ARAFAH MELAHIRKAN ORANG-ORANG YANG TERBEBAS DARI NERAKA
 
 Oleh
 Ustadz Anas Burhanuddin, MA
 
 
 KEUTAMAAN HARI ARAFAH 
 Hari Arafah yang jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah setiap tahun merupakan  salah satu hari yang paling utama sepanjang tahun. Bahkan dalam madzhab  Syâfi'i disebutkan bahwa jika ada orang yang mengatakan, 'Isteri saya  jatuh talak pada hari paling utama', maka talak tersebut jatuh pada hari  Arafah.[1] Keistimewaan hari ini berdasarkan pada dalil umum dan  khusus.
 
 Dalil umum yaitu hadits Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 
 
 مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ  مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ ». فقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ  الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ؟ قَالَ: "وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ  اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ  ذَلِكَ بِشَىْءٍ".
 
 Tidak ada hari-hari di mana amal saleh di dalamnya lebih dicintai Allâh  Azza wa Jalla daripada hari–hari yang sepuluh ini". Para sahabat  bertanya, "Tidak juga jihad di jalan Allâh ? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa  sallam menjawab, "Tidak juga jihad di jalan Allâh, kecuali orang yang  keluar mempertaruhkan jiwa dan hartanya, lalu tidak kembali dengan  sesuatupun." [HR al-Bukhâri no. 969 dan at-Tirmidzi no. 757, dan lafazh  ini adalah lafazh riwayat at-Tirmidzi]
 
 Maksudnya adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah yang merupakan  rangkaian hari paling utama sepanjang tahun. Hadits ini menunjukkan  disyariatkannya memperbanyak amal saleh di sepuluh hari pertama bulan  Dzulhijjah, dan hari Arafah termasuk di dalamnya. Syaikhul Islam Ibnu  Taimiyyah rahimahullah mengatakan, "Siang hari sepuluh hari pertama  bulan Dzulhijjah lebih utama daripada malam sepuluh terakhir bulan  Ramadhân, dan malam sepuluh hari terakhir Ramadhan lebih utama daripada  malam sepuluh hari pertama Dzulhijjah." [2] 
 
 Adapun dalil khusus yang menunjukkan keistimewaan hari Arafah di antaranya adalah sebagai berikut :
 
 1. Di hari ini Allâh Azza wa Jalla paling banyak membebaskan manusia  dari neraka. Ibunda kaum mukminin, Aisyah Radhiyallahu anhuma  meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 
 
 مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ  النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ  الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ: مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ ؟
 
 Tidak ada hari di mana Allâh Azza wa Jalla membebaskan hamba dari neraka  lebih banyak daripada hari Arafah, dan sungguh Dia mendekat lalu  membanggakan mereka di depan para malaikat dan berkata: Apa yang mereka  inginkan?" [HR. Muslim no. 1348] 
 
 Maksudnya, tidak ada yang mendorong mereka untuk meninggalkan negeri,  keluarga dan kenikmatan mereka (untuk menunaikan ibadah haji-red)  kecuali ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan pencarian ridhanya. [3] 
 
 2. Doa di hari Arafah adalah doa terbaik. Abdullah bin Amr Radhiyallahu  anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabda beliau  Shallallahu ‘alaihi wa sallam : 
 
 خَيْرُ الدُّعاءِ دُعاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَناَ  وَالنَّبِيُّوْنَ مِنْ قَبْلِيْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ  شَرِيْكَ لَهُ لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ  قَدِيْرٌ
 
 Sebaik-baik doa adalah doa hari Arafah, dan sebaik-baik ucapan yang aku  dan para nabi sebelumku ucapkan adalah La ilaha illallah wahdahu la  syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wahuwa 'ala kulli syaiin qadir."  [HR. at-Tirmidzi no. 3585, dihukumi shahih oleh al-Albani]
 
 3. Wukuf di Arafah merupakan rukun haji yang paling pokok. Nabi Muhammad  Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh sekelompok orang dari Nejed  tentang haji, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : 
 
 الْحَجُّ عَرَفَةُ
 
 Haji itu adalah Arafah. [HR. at-Tirmidzi no. 889, an-Nasâ’i no. 3016 dan Ibnu Mâjah no. 3015 , dihukumi shahih oleh al-Albâni]
 
 Maksud hadits ini adalah bahwa wukuf di Arafah merupakan tiang haji dan  rukunnya yang terpenting. Barang siapa meninggalkannya, maka hajinya  batal, dan barangsiapa melakukannya, maka telah aman hajinya.[4] 
 
 4. Puasa di hari Arafah memiliki keutamaan yang besar. Puasa sehari ini  menghapuskan dosa dua tahun, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu  Qatâdah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:
 
 صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ
 
 Puasa hari Arafah aku harapkan dari Allâh bisa menghapuskan dosa setahun  sebelumnya dan setahun setelahnya. [HR. Muslim no. 1162]
 
 5. Imam Mâlik rahimahullah meriwayatkan dalam al-Muwatha' no. 944 dengan  sanad yang lemah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadits berikut  : 
 
 مَا رُئِيَ الشَّيْطَانُ يَوْمًا هُوَ فِيهِ أَصْغَرُ وَلاَ أَدْحَرُ وَلاَ  أَحْقَرُ وَلاَ أَغْيَظُ مِنْهُ فِي يَوْمِ عَرَفَةَ وَمَا ذَاكَ إِلاَّ  لِمَا رَأَى مِنْ تَنَزُّلِ الرَّحْمَةِ وَتَجَاوُزِ اللَّهِ عَنْ  الذُّنُوبِ الْعِظَامِ إِلَّا مَا أُرِيَ يَوْمَ بَدْرٍ 
 
 Tidaklah setan pernah terlihat lebih kerdil, terjauhkan, hina dan marah  daripada saat hari Arafah, dan itu tidak lain karena ia melihat turunnya  rahmat dan pengampunan Allâh atas dosa-dosa besar, kecuali apa yang ia  lihat saat Perang Badar.
 
 Demikianlah, dalil-dalil ini cukup untuk menunjukkan keistimewaan hari  Arafah. Tidak hanya untuk para jamaah haji yang di hari itu memiliki  agenda wukuf di Arafah, kaum Muslimin yang lain juga memiliki kesempatan  yang sama untuk mendulang pahala dan ampunan dari Sang Maha Pengampun.  Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan karunia-Nya kepada kita. 
 
 IBADAH YANG DISYARIATKAN UNTUK JAMAAH HAJI SELAMA DI ARAFAH
 Setiap tahun ada orang-orang yang terpilih untuk menunaikan ibadah haji.  Di zaman sekarang, jutaan umat Islam berkumpul di Padang Arafah tiap  tahunnya. Sebuah kenikmatan yang sungguh agung. Sebagai wujud syukur  kepada Allâh al-Mannan, sudah sepantasnya para jamaah haji mengisi hari  mulia ini dengan sebaik mungkin sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu  ‘alaihi wa sallam . Berikut ini adalah penjelasan tentang amalan hari  Arafah beserta dalilnya. 
 
 1. Setelah menjalankan sunnah bermalam di Mina pada hari tarwiyah  (tanggal 8 Dzulhijjah) dan melakukan shalat lima waktu di sana, para  jamaah haji disunnahkan untuk menuju Arafah begitu matahari terbit pada  tanggal 9 Dzulhijjah. Hal ini berdasarkan penjelasan Jâbir bin Abdillah  Radhiyallahu anhu :
 
 فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ التَّرْوِيَةِ تَوَجَّهُوا إِلَى مِنًى فَأَهَلُّوا  بِالْحَجِّ وَرَكِبَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَصَلَّى بِهَا  الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ وَالْفَجْرَ ثُمَّ  مَكَثَ قَلِيلاً حَتَّى طَلَعَتِ الشَّمْسُ
 
 Maka pada hari tarwiyah mereka berangkat menuju Mina bertalbiyah haji,  dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki kendaraan lalu  shalat di sana Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Shubuh, kemudian  menunggu sebentar sampai matahari terbit. [HR. Muslim no. 1218]
 
 2. Saat menuju Arafah disunnahkan memperbanyak talbiyah dan takbir. Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma meriwayatkan : 
 
 غَدَوْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ مِنًى إِلَى عَرَفَاتٍ مِنَّا الْمُلَبِّى وَمِنَّا الْمُكَبِّرُ.
 
 Kami berangkat di waktu pagi bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa  sallam dari Mina ke Arafah, di antara kami ada yang bertalbiyah dan ada  yang bertakbir. [HR. Muslim no. 1284] 
 
 3. Setibanya di Arafah, para jamaah haji bisa langsung menempati tempat  mereka. Harus dipastikan bahwa tempat yang akan dipakai wukuf merupakan  bagian dari Arafah, karena jika wukuf di luar Arafah, wukuf kita tidak  sah. Sementara wukuf adalah rukun haji dan tidak bisa digantikan dengan  dam atau sejenisnya. Jubair bin Muth'im Radhiyallahu anhu meriwayatkan  dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabda beliau Shallallahu  ‘alaihi wa sallam : 
 
 كُلُّ عَرَفَاتٍ مَوْقِفٌ وَارْفَعُوا عَنْ بَطْنِ عُرَنَةَ
 
 Seluruh Arafah adalah tempat wukuf, dan jauhilah tengah lembah 'Uranah  [HR. Ahmad no. 16.797, dihukumi shahih oleh al-Albâni dan Syuaib  al-Arnauth]
 
 'Uranah adalah sebuah lembah (wadi) yang terletak di dekat Masjid  Namirah dari arah Makkah dan tempat itu bukan bagian dari Arafah.[5] 
 
 Hadits ini menunjukkan bahwa jamaah haji harus memastikan bahwa tempat  wukuf mereka termasuk wilayah Arafah. Saat ini, batas Arafah ditandai  dengan papan-papan besar dan tinggi yang bisa dilihat dari jauh. 
 
 4. Waktu wukuf dimulai saat tiba waktu Zhuhur dan selesai dengan  terbitnya fajar tanggal 10 Dzulhijjah. Jadi, orang yang tidak dimudahkan  untuk wukuf di siang hari, masih bisa melakukannya di malam hari, dan  wukufnya sah.[6] 
 
 Bagi jamaah haji yang terpaksa harus masuk Arafah sejak tanggal 8  Dzulhijjah, seperti sebagian besar jamah haji Indonesia, mereka bisa  langsung bersiap wukuf sebelum waktu Zhuhur di tenda masing-masing. 
 
 5. Begitu waktu Zhuhur tiba, disunnahkan untuk melakukan shalat Zhuhur  dan Ashar dengan cara jama' dan qashar, masing-masing dua rekaat di awal  waktu shalat Zhuhur, dengan satu adzan dan dua iqamah sebagaimana  disebutkan dalam hadits Jabir Radhiyallahu anhu berikut: 
 
 ثُمَّ أَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا 
 
 Kemudian (Bilal) mengumandangkan adzan lalu iqamah, maka (Rasûlullâh)  shalat Zhuhur. Kemudian (Bilal) mengumandangkan iqâmah , maka Rasûlullâh  shalat Ashar dan tidak melakukan shalat apapun di antara keduanya. [HR.  Muslim no. 1284] 
 
 Hikmahnya adalah agar setelah itu kita bisa memiliki waktu yang luas  untuk berdoa dan berdzikir, karena saat itu adalah waktu terbaik untuk  berdoa.[7] 
 
 6. Sebelum shalat Zhuhur, disunnahkan bagi imam untuk menyampaikan  khutbah tentang agama secara umum dan penjelasan tentang amalan-amalan  haji yang masih tersisa, sebagaimana dicontohkan Nabi Shallallahu  ‘alaihi wa sallam dalam hadits Jâbir Radhiyallahu anhu ini : 
 
 حَتَّى إِذَا زَاغَتِ الشَّمْسُ أَمَرَ بِالْقَصْوَاءِ فَرُحِلَتْ لَهُ فَأَتَى بَطْنَ الْوَادِى فَخَطَبَ النَّاسَ
 
 Sehingga saat matahari tergelincir, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  memerintahkan agar unta al-Qashwa' disiapkan, maka ia pun dipasangi  pelana, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi tengah  lembah (Wadi 'Uranah) dan berkhutbah. [HR. Muslim no. 1284] 
 
 7. Saat di Arafah, sebaiknya para jamaah haji tidak berpuasa,  sebagaimana dicontohkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits  Ummul Fadhl Radhiyallahu anhuma berikut : 
 
 عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ بِنْتِ الْحَارِثِ أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا  يَوْمَ عَرَفَةَ فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ  فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ  فَشَرِبَهُ 
 
 Dari Ummul Fadhl binti al-Hârits Radhiyallahu anhuma bahwa orang-orang  berselisih di dekatnya tentang puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .  Sebagian mereka berkata bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  puasa, dan sebagian lagi mengatakan tidak. Maka Ummul Fadhl Radhiyallahu  anhuma mengirimkan secangkir susu saat beliau Shallallahu ‘alaihi wa  sallam di atas unta, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  meminumnya. [HR. al-Bukhâri no. 1887 dan Muslim no. 1123]
 
 Tidak berpuasa selama di Arafah karena itu lebih mendukung ibadah dan amalan selama di sana. 
 
 Wukuf di arafah merupakan pertemuan akbar umat Islam dalam ibadah  mereka. Hal ini mengingatkan kita akan hari dikumpulkannya seluruh  makhluk lintas zaman dan generasi di Padang Mahsyar. Mengingat hal ini,  hendaknya setiap Muslim menyiapkan dirinya untuk menyambut kedatangan  hari itu dengan amal shaleh.[8] 
 
 8. Hendaknya para jamaah haji memanfaatkan waktu sangat berharga di  Arafah ini, yang hanya beberapa jam dengan banyak bertalbiyah, berdzikir  dan sungguh-sungguh berdoa untuk kebaikan dunia dan akhirat. 
 
 Seperti telah dijelaskan dalam pembahasan keutamaan hari Arafah, doa  pada hari ini adalah sebaik-baik doa, dan sebaik-baik doa yang  dipanjatkan hari itu adalah :
 
 لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
 
 Tiada ilah yang diibadahi dengan haq kecuali Allâh, hanya Dia, tiada  sekutu bagi-Nya, hanya milik-Nya kekuasan dan pujian, dan Dia Maha  Berkuasa atas segala sesuatu. 
 
 Karena ini adalah doa terbaik, jamaah haji harus menghafalnya, lalu sebanyak dan sekhusyu' mungkin mengucapkannya selama wukuf. 
 
 Teladanilah kesungguhan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdoa  sebagaimana digambarkan Usâmah bin Zaid Radhiyallahu anhu ketika beliau  Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: 
 
 كُنْتُ رَدِيْفَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِعَرَفاَتٍ، فَرَفَعَ  يَدَيْهِ يَدْعُوْ، فَمَالَتْ بِهِ نَاقَتُهُ، فَسَقَطَ خِطَامُهَا،  فَتَنَاوَلَ الْخِطَامَ بِإِحْدَى يَدَيْهِ وَهُوَ رَافِعٌ يَدَهُ  اْلأُخْرَى 
 
 Aku dibonceng Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Arafah, maka beliau  Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangan beliau Shallallahu  ‘alaihi wa sallam untuk berdoa. Unta beliau miring, dan jatuhlah tali  kekangnya, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil tali  kekang itu dengan salah satu tangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  , sementara tangan yang satu lagi tetap tengadah berdoa. [HR. an-Nasâi  no. 3011, dihukumi shahih oleh al-Albâni]
 
 Hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  berdoa sendiri dan tidak mengumpulkan para sahabat untuk berdoa bersama,  maka petunjuk beliaulah yang paling pantas diikuti. [9] 
 
 Tidak ada doa khusus untuk hari Arafah, dan jamaah haji bisa berdoa apa  saja untuk kebaikan akhirat dan dunia. Tapi hendaknya mengutamakan  doa-doa dari al-Qur’ân dan sunnah yang shahih, karena doa-doa seperti  ini merupakan jawâmi'ul kalim (kalimat yang pendek lafazh tapi luas  makna) dan dijamin selamat dari kesalahan.[10] 
 
 Saran saya, susunlah proposal doa anda dari jauh hari! Kumpulkanlah  doa-doa terbaik untuk dipanjatkan di waktu yang sangat berharga ini,  agar anda bisa mengoptimalkan kesempatan yang belum tentu terulang dan  tidak kekurangan bekal doa di sana. Jangan lupakan orang tua, keluarga,  keturunan, dan orang-orang yang saudara cintai dalam doa terbaik ini. 
 
 Jangan sia-siakan satu menitpun dari waktu yang singkat ini untuk  hal-hal yang kurang berguna! Jika lelah atau bosan, saudara bisa selingi  dengan dzikir dan baca al-Qur’ân, atau istirahat sejenak agar bisa  segar lagi. 
 
 9. Hendaknya para jamaah haji tidak keluar dari Arafah kecuali setelah  terbenam matahari, seperti petunjuk hadits Jâbir tentang sifat wukuf  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : 
 
 فَلَمْ يَزَلْ وَاقِفًا حَتَّى غَرَبَتِ الشَّمْسُ وَذَهَبَتِ الصُّفْرَةُ قَلِيلاً حَتَّى غَابَ الْقُرْصُ
 
 Beliau masih terus wukuf sampai matahari tenggelam, warna kuning sedikit  pergi dan bola matahari tidak kelihatan lagi. [HR. Muslim no. 1284] 
 
 10. Setelah matahari benar-benar terbenam, jamaah haji boleh  meninggalkan Arafah untuk bemalam di Muzdalifah dan menyelesaikan  amalan-amalan haji selanjutnya. 
 
 Demikianlah rangkaian amalan yang disyariatkan untuk dilakukan oleh  jamaah haji selama di Arafah. Jika kita melakukannya dengan ikhlas dan  mengikuti petunjuk Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam di  sini dan di rangkaian amalan haji yang lain, insya Allâh kita akan  meraih haji yang mabrur, dosa-dosa kita diampuni dan doa-doa kita  dikabulkan. Kita akan menjadi orang yang mendapatkan barakah hari Arafah  dengan terbebaskan dari api neraka. 
 
 KESALAHAN-KESALAHAN JAMAAH HAJI SELAMA DI ARAFAH
 Meski memiliki keistimewaan yang sangat besar, masih banyak umat Islam  yang tidak menghargai keistimewaan ini. Sungguh ironis, masih banyak  jamaah haji yang jatuh dalam kesalahan-kesalahan fatal saat beribadah di  Arafah. Kesalahan-kesalahan ini disebabkan kekurangan ilmu, kurang  motivasi dalam beramal atau sikap tidak peduli. Para jamaah haji perlu  mengetahui kesalahan-kesalahan ini agar bisa menghindarinya dan  bersyukur atas nikmat ilmu dan cinta sunnah yang Allâh Azza wa Jalla  anugerahkan. 
 
 Di antara kesalahan-kesalahan yang sering terjadi selama wukuf di Arafah adalah sebagai berikut : 
 
 1. Wukuf di luar wilayah Arafah. Saat melakukan patroli, para dai dari  Kementrian Agama Arab Saudi masih banyak menemukan jamaah haji yang  melakukan wukuf di luar Arafah. Padahal kesalahan ini jika tidak  diluruskan mengakibatkan haji kita tidak sah.[11] 
 
 2. Keluar dari Arafah sebelum matahari terbenam. Wukuf adalah rukun  haji, sedangkan melakukan wukuf hingga matahari terbenam adalah salah  satu kewajiban haji. Jika jamaah haji sudah keluar dari Arafah sebelum  matahari terbenam dan tidak kembali lagi, maka ia telah meninggalkan  salah satu kewajiban haji dan harus membayar dam dengan meyembelih  seekor kambing.[12] 
 
 3. Menyibukkan diri dengan naik Jabal Rahmat, berjalan-jalan, atau  menuliskan prasasti di sana. Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa  sallam sendiri tidak mendaki gunung ini saat wukuf. Jadi barang siapa  mendaki gunung dan meyakininya sebagai ibadah, maka itu adalah bid'ah.  Jika menaikinya sebagai refreshing, maka hukumnya boleh, tetapi ada hal  lain yang lebih baik dilakukan di kesempatan yang belum tentu terulang  ini.[13] Imamul Haramain al-Juwaini mengatakan, "Dan tidak ada nilai  ibadah dalam menaiki gunung ini, meski orang-orang biasa melakukannya."  [14] 
 
 4. Menghadap ke Jabal Rahmat saat dzikir dan doa dan membelakangi  kiblat. Yang sesuai dengan sunnah adalah menghadap ke kiblat saat  berdoa, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Jâbir Radhiyallahu anhu : 
 
 ثُمَّ رَكِبَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- حَتَّى أَتَى  الْمَوْقِفَ فَجَعَلَ بَطْنَ نَاقَتِهِ الْقَصْوَاءِ إِلَى الصَّخَرَاتِ  وَجَعَلَ حَبْلَ الْمُشَاةِ بَيْنَ يَدَيْهِ وَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ
 
 Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat hingga tiba  di tempat wukuf, maka beliau jadikan perut unta beliau al-Qashwa di  bebatuan (di belakang Jabal Rahmat), menjadikan rombongan pejalan kaki  di depan beliau dan menghadap kiblat. [HR. Muslim no. 1284] 
 
 Saat wukuf, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap Jabal Rahmat,  tapi pada saat yang sama beliau juga menghadap kiblat. Beliau menjadikan  Jabal Rahmat dan Ka'bah di arah depan beliau. Jika keduanya tidak bisa  digabungkan, maka yang diutamakan adalah menghadap kiblat, bukan gunung.
 
 5. Tidak mengoptimalkan dzikir dan doa, tapi malah banyak ngobrol dan  bercanda. Hal ini sangat disayangkan, mengingat keistimewaan hari Arafah  dan singkatnya waktu wukuf. Saat Anda menempati tempat wukuf Anda,  ingatlah bahwa ada jutaan umat Islam yang menginginkan tempat itu, namun  mereka tidak bisa mendapatkannya karena tidak memiliki biaya, tidak  memiliki kondisi fisik yang memungkinkan, atau sebab lain. Dan Andalah  yang dipilih Allâh, maka jangan sia-siakan kesempatan emas ini dengan  obrolan dan canda tawa!
 
 6. Menyibukkan diri dengan berfoto ria selama di Arafah. Terlepas dari  perselisihan para Ulama dalam masalah hukum foto makhluk bernyawa,  foto-foto ini bisa menjadi pintu masuk setan untuk menjerumuskan Anda ke  dalam kubangan riya' (beramal agar dilihat dan dipuji orang lain) yang  membuat ibadah haji Anda sia-sia. Sebisa mungkin tutuplah ibadah mulia  ini dari pandangan manusia, sehingga hanya Allâh Azza wa Jalla yang  tahu, karena hanya dari-Nyalah kita mengharap pahala.
 
 7. Merokok. Kebiasaan buruk ini sayang sekali masih kadang dilakukan jamaah haji saat menjalankan rukun terpenting ibadah haji.
 
 8. Menghibur diri atau mencari kekhusyu'an dengan alunan musik.
 
 9. Bersolek. Agama kita melarang wanita bersolek saat keluar rumah.  Larangan ini menjadi lebih tegas jika dilakukan saat menjalankan ibadah  haji dan berada di tanah suci. Demikian pula dengan dua kesalahan yang  sebelumnya. Jika kita melakukannya, masihkah kita berharap haji mabrur,  sedangkan syaratnya adalah meninggalkan kefasikan dan maksiat selama  menjalankan ibadah ini ? 
 
 Itulah beberapa contoh kesalahan yang sering terjadi selama di Arafah.  Masih banyak lagi kesalahan yang lain yang harus dihindari jamaah haji,  namun apa yang disebutkan di atas cukup sebagai isyarat kepada  kesalahan-kesalahan yang lain. Akhirnya kita berdoa, semoga Allâh  menunjukkah kebenaran sebagai kebenaran dan kita bisa mengikutinya. Dan  semoga Allâh menunjukkan kesalahan sebagai kesalahan dan kita bisa  meninggalkannya. Sungguh Dialah Yang Maha Mendengar, Dialah harapan  kita, dan cukuplah Dia bagi kita. Wallahu A'lam.
 
 Referensi: 
 1. Asy-Syarhul Mumti', Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimin, Dar Ibnil Jauzi. 
 2. Al-Mughni, Ibnu Qudâmah, Dar 'Alamil Kutub.
 3. Tabshîrun Nasîk bi Ahkâmil Manâsik, Syaikh Abdul Muhsin al-'Abbâd.
 4. Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi, Darul Khair. 
 5. Nihâyatul Mathlab fi Dirâyatil Madzhab, Imamul haramain al-Juwaini, Darul Minhaj.
     
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar