Rabu, 13 Agustus 2014

Mencari Makna "Krisis"  by : Abdullaah Muadz


” Begitu Jelas kerusakan yang terjadi didaratan dan dilautan, yang smua itu disebabkan oleh ulah tangan manusia, maka sengaja Kami timpakan siksa dari sebagian akibat perbutan mereka, agar mereka mau kembali kepada Allah SWT.”   ( Surah Ar-Ruum (30) ayat : 41 )

Menjelang kejatuhan Soeharto hingga hari ini kata ”Krisis” terus dikumandangkan. Berbagai seminar diskusi dan workshop telah digelar. Sampai kepada Presiden pun membentuk team penanggulangan krisis. Tetapi ternyata kita makin terpuruk, makin mundur kebelakang. Jangankan untuk bisa menyelesaikannya, mengerti arti krisis saja masih harus dipertanyakan.

          Apakah Mereka yang sering bicara krisis, sampai berbusa itu mulut, sudah mengeri apa arti krisis?. Apakah sudah terinternalisasi dalam jiwa dan hatinya. Apakah kita siap membangun negara ini dengan paradigma krisis. Apakah kita siap menyusus APBN dan APBD dengan asumsi bahwa negara kita sedang Kere.

          Ternyata  semua masih dipertanyakan. Kalo kita lihat gaya hidup dan prilaku masyarakat sehari-hari tidak mencerminkan sedikitpun bahwa kita sedang krisis. Yang antri beras bisa pegang HP, yang di Tenda pengungsian masih bisa joged. Begitu juga acara-acara di Televisi kita lihat sama persis dengan negara-negara maju, bahkan lebih glamour dan lebih norak dari negara yang sudah maju.
          Jadi yang perlu kita sepakati lebih dahulu adalah benar atau tidak sih kita sedang krisis...? Kok yang beli BMW bisa Indent, Real Estate laku keras, villa mewah kaya kacang goreng, jual motor di tenda pinggir jalan sama dengan jual pecel lele, apalagi yang jual HP cukup dengan lapak-lapak. Mall-mall, ITC tumbuh subur kaya jamur dimusim hujan. Sekali lagi apanya yang krisis…?

          Melihat pemandangan itu sepertinya negara kita sudah sangat makmur dan sudah sangat maju..??? apa sebenarnya terjadi pada bangsa ini. Disisi lain orang sedang banyak yang teriak-teriak krisis. Jadi apa yang krisis..? diamana krisis itu ada...? kaya apa sih sebenarnya kalo kita sedang krisis.. dan pertanyaan lainnya.

          Aneh tapi nyata kita sering mendengar berita orang yang antri beras miskin, bahkan sampai ada yang mati terjepit, ada antri minyak tanah, ada sudah biasa makan tiwul dan gaplek, ada yang sudah sering makan nasi aking, seorang petani bisa makan dengan lauk pauk hanya tiga gari setelah panen. Setelah itu biasa makan dengan sambal dan lalapan. Bahkan baru-baru ini kita mendengar seorang ibu dan seorang anak meninggal karena kelapran di Sulawesi Selatan, lumbungnya padi. Angka kelaparan, busung lapar, kurang gizi terus bertambah. Bellum lagi pengemis, pengamen, copet, pencurian, perampokan dan  sebagainya ada dimana mana.

     Dalam kondisi kere seperti ini kita melihat pola tingkah laku anak bangsa dengan gaya hidupnya yang tidak sama sekali mencerminkan bahwa negara ini sedang krisis.

          Lebih jelas lagi bisa kita lihat dalam penyusunan APBD dan APBN, sama sekali tidak mencerminkan negara kita sedang krisis. Inefisiensi masih terus ada. Anggaran untuk simbol kemewahan, ceremonial, gagah-gagahan, pamer gengsi, atribut upacara, sampai kepada proyek fiktif masih terus berlangsung. Bisa kita banyangkan jika anggaran sepak bola berpuluh kali lipat dari pada anggaran Kesra. Ada daerah anggaran sepak bola 17 miliyar sementara anggaran Kesra 100 Juta. Ada juga sepak bola 7 miliyar anggaran pembinaan UKM (Usaha Kecil Menengah) Cuma 25 juta..??? Alhamdulillah sekarang sudah ada Keputusan Mendagri tetang penggunaan APBD.

          Rupanya banyak pejabat yang nyaman, kerena sudah merasakan nikmatnya berpuluh-puluh tahun kebobrokan negara ini. Sebaliknya mereka merasa terancam jika terjadi reformasi yang sesungguhnya, mareka takut terhenti kenikmatannya kalau negara ini menjadi lebih baik. Sehingga bagaikan narkoba, dipakai terus makin membayakan, ditinggalkan susah karena sudah kecanduan. Atau pepatah mengatakan "Mengambil kesempatan dalam kesempitan".

Perlunya Diagnosa Tuntas

          Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi krisis ini, mulai dari wacana sampai pada tindakan nyata. Tapi sangat disayangkan masih bersifat Arifisial, Belum sampai kepada yang lebih subtsansial. Seringkali kesalahan dimulai dari diagnosa yang tidak tuntas, baru menemukan gejala sudah disebut penyakit. Misal seseorang batuk, itu gejala penyakit, bukan nama penyakit, penyakitnya mungkin saja atsma, radang tenggorakan, TBC dan lain lain. Begitu juga panas dingin itu bukan penyakit. Penyakitnya mungkin demam, flu, typus dan sebagainya.

          Kalau sudah ditemukan penyakit dengan tepat baru bisa dicari obat yang pas buat penyakit tersebut. Begitu juga nasib bangsa yang sedang sakit seperti sekarang ini butuh diagnosa yang mendalam, sampai ketemu pangkal persoalannya, atau akar masalahnya. Baru nanti di tentukan kebijakan dan tindakan apa yang tepat untuk menanggulanginya.

          Sebagai contoh kemacetan lalu-lintas yang sering terjadi terutama di Jabodetabek, sebagian besar kesalahan ada pada perencanaan dan tatakota, tapi  yang sering disorot biasanya polisi atau kedisiplinan masyarakat. Ambil kasus Depok, jalan Margonda yang cuma 4 Kilometer didirikan 6 buah pusat keramayan dan perbelanjaan setingkat Mall atau ITC. Belum lagi yang menengah dan toko kecil memenuhi kiri kanan margonda raya. Polisi mana yang sanggup mengatasi dampak kemacetannya. Tetapi mengapa tidak ada yang mempersoalkan tatakota.

          Begitu juga kalau kita bicara korupsi, selalu saja yang jadi sorotan penegakan hukum. Siapa pejabat penegak hukum yang belum pernah mencicipi Kue Korupsi Negara..?. Kalau ada berapa jumlahnya...? Berapa perbandingan antara aparat penegak hukum yang dianggap masih bersih dengan jumlah kasus yang antri untuk diselesaikan. Ada yang berpendapat kita mulai dari menyeret koruptor kelas kakap dulu. Kalau begitu kita butuh penegak hukum berkelas Paus atau Hiu setidak-tidaknya. Harus disiapkan aparat yang bermental baja, berhati malaikat, berkacamata yang sanggup menyensor deretan angka nol dalam gepokan uang, sehingga tidak gemetar ketika mlihatnya.  Akhirnya belunder lagi.

Jarang sekali dibahas mulai dari akar budayanya. Sampai acara ruatanpun masih dipertahankan bahkan dilestarikan, padahal jelas-jelas ritual sogok dan KKN, Irrasional, karena kita disuruh takut dengan tokoh fiktif dalam dongeng yaitu Batarakala. Kita diancam kalau punya anak tunggal laki-laki, anak kembar, di tengahnya laki-laki dan sebagainya. Supaya selamat dari ancaman kita harus mempersembahkan sesuatu dengan acara ritual ruatan.

          Sekarang kita tidak hanya sedang berhadapan sistem yang bobrok, tetapi juga kita behadapan dengan sebuah budaya peradaban serta peradigma yang sangat buobrok. Maka seharusnya tindakan dan kebijakan yang dibuat mengarah bagaimana merubah kultur dan budaya. Harus memikirkan perangkat apa yang harus dipersiapkan merubah budaya yang sudah seperti ini. Bukan kebijakan yang tambal sulam, jangka pendek apalagi kebijakan prgamatis untuk modal bertarung pada pemilu yang akan datang.

          Belum terlihat figur-figur yang betul-betul serius memperjuangkan nasib rakyat dan bangsa. Yang paling menonjol sekarang ini adalah perlomba’an untuk mempersiapkan pemilu demi pemilu. Persaingan untuk mendapatkan kursi-kursi empuk dan basah. Perebutan sarana-sarana penunjang untuk mendokrak suara. Sampai pada melirik bokong-bokong bahenol untuk diajak ngebor dipanggung kampanye agar bisa menyedot massa yang lebih banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar