Selasa, 26 Agustus 2014

Pengertian Akad by Abdullah Muadz

Pengertian Akad by Abdullah Muadz

Pengertian Akad 

Semenjak sering terbongkarnya kasus korupsi, semakin jarang thema thema akad terangkat. Sengaja penulis menyegarkan kembali agar tidak hilang begitu saja dari ingatan kita. Tujuannya agar bisa menjadi dhawabith (Patokan) sekaligus kaidah dalam kita bertransaksi.

Akad (transaksi) bisa terjadi dalam setiap kegiatan muamalat. Akad berasal dari bahasa arab al aqdu yang berarti: ikatan, perjanjian dan pemufakatan.  Akad adalah suatu ikatan antara ijab dan kabul dengan cara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan adanya akibat- akibat hukum pada objeknya. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedang kabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.
Akad dengan makna luas inilah yang Allah inginkan dalam firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu." (Qs. al Maidah: 1)

Menurut istilah fuqaha, akad dapat diartikan:
“Perikatan ijab dan qabul secara yang disyariatkan agama nampak bekasannya pada yang diakadkan itu”
Sedangkan defenisi akad menurut ulama syari'ah adalah ikatan antara ‘ijab' dan ‘qabul' yang diselenggarakan menurut ketentuan syari'ah di mana terjadi konsekuensi hukum atas sesuatu yang karenanya akad tersebut diselenggarakan.

Didalam islam, semua transaksi yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak boleh menyimpang dan harus sejalan dengan syari’at, tidak boleh ada kesepakatan untuk menipu orang lain,  transaksi barang– barang yang diharamkan dan kesepakatan untuk membunuh seseorang.  Menurut Mustafa az- zarqa’, tindakan yang berupa perkata’an dibagi menjadi dua, yaitu:
Tindakan yang bersifat akad dan
Tindakan yang tidak bersifat akad. Lebih lanjut Mustafa az- zarqa’ menyatakan, bahwa tindakan hukum hukum lebih umum dari akad, sebab setiap akad dilakukan sebagai tindakan hukum dari dua belah pihak, tetapi sebaliknya setiap tindakan hukum tidak dapat disebut sebagai akad.

Menurutnya juga dalam pandangan syara’ suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama– sama berkeinginan untuk mengikatkan diri. Kehendak atau keinginan pihak- pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam hati, karena itu untuk menyatakan keinginan masing– masing diungkapkan dalam suatu pernyataan– pernyataan, inilah yang kemudian disebut sebagai ijab dan kabul.  Pelaku (pihak) pertama disebut mujib dan pelaku (pihak) kedua disebut qaabil. Dalam istilah fiqih ijab dan kabul ini disebut sighah al- aqd, yaitu ungkapan atau pernyataan akad.

Berdasarkan pengertian akad diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan akad adalah untuk mengetahui jenis transaksi yang akan dilakukan oleh kedua pihak serta untuk menimbulkan rasa suka rela atas transaksi yang mereka lakukan.

Dan apabila akad harus mempunyai tujuan agar akad itu dapat dipandang sah dan mempunyai akibat- akibat hukum, diperlukan adanya syarat- syarat tujuan sebagai berikut:
a.       Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak- pihak yang bersangkutan tanpa akad
          yang diadakan.
b.      Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad.
c.       Tujuan akad harus dibenarkan syarak.

Rukun Akad 
Menurut jumhur fuqaha’, rukun akad terdiri dari:
 a. pernyataan untuk mengikatkan diri (sighah al- aqd).
b. pihak– pihak yang berakad.
c. obyek akad.
Ulama mazhab hanafi berpendapat bahwa rukun akad itu hanya satu yaitu sighah al-aqd. Sedangkan pihak– pihak yang berakad dan obyek akad, tidak termasuk rukun akad, melainkan syarat akad.
Sighah al- aqd merupakan rukun akad yang terpenting, karena melalui akad inilah diketahui maksud setiap pihak yang melakukan akad (transaksi).

Sighah al- aqd dinyatakan melalui ijab dan kabul dengan ketentuan sebagai berikut:
a.  tujuan akad itu harus jelas dan dapat dipahami.
b. antara ijab dan kabul harus ada kesesuaian.
c. pernyataan ijab dan kabul harus sesuai dengan kehendak masing – masing, dan tidak boleh ada yang meragukan.
Menurut Mustafa az- zarqa’ suatu akad dipandang sempurna, apabila telah memenuhi syarat– syarat diatas, tetapi ada akad– akad yang baru dipandang sempurna, jika telah melakukan timbang terima. Akad semacam ini disebut al uqud al-‘aniyyah, contohnya: hibah, pinjam meminjam, barang titipan, perserikatan dalam modal, dan jaminan.

Syarat umum suatu akad 
Para ulama fiqih menetapkan, ada beberapa syarat umum yang harus dipenuhi dalam suatu akad, disamping setiap akad juga mempunyai syarat– syarat khusus.
Syarat– syarat umum suatu akad adalah:
1.      Pihak– pihak yang melakukan akad telah dipandang mampu bertindak menurut hukum.
2.      Obyek akad itu diakui oleh syara’, yaitu memenuhi syarat berikut: berbentuk harta, dimiliki seseorang, bernilai
         harta menurut syara’.
3.      Akad itu tidak dilarang oleh nash syara’.
4.      Akad yang dilakukan harus memenuhi syarat– syarat khusus dengan akad yang bersangkutan, disamping
         harus memenuhi syarat– syarat umum.
5.      Akad itu bermanfaat.
6.      Ijab tetap utuh sampai terjadi kabul.
7.      Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majlis, baik langsung atau dengan media. yaitu suatu keadaan yang
          menggambarkan proses suatu transaksi.
8.      Tujuan akad harus jelas.

Akad baru dapat dikatakan benar, sah atau diakui keberadaannya oleh hukum apabila semua unsur pembentuknya terpenuhi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di antaranya adalah adanya unsur unsur‘ridla', unsur objek akad (‘mahal') dan unsur sebab akibat (‘sabab') serta ‘ganjaran' apabila asas (rukun)-nya tidak dipenuhi (konsekuensi).

Beberapa Contoh Kasus Penyimpangan Akad :

  1. Pegawai menerima Imbalan dari fihak ketiga, karena pelyanan iitu sudah kewajiban pegawai dan sudah ada akad antara pegawai dengan fihak lembaga pemerintah atau swasta, jadi pegawai itu sudah menerima gaji untuk tugas pelayanannya.
  2. Pegawai mengalihkan penerimaan hadiah untuk fihak ke 4, dengan alasan bukan untuk kepentingan pribadi. malah jadi double kesalahannya. Karena seharusnya dikembalikan kefihak pertama. Yaitu lembaga tempat dia bekerja.
  3. Anggota Dewan Menerima potongan dari dana Aspirasi, karena Fungsi Dewan sebagai representasi masyarakat, terutama konstituennya, sehingga diminta atau tidak dia berkewajiban menyalurkan aspirasi, jadi anggota dewan sudah mendapat gaji yang tugasnya menjadi aspirator...
  4. Petugas pajak menerima hadiah dari wajib pajak. Karena petugas berkewajiban melayani dengan gaji yang sudah diterimanya.
  5. Petugas zakat menerima hadiah dari muzakki, karena petugas zakat sudah dapat jatah gaji dari pos Amil.
  6. Amil menyalurkan zakatnya kepada amil lagi... karena tidak sesuai dengan akad dari si Pemberi, juga memperpanjang birokrasi yang dapat memperbesar potongan-potongan.
  7. Mengalihkan dana dari pendapatan proposal kepada lembaga lain yang tidak sesuai dengan akad, tanpa izin dan akad kepada fihak pertama / donatur...
  8. Mendompleng anggaran ( titipan ) dan ini sudah sangat membudaya di birokrasi kita. Bahwa didalam banyak mata anggaran itu sudah banyak titipan fihak-fihak tertentu yang akan minta bagian ketika dana itu dikeluarkan.. Nauzubillaah... kalau perbuatan baik mengapa harus ditutupi...? mengapa harus takut..?
  9. Mendapat discount, cash back, kadeudeuh, entertain dan sejenisnya dari pengadaan barang dan pembelanjaan lembaga. Karena itu menjadi haknya lembaga. Jika karena prestasi pegawai karena keahlian dalam menawar harga maka, bisa dikeluarkan bonus penghargaan untuk karyawan, atas sepengetahuan lembaga..
Indikator Penyimpangan Akad
  1. Salah satu fihak tidak ridho atau marah ketika mengetahui yang sebenarnya.
  2. Kedua-duanya Ridho tapi akadnya rusak, seperti transaksi pelacuran, narkoba, korupsi, sogok dan sebagainya. Itu semua dilakukan dengan Ridho.. kedua belah fihak. Tetapi rusak akadnya..
  3. Ada kerugian atau merasa dirugikan dari salah satu fihak, atau fihak yang terwakili, seperti rakyat mewakili kas negara. Baik materiil atau non materiil...
  4. Tidak berani transparan, transaksi diam diam, takut diketahui publik, padahal ngakunya perbuatan baik, untuk kepentingan rakyat dan sebagainya.
  5. Memanipulasi data, Pembuatan tanda bukti fiktif, takut sama Tim Audit, memberikan pelayanan Istimewa kepada Tim Audit dan sebagainya.
  6. Transaksi gelap, sengaja tidak dibukukan, karena menggunakan dana fihak lain, sementara akadnya menggunakan nama pribadi tanpa ada pelimpahan pelimpahan wewenang..
  7. Memberikan Uang Pengamanan kepada semua fihak terkait, baik ke Tim Auditor, esekutif, legislatif, yudikatif, Wartawan, Dukun, Pengacara, Preman, boroker demostran dan sebagainya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar