HUKUM UMRAH BERULANG-ULANG KETIKA BERADA DI MEKKAH
 
 
 Oleh
 Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
 
 
 
 
 Pertanyaan
 Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum keluar dari  Mekkah ke selain tanah suci untuk melaksanakan umrah pada bulan Ramadhan  dan di waktu lainnya (misalnya pada waktu ibadah haji, -peny) ?
 
 Jawaban
 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan, bahwa ulama salaf  sepakat tentang makruhnya mengulang-ulang umrah dan memperbanyaknya.  Baik pendapat ini diterima atau tidak diterima, maka keluarnya seseorang  dari daerahnya untuk umrah, lalu keluarnya dari Mekkah ke selain tanah  haram (Tan’im dan tempat miqat lain) untuk melaksanakan umrah kedua,  ketiga pada bulan Ramadhan dan di waktu yang lainnya, adalah termasuk  perbuatan bid’ah yang tidak dikenal pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi  wa sallam.
 
 Sebab pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya dikenal satu  masalah yaitu masalah khusus bagi Aisyah Radhiyallahu ‘anha ketika ihram  haji tamattu’ lalu haidh. Ketika Nabi Shallallahu menemuinya, maka  didapatkannya dia menangis dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  menanyakan sebab dia menangis, lalu Aisyah memberitahukannya kepada Nabi  bahwa dia haid. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menenangkan  kepadanya bahwa haidh adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah kepada  anak-anak perempuan Bani Adam.
 
 Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadanya  untuk ihram haji. Maka Aisyah ihram haji dan menjadi haji qiran. Tetapi  ketika Aisyah selesai melaksanakan haji, dia mendesak Nabi Shallallahu  ‘alaihi wa sallam untuk dizinkan umrah sendiri. Maka Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkannya dan memerintahkan  saudaranya, Abdurrahman bin Abu Bakar, semoga Allah meridhoi keduanya,  agar menyertainya ke Tan’im. Maka Abdurrahman keluar bersama Aisyah ke  Tan’im dan Aisyah Umrah.
 
 Seandainya hal ini termasuk sesuatu yang disyariatkan dalam bentuk  kemutlakan, niscaya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan para  shahabat, bahkan akan menganjurkan Abdurrahman bin Abu Bakar yang keluar  bersama saudarinya untuk melaksanakan umrah karena akan mendapatkan  pahala. Dan telah maklum dari semua itu, bahwa Rasulullah Shallallahu  ‘alaihi wa sallam mukim di Mekkah pada tahun pembebasan kota Mekkah  selama sembilan belas hari, tapi beliau tidak melaksanakan umrah padahal  demikian itu mudah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
 
 Ini menunjukkan bahwa orang yang umrah pada bulan Ramadhan atau di waktu  yang lainnya maka dia tidak mengulang-ulang umrah dengan keluar dari  Mekkah ke tempat yang bukan tanah suci (miqat). Sebab demikian ini tidak  sesuai sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga tidak sesuai  dengan sunnah Khulafa’ur Rasyidin bahkan tidak semua shahabat Nabi  Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
 
 Demikian juga banyak di antara menusia yang mengatakan bahwa  kedatangannya untuk umrah pada bulan Ramadhan adalah diperuntukkan  ibunya atau kedua orang tuanya, atau yang seperti itu. Maka kami  mengatakan, bahwa menghadiahkan ibadah kepada orang-orang yang meninggal  tidak disyariatkan dalam Islam. Artinya, seseorang tidak dituntut untuk  mengerjakan ibadah untuk ibu atau bapak atau saudara perempuannya. Tapi  jika melakukan hal tersebut diperbolehkan. Sebab Nabi Shallallahu  ‘alaihi wa sallam mengizinkan kepada Sa’ad bin Ubadah Radhiyallahu ‘anhu  menyedekahkan kebun kurmanya untuk ibunya yang telah meninggal. Dan  ketika seseorang minta izin kepada Nabi seraya berkata : “Wahai  Rasulullah, ibu saya meninggal mendadak dan saya kira kalau dia sempat  berbicara niscaya dia akan bersedekah. Apakah saya boleh bersedekah  untuk dia?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ya”. Meskipun  demikian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersabda kepada para  shahabatnya secara umum : “Bersedekahlah kalian untuk orang-orang yang  meninggal atau untuk bapak-bapak kalian atau untuk ibu-ibu kalian!”.
 
 Karena itu bagi para pencari ilmu dan yang lainnya wajib mengetahui  perbedaan antara sesuatu yang disyari’atkan (masyru’) dan sesuatu yang  diperbolehkan (jaiz). Di mana sesuatu yang disyariatkan itu berarti  bahwa setiap Muslim dituntut melakukannya. Sedangkan sesuatu yang  diperbolehkan adalah sesuatu yang setiap muslim tidak dituntut untuk  melakukannya. Untuk lebih jelasnya saya akan mengemukakan contoh kisah  seseorang yang diutus Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ekspedisi  di mana dia menjadi imam shahabat-shahabatnya. Setiap dia shalat dengan  mereka selalu mengakhiri bacaanya dengan qul huwallahu ahad (surat  al-Ikhlas). Maka ketika kembali mereka memberitahukan hal tersebut  kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi Shallallahu ‘alaihi  wa sallam bersabda : “Tanyakanlah kepadanya, mengapa dia selalu  melakukan hal itu?” Ketika ditanya, ia menjawab : “Sesungguhnya dalam  surat al-Ikhlas terdapat sifat Yang Mahapengasih, dan saya senang  (mencintai) membacanya”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata  : “Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah mencintai dia!”.
 
 Meski demikian, di antara sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  adalah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengakhiri bacaan  dalam shalatnya dengan surat al-Ikhlas dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa  sallam tidak mengarahkan umatnya kepada hal tersebut. Disitulah terlihat  perbedaan antara sesuatu yang diizinkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa  sallam dan yang disyariatkan yang setiap manusia dituntut melakukannya.  Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan Sa’ad bin Ubadah  menyedekahkan kebunnya untuk ibunya yang telah meninggal dan mengizinkan  penannya yang ibunya meninggal mendadak bersedekah untuk ibunya, maka  demikian itu tidak berarti disyariatkan untuk setiap manusia bersedekah  untuk bapak atau ibunya yang meninggal, meskipun jika dia bersedekah  akan berguna bagi orang yang disedekahinya. Sesungguhnya kita  diperintahkan untuk mendo’akan bapak dan ibu kita yang telah meninggal  berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
 
 “Jika anak Adam meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga :  shodaqoh jariyah, ilmu yang manfaat, dan anak shalih yang mendo’akannya”  [HR Muslim dan lainya]
 
 Wallahu a’lam
     
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar