Perbudakan Kontemporer
Abdullah Muadz
Ganti Nama dan Atribut
Budak,
kuli, orang upahan, jongos, hamba sahaya adalah sebutan
penghinaan kepada manusia sebagai sebuah setatus atau profesi yang dianggap
paling rendah, sehingga tidak disukai manusia pada umumnya. Namun faktanya
hingga hari ini masih banyak ditemukan manusia yang bermental dan berprilaku
seperti Budak. Walaupun bentuk, Istilah, symbol, atribut dan namapun berbeda
dari masa kemasa, antara satu peradaban dengan peradaban lainnya.
Zaman
dahulu budak-budak dibelenggu dengan rantai, dipekerjakan dan diperas tenaganya
habis-habisan, dan diberi upah ala kadarnya sekedar penyambung hidup saja.
Biasanya budak-budak ini diperolah dari tawanan perang atau melalui transaksi
jual beli. Ada juga budak-budak itu didapat dari hasil perburuan. Persis
seperti memburu hewan, para pemburu mengejar sampai dipedalaman hutan-hutan Afrika dan Amazon,
kemudia hasil buruannya dijual dipasar perbudakan.
Tujuan
membeli budak memang untuk dipekerjakan, dengan upah murah hasil optimal,
diperlakukan seperti hewan saja, tidak mengenal prikemanusiaan. Jika budak itu
hasil dari transaksi atau tawanan perang, mungkin masih terasa bahwa dirinya
sedang diperbudak. Namun apabila budak itu mempunyai anak dan tidak sempat
mendidik anaknya karena harus bekerja keras sepanjang hari, maka anaknya nanti
akan bermental budak pula, namun tidak lagi merasa terpaksa, bahkan merasa
bangga dirinya diperbudak. Apalagi majikannya mempunyai kedudukan
dimasyarakatnya, maka si budak
tadi akan merasa bangga menjadi pengabdi
majikannya.
Sekarang
cara berburu dan membelenggu perbudakan modern sudah berbeda, tidak lagi dengan
perburuan dihutan, juga membelenggunya tidak lagi dengan rantai. Apabila yang
sangat diperlukan perbudakan Intelektual maka berburunya di sekolah dan
dikampus-kampus. Senjatanya melalui media informasi terutama internet, kemudaian
rantai belenggunya melalui beasiswa, tugas
belajar, pertukaran pelajar, SK penghargaan, piagam, anugrah gelar kehormatan, sampai di
iming-iming pekerjaan dengan salary yang menarik. Jangan heran budak-budak
zaman modern kini
ada yang bergelar Doktor.
Terkadang
ada juga perburuannya dengan cara-cara yang kotor, yaitu dengan menjebak para
pemuda yang punya potensi luar biasa, dengan berbagai bentuk kemaksiatan, yang
apabila diketahui masyarakat, akan menanggung aib yang sangat memalukan.
Akhirnya si pemuda tadi tidak berdaya, karena kartu turf dirinya sudah ditangan
majikan. Sewaktu waktu loyalitasnya luntur apalagi berani melawan, maka tidak
segan-segan sang majikan untuk membongkar kartu truf itu. Jadilah pemuda yang
tertawan.
Persamaan
budak zaman dahulu dan sekarang adalah pada mentalitas budaknya itu. Loyalitas,
ketundukan, kepatuhan, serta ketaatan mutlak pada majikan, adalah sikap yang
selalu melekat pada manusia yang bermental budak. Walaupun memiliki serenceng
gelar, bagi yang bermental budak tetap sama saja akan sangat patuh
kepada sang majikan yang telah member beasiswanya.
Perbudakan
zaman sekarang sudah berganti, baik nama, baju, lambang, simbol, atribut dan
cara kerjanya. Tetapi apapun sebutan yang digunakan kita masih bisa melihat
ciri-cirinya yang begitu jelas.
Kehilangan Kendali Diri
Ciri pertama yang disebut budak adalah
dia tidak memiliki kontrol dan kendali atas dirinya sendiri. Ada majikan yang
mengendalikannya. Dengan belenggu yang cukup kuat, budak itu ditakdirkan tidak
bisa melawan majikan. Berbagai jenis belenggu saat ini adalah berupa hutang
budi, cuci otak, kebebasan mengumbar nafsu syahwat dan sebagainya.
Hutang budi adalah berbagai macam
fasilitas dan penghargaan yang diterima oleh orang-orang yang terpilih dan
dipastikan bisa menjadi loyalis majikan.
Para majikan mempunyai data base jejak rekam para calon-calon budak yang mempermudah
seleksi, siapa saja yang nantinya akan bisa menjadi pendukung sekaligus loyal
terhadap majikannya.
Hidup dizaman matrialisme seperti
sekarang ini tidak ada yang gratis, semua serba ada harganya. Walaupun disebut
bantuan itu hanya politik pencitraan. Apalagi waktu kampanye, omong kosong
banget kalau ada bantuan murni tidak mengharap imbal balik.
Hebatnya lagi orang-orang yang
bermental budak tidak memandang status dan pendidikan. Bisa saja orang yang
punya kedudukan tinggi dan pendidikan tinggi dijadikan budak. Para majikan
sudah memiliki tools yang sangat canggih untuk menilai siapa saja orang yang
punya bakat dijadikan budaknya. Jika hasil penilaian seseorang punya potensi
bisa dijadikan budak/boneka, maka bantuan siap digelontorkan berapapun yang
diperlukan. Jika ia berpotensi jadi pejabat politis, maka bantuan kampanye akan
segera digulirkan unlimited untuk memenangkan calon bonekanya. Sudah tentu
dengan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh si budak boneka itu
setelah memagang jabatan.
Fikirannya Sebatas Upah.
Karena sudah kehilangan kendali
diri maka sepenuhnya di berikan kepada majikan untuk dapat mengendalikan
dirinya. Para budak merasa tidak punya kemampuan dan tidak bisa apa-apa kecuali
hanya menggantungkan hidupnya kepada sang majikan. Mengganggap hanya majikanlah
yang memiliki pemikiran, solusi, sistem untuk memperbaiki dan mempertahankan
diri sibudak tersebut.
Bagi para budak hanya satu
konsentrasi fikirannya yaitu bagaimana bisa bertahan hidup, dengan cara
menerima pemberian dari majikan, setelah itu siap mengikuti titah perintah sang
majikan. Persis seperti sirkus
pertunjukan binatang, si pawang selalu saja membawa makanan untuk merangsang
insting binatang agar mengikuti apa yang diinginkan sang pawang. Selalu saja
makanan itu diberikan sebagai upah setelah si binatang itu berhasil
melaksanakan pertunjukannya.
Fir’aun juga memberi upah kepada
tukang sihirnya agar bisa membela kepentingannya dari ancaman keberadaan Nabi
Musa. : “Dan beberapa ahli sihir itu datang
kepada Fir'aun mengatakan: " Apakah
kami akan mendapat upah, jika kamilah yang menang (atas Musa) ?, Fir'aun menjawab: "Ya tentu saja sesungguhnya kamu
benar-benar akan termasuk orang-orang yang dekat (kepadaku)." ( Q.S Surah Al ‘Araaf (7) ayat : 113 – 114 )
Jangan heran kalau kemudian si budak
menjadi pembela dan sangat loyal terhadap majikannya. Fikiran dan prasaannya
sudah terbelenggu oleh berbagai fasilitas yang membuatnya nyaman. Sudah tidak
sanggup lagi berfikir kemerdekaan, harga diri, kemandirian, serta pembelaan
terhadap bangsanya sendiri.
Cuci Otak
Bagi calon budak dari kalangan
intelektual sang majikan tahu bahwa kebutuhannya bukan sebatas perut atau
dibawah perut. Maka upah yang diberikan juga bukan sebatas dengan uang saja,
tapi ada kompensasi lain berupa berbagai macam penghargaan. Karena mereka
sangat membutuhkan status sosial dimasyarakatnya, agar memiliki kedudukan yang
terhormat.
Majikan akan menyeleksi kaum terpelajar yang masih memiliki
mentalitas budak, untuk diberi penghargaan agar bisa menjadi pendukung dan
loyalis majikan. Apalagi untuk mereka yang terbukti sudah menghasilkan
pemikiran nyeleneh, destruktif, dan pro imprialis, akan sangat mudah
mendapatkan fasilatas, beasiswa, gelar dan berbagai bentuk penghargaan.
Hasil dari proses cuci otaknya sangat
jelas terlihat. Walaupun sudah sampai gelar S3 akan lumpuh daya analisanya
ketika melihat kepentingan majikan. Pembelaan habis-habisan, sampai membabi
buta jika sang majikan dikritik. Sedemikian jelas, terang benderang aksi-aksi
kejahatan impreialis, tidak mampu dilihatnya, karena status si imperialis itu
sebagai majikan. Seperti apapun tingginya
pendidikan tetap saja budak ya budak juga alias jongos.
Pembentukan mentalitas budak dari
kaum terpelajar ini tentu memakan waktu lebih lama di banding dari penguasa,
politikus, artis dan golongan lainnya. Biasanya melalui proses beasiswa untuk
studi terlebih dahulu. Diharapkan setelah menjadi sarjana pola fikirnya sudah
tercuci dan sekaligus terwarnai menjadi pembela Imprialisme sejati.
Alat Exploitasi
Sejak dahulu hingga sekarang yang
namanya budak, apapun namanya atau
modelnya tetap sama saja fungsinya, yaitu sebagai alat mengeruk kekayaan untuk
si majikan. Dalam bentuk makro Budak itu dijadikan alat eksploitasi kekayaan
suatu negara untuk kepentingan negara-negara imperialis.
Berbagai istilah seperti,
komprador, kaki tangan, tentara bayaran, pemimpin boneka, antek-antek, dan
sebagainya adalah nama-nama fungsi dan tugas si budak. Ketika dikemas dengan
nama yang berbeda, simbol dan atribut yang keren, disertai dengan penghargaan
dan gelar, maka status budak kini sudah menjadi supermasi. Apalagi budaya
feodal ditengah-tengah masyarakat belum hilang, maka keadaan bisa berbalik,
orang berlomba-lomba untuk menjadi jongos-jongon imperialisme. Tidak ada
sedikitpun perasaan berkhianat, hina atau minder, malah sebaliknya merasa
pahlawan, terhormat dan bangga.
Berapa kekayaan alam kita seperti emas,
uranium, minyak, gas, batu bara hasil laut, hutan dan sebaginya, yang tersedot
untuk kepentingan asing dengan bagi hasil yang tidak adi?. Berapa nilai produk
Import yang bukan kebutuhan primer, hanya untuk gengsi anak bangsa?. Berapa fee management dan waralaba dari
produk-produk asing?. Berapa uang para keluarga pejabat yang dihabiskan untuk
shoping keluar negeri?. Berapa uang
hasil korupsi yang disimpan diluar negeri?. Berapa milyar uang yang keluar keluar cuma pertunjukan
musik 2 jam ?, belum lagi kerusakan moral yang ditimbulkan, sudah tidak bisa
dinilai dengan materi seberapapun !!!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar