan Hadits. Namun, itu tidak bisa memberikan  kepastian mabrûr tidaknya haji seserang. 
 
 Sebagian dari tanda-tanda ini barangkali berhubungan dengan pembahasan  cara meraih haji mabrûr, karena cara kita menjalankan ibadah haji juga  bisa dijadikan cermin dalam hal ini. 
 
 Di antara tanda-tanda haji mabrûr yang telah disebutkan para Ulama adalah:
 
 Pertama: Harta yang dipakai untuk haji adalah harta yang halal, karena  Allah Azza wa Jalla tidak menerima kecuali yang halal, sebagaimana  ditegaskan oleh sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: 
 
 إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
 
 Sungguh Allah baik, tidak menerima kecuali yang baik.[4] 
 
 Orang yang ingin hajinya mabrûr harus memastikan bahwa seluruh harta  yang ia pakai untuk haji adalah harta yang halal, terutama bagi mereka  yang selama mempersiapkan biaya pelaksanaan ibadah haji tidak lepas dari  transaksi dengan bank. Jika tidak, maka haji mabrûr bagi mereka  hanyalah jauh panggang dari api. 
 
 Ibnu Rajab rahimahullah berkata dalam sebuah syair[5] : 
 Jika anda berhaji dengan harta tak halal asalnya.
 Maka anda tidak berhaji, yang berhaji hanya rombongan anda.
 Allah Azza wa Jalla tidak menerima kecuali yang halal saja.
 Tidak semua yang berhaji mabrûr hajinya. 
 
 Kedua: Amalan-amalannya dilakukan dengan baik, sesuai dengan tuntunan  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Paling tidak, rukun-rukun dan  kewajibannya dijalankan, dan semua larangan ditinggalkan. Jika terjadi  kesalahan, maka hendaknya segera melakukan penebusan yang telah  ditentukan.
 
 Di samping itu, haji yang mabrûr juga memperhatikan keikhlasan hati,  yang seiring dengan majunya zaman semakin sulit dijaga. Mari merenungkan  perkataan Syuraih al-Qâdhi: "Yang (benar-benar) berhaji sedikit, meski  jama`ah haji banyak. Alangkah banyak orang yang berbuat baik, tapi  alangkah sedikit yang ikhlas karena Allah Azza wa Jalla ."[6] 
 
 Pada zaman dahulu ada orang yang menjalankan ibadah haji dengan berjalan  kaki setiap tahun. Suatu malam ia tidur di atas kasurnya dan ibunya  memintanya untuk mengambilkan air minum. Ia merasakan berat untuk  bangkit memberikan air minum kepada sang ibu. Ia pun teringat perjalanan  haji yang selalu ia lakukan dengan berjalan kaki tanpa merasa berat. Ia  mawas diri dan berpikir bahwa pandangan dan pujian manusialah yang  telah membuat perjalanan itu ringan. Sebaliknya saat meyendiri,  memberikan air minum untuk orang paling berjasa pun terasa berat.  Akhirnya, ia pun menyadari bahwa dirinya telah bersalah.[7] 
 
 Ketiga: Hajinya dipenuhi dengan banyak amalan baik, seperti dzikir,  shalat di Masjidil Haram, shalat pada waktunya, dan membantu teman  seperjalanan. 
 
 Ibnu Rajab rahimahullah berkata: "Maka haji mabrûr adalah yang terkumpul  di dalamnya amalan-amalan baik, plus menghindari perbuatan-perbuatan  dosa.[8] 
 
 Di antara amalan khusus yang disyariatkan untuk meraih haji mabrûr  adalah bersedekah dan berkata-kata baik selama haji. Nabi Shallallahu  ‘alaihi wa sallampernah ditanya tentang maksud haji mabrûr, maka beliau  menjawab:
 
 إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيْبُ الْكَلاَمِ
 
 Memberi makan dan berkata-kata baik.[9] 
 
 Keempat: Tidak berbuat maksiat selama ihram.
 Maksiat dilarang dalam agama kita dalam semua kondisi. Dalam kondisi  ihram, larangan tersebut menjadi lebih tegas, dan jika dilanggar, maka  haji mabrûr yang diimpikan akan lepas.
 
 Di antara yang dilarang selama haji adalah rafats, fusûq dan jidâl. Allah Azza wa Jalla berfirman:
 
 الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ
 
 (Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui. Barang siapa yang  menetapkan niatnya dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji, maka  tidak boleh rafats, fusûq dan berbantah-bantahan selama mengerjakan  haji.[10] 
 
 Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda: 
 
 مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
 
 Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusûq, ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya."[11] 
 
 Rafats adalah semua bentuk kekejian dan perkara yang tidak berguna.  Termasuk di dalamnya bersenggama, bercumbu atau membicarakannya,  meskipun dengan pasangan sendiri selama ihrâm.
 
 Fusûq adalah keluar dari ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla , apapun  bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah fusûq yang  dimaksudkan dalam hadits di atas. 
 
 Jidâl adalah berbantah-bantahan secara berlebihan. 
 
 Ketiga hal ini dilarang selama ihrâm. Adapun di luar waktu ihrâm,  bersenggama dengan pasangan kembali diperbolehkan, sedangkan larangan  yang lain tetap tidak boleh. 
 
 Demikian juga, haji yang mabrûr juga harus meninggalkan semua bentuk  dosa selama perjalanan ibadah haji, baik berupa syirik, bid'ah maupun  maksiyat. 
 
 Kelima: Pulang dari haji dengan keadaan lebih baik.
 Salah satu tanda diterimanya amal seseorang di sisi Allah Azza wa Jalla  adalah diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah amalan  tersebut. Sebaliknya, jika setelah beramal shaleh melakukan perbuatan  buruk, maka itu adalah tanda bahwa Allah Azza wa Jalla tidak menerima  amalannya.[12] 
 
 Ibadah haji adalah madrasah. Selama kurang lebih satu bulan para jama`ah  haji disibukkan oleh berbagai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah  Azza wa Jalla . Untuk sementara, mereka terjauhkan dari hiruk pikuk  urusan duniawi yang melalaikan. Di samping itu, mereka juga  berkesempatan untuk mengambil ilmu agama yang murni dari para Ulama  tanah suci dan melihat praktik menjalankan agama yang benar. 
 
 Logikanya, setiap orang yang menjalankan ibadah haji akan pulang dari  tanah suci dalam keadaan yang lebih baik. Namun yang terjadi tidak  demikian, apalagi setelah tenggang waktu yang lama dari waktu berhaji.  Banyak yang tidak terlihat lagi pengaruh baik haji pada dirinya. Karena  itu, bertaubat setelah haji, berubah menjadi lebih baik, memiliki hati  yang lebih lembut dan bersih, ilmu dan amal yang lebih mantap dan benar,  kemudian istiqâmah di atas kebaikan itu adalah salah satu tanda haji  mabrûr. 
 
 Orang yang hajinya mabrûr menjadikan ibadah haji sebagai titik tolak  untuk membuka lembaran baru dalam menggapai ridha Allah Azza wa Jalla ;  ia akan semakin mendekat ke akhirat dan menjauhi dunia. Al-Hasan  al-Bashri rahimahullah mengatakan: "Haji mabrûr adalah pulang dalam  keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat."[13] Ia juga  mengatakan: "Tandanya adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang  dilakukan sebelum haji."[14] 
 
 Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah mengatakan: "Dikatakan bahwa tanda  diterimanya haji adalah meninggalkan maksiat yang dahulu dilakukan,  mengganti teman-teman yang buruk menjadi teman-teman yang baik, dan  mengganti majlis kelalaian menjadi majlis dzikir dan kesadaran." 
 
 PENUTUP
 Sekali lagi, yang menilai mabrûr tidaknya haji seseorang hanya Allah  Azza wa Jalla. Para Ulama hanya menjelaskan tanda-tandanya sesuai dengan  ilmu yang telah Allah Azza wa Jalla berikan kepada mereka. Jika  tanda-tanda ini ada dalam ibadah haji anda, maka hendaknya anda  bersyukur atas taufik dari Allah Azza wa Jalla . Anda boleh berharap  ibadah anda diterima oleh Allah Azza wa Jalla , dan teruslah berdoa agar  ibadah anda benar-benar diterima. Adapun jika tanda-tanda itu tidak  ada, maka anda harus mawas diri, istighfâr dan memperbaiki amalan anda.  Wallâhu a'lam.
 
 
 Referensi: 
 1. Al-Qur`ân al-Karîm.
 2. Shahîh al-Bukhâri, Tahqîq Musthafa al-Bugha, Dâr Ibn Katsîr.
 3. Shahîh Muslim, Tahqîq Muhammad Fuâd `Abdul Bâqi, Dâr Ihyâ' Turâts.
 4. Musnad Imam Ahmad, Tahqîq Syu'aib al-Arnauth, Muassasah Qurthûbah.
 5. Sunan al-Baihâqi al-Kubra, Cetakan Hyderabad, India.
 6. Silsilah al-Ahadîts ash-Shahîhah, Muhammad Nâshiruddin al-Albâni, Maktabah al-Ma'ârif.
 7. At-Târîkh al-Kabîr, al-Bukhâri, Tahqîq Sayyid Hâsyim an-Nadawi, Dârul Fikr.
 8. Lathaiful Ma'ârif fîma li Mawâsil 'Am minal Wazhâif, Ibnu Rajab al-Hanbali, al-Maktabah asy-Syâmilah.
 
 [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/Dzulqa'adah  1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.  Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197  Fax 0271-858196]
 _______
 Footnote
 [1]. HR. al-Bukhâri 3073) dan Muslim 2824.
 [2]. HR. al-Bukhâri 1683) dan Muslim 1349.
 [3]. Lathâiful Ma'ârif Fîma Li Mawâsimil 'Am Minal Wazhâif 1/68. 
 [4]. HR. Muslim 1015.
 [5]. Lathâiful Ma'ârif 2/49. 
 [6]. Lathâiful Ma'ârif 1/257 
 [7]. Ibid. 
 [8]. Lathâiful Ma'ârif 1/67.
 [9]. HR. al-Baihaqi 2/413 (no. 10693), dihukumi shahîh oleh al-Hâkim dan  al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah 3/262 (no. 1264)
 [10]. al-Baqarah 197.
 [11]. HR. Muslim (1350) dan yang lain, dan ini adalah lafazh Ahmad di Musnad (7136)
 [12]. Lathâiful Ma'ârif 1/68. 
 [13]. At-Târîkh al-Kabîr 3/238.
 [14]. Lathâiful Ma'ârif 1/67.     
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar