Selasa, 13 Mei 2014

Hati hati memilih Kata

Fenomena masyarakat kita saat ini dengan mudahnya mengungkapakan kata-kata tanpa memikirkannya terlebih dahulu. Boleh jadi mereka belum tahu soal ini, atau karena sebab spontanitas atau karena hal itu sudah dianggap lumrah dan biasa.
Kata “lumrah atau biasa” ini terjadi dan yang paling kuat pengaruhnya adalah lingkungan. Tentunya bahasa lingkungan cakupannya sangat luas, ungkapan di tetangga, sekolah, majalah, koran, televisi dan media lainnya. Ini semua sangat mempengaruhi kata “ungkapan itu, sudah biasa!”.
Karena sering diungkapkan, sering didengar, sering ditulis atau bahkan disaksikan orang banyak dan bahkan terus diulang-ulang, akhirnya semua kita ‘dipaksa’ untuk mengatakan, “sudah biasa!”.
Dalam kesempatan ini saya tidak akan berbicara, perkataan yang dilarang dalam islam, seperti fitnah, ghibah (gunjing), namimah (adu domba), dusta dan lainnya yang sudah sangat banyak tulisan-tulisan ini berserakan di mana-mana. Namun, judul “Fiqih berkata-kata” ini adalah boleh jadi jarang dikaji, terlupakan atau dianggap sepele oleh sebagian orang. Atau bahkan cenderung perkataan yang sejatinya dibenci, namun terlanjur dianggap biasa!
Seorang ulama besar Ibnul Qoyim menjelaskan hal ini dalam kitabnya “Zadul Ma’ad” dengan sub judul, “Ungkapan dan perkataan yang sangat dibenci Rasulullah Saw”. sebagai berikut,

Pertama, jauhi kata “sial” atau “binasa”
Sering kita mendengar atau membaca ungkapan seperti ini,
“Ah, sial, sungguh hari ini saya sial” atau
Mampus kamu, makanya harus ...” atau
“Wah celaka ini, kita gak bawa .... “
Kata “sial”, “mampus”, “celaka”, “binasa” dan yang serupa dengan itu sangat dibenci Rasulullah Saw. beliau bersabda,
 Apabila mengatakan hal itu, maka mereka akan binasa. (HR. Muslim)

Kedua, hati-hati ungkapan kesombongan
Dalam Islam boleh dan dituntut untuk berjiwa besar, optimis dan memiliki cita-cita besar. Namun ingat, hati-hati dengan kata-kata “Ini hasil pemikiran saya”, “ini gagasan dan ide saya”, “ini hasil jerih payah saya”, “ini karena kepintaran saya” dan ungkapan lain yang maknanya sama.
Ungkapan ini sama halnya dengan tokoh angkuh dahulu kala. Firaun, Qarun dan Iblis. Ungkapan Firaun misalnya, “Mesir adalah kerajaan saya!
Atau kita simak ungkapan Qarun, “Ini karena atas dasar ilmu yang saya miliki!”.
Atau kata congkak yang dilontarkan Iblis saat itu, “Saya lebih baik dari manusia!”
Tentu, betapa buruk akhir hidup mereka. Kata-kata mereka sebagai penyebab malapetaka tak terkira. Mereka binasa dengan cara yang tak terlukis dengan kata-kata.

Ketiga, hindari kata-kata vulgar
Selama masih bisa menggunakan kata kiasan atau perumpamaan dan maknanya bisa pahami dengan bahasa kiasan itu adalah lebih baik. Adalah al Quran dengan gamlang menjelaskan hal ini.
Seperti di tulis seorang ulama bernama Imam Syamsuddin Muhammad bin Abu Bakar, dalam bukunya “Metapora al Quran” (al Amtsal fil Quran). Sebut misalnya dalam al Quran dikatakan,
“Mereka adalah pakaian bagi kamu dan kamu adalah pakaian bagi mereka.” (QS. Al Baqoroh: 187) 
Al Quran tidak secara vulgar mengatakan hubungan suami isteri. Namun menggunakan perumpamaan “pakaian”. Mereka adalah “pakaian” bagi kamu.

Keempat, takutlah dengan sumpah selain nama Allah
Dimasyarakat sering kita mendengar, “sumpah pocong” dan lainnya selain menyebut nama Allah. Termasuk mengatakan “Jika kamu melakukan hal ini kamu Yahudi atau Nasrani” adalah harus kita hindari. Atau kata-kata “Demi bintang sagitarius”, “demi tuhan” dan lainnya. Takutlah dan menjauhlah dari sumpah seperti ini!

Kelima, untuk para ulama, ustadz dan guru berhati-hatilah!
Kebiasaan yang buruk adalah para ulama, ustadz atau guru kalau di tanya terus tidak bisa menjawab mereka merasa malu. Hingga akhirnya mereka menjawab petanyaan-pertanyaan tersebut ngasal dan hanya bersifat apologis. Padahal hal tersebut bukanlah aib. 

Misalnya ungkapan, “Allah telah menghalalkan ini dan itu” atau “Allah telah mengharamkan ini dan itu” padahal itu masuk kedalam permasalahan ijtihad. Atau ungkapan “ini dalil quran dan as sunnah”, padahal hal itu adalah tambahan atau perkataan dan lintasan pikirannya saja.
Betapa banyak orang-orang yang terjerumus kedalam dua fenomena ini, ia telah merusak agama dan kehidupan dunia.
Demikianlah diantara yang perlu dihindari dari perkataan seperti ini. Allah Swt berfirman,
“Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.” (QS. Ibrahim: 26)

Perkataan yang buruk diibaratkan dengan pohon yang buruk yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi, pohon itu tidak bisa tetap tegak sedikitpun. Tidak ada akar, ranting atau buah yang segar. Tidak ada daun dan tidak bisa dipanen. 

Secara nalar yang sehat perkataan buruk seperti itu, tulisan dan ucapannya tentu rugi dan amatlah rugi. Lebih baik bersama dengan sebaik-baik perkataan daripada sibuk dengan perkataan buruk seperti itu. Berkatalah yang baik, atau kalau tidak bisa lebih baik diam!
Semoga bermanfaat.
Sumber: Zadul Ma’ad karya Ibnul Qoyim dengan subjudul “Fi Hadyihi Sholallohu’alaihiwassallam Yukrohu An Tuqol”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar