Kata “lumrah” atau “biasa” ini terjadi dan yang paling kuat pengaruhnya adalah lingkungan.
Tentunya bahasa lingkungan cakupannya sangat luas, ungkapan di tetangga,
sekolah, majalah, koran, televisi dan media lainnya. Ini semua sangat
mempengaruhi kata “ungkapan itu, sudah biasa!”.
Karena sering diungkapkan, sering didengar, sering
ditulis atau bahkan disaksikan orang banyak dan bahkan terus diulang-ulang, akhirnya
semua kita ‘dipaksa’ untuk mengatakan, “sudah biasa!”.
Dalam kesempatan ini saya tidak akan berbicara, perkataan
yang dilarang dalam islam, seperti fitnah, ghibah (gunjing), namimah (adu
domba), dusta dan lainnya yang sudah sangat banyak tulisan-tulisan ini
berserakan di mana-mana. Namun, judul “Fiqih berkata-kata” ini adalah boleh
jadi jarang dikaji, terlupakan atau dianggap sepele oleh sebagian orang. Atau
bahkan cenderung perkataan yang sejatinya dibenci, namun terlanjur dianggap
biasa!
Seorang ulama besar Ibnul Qoyim menjelaskan hal ini dalam
kitabnya “Zadul Ma’ad” dengan sub judul, “Ungkapan dan perkataan yang sangat
dibenci Rasulullah Saw”. sebagai berikut,
Pertama, jauhi kata “sial” atau “binasa”
Sering kita mendengar atau membaca ungkapan seperti ini,
“Ah, sial, sungguh hari ini saya sial” atau
“Mampus kamu, makanya harus ...” atau
“Wah celaka ini, kita gak bawa .... “
Kata “sial”, “mampus”, “celaka”, “binasa” dan yang serupa
dengan itu sangat dibenci Rasulullah Saw. beliau bersabda,
“Apabila mengatakan hal itu, maka mereka
akan binasa.” (HR. Muslim)
Kedua, hati-hati ungkapan kesombongan
Dalam Islam boleh dan dituntut untuk berjiwa besar,
optimis dan memiliki cita-cita besar. Namun ingat, hati-hati dengan kata-kata
“Ini hasil pemikiran saya”, “ini gagasan dan ide saya”, “ini hasil jerih payah
saya”, “ini karena kepintaran saya” dan ungkapan lain yang maknanya sama.
Ungkapan ini sama halnya dengan tokoh angkuh dahulu kala.
Firaun, Qarun dan Iblis. Ungkapan Firaun misalnya, “Mesir
adalah kerajaan saya!”
Atau kita simak ungkapan Qarun, “Ini karena atas
dasar ilmu yang saya miliki!”.
Atau kata congkak yang dilontarkan Iblis saat itu, “Saya
lebih baik dari manusia!”
Tentu, betapa buruk akhir hidup mereka. Kata-kata mereka
sebagai penyebab malapetaka tak terkira. Mereka binasa dengan cara yang tak
terlukis dengan kata-kata.
Ketiga, hindari kata-kata vulgar
Selama masih bisa menggunakan kata kiasan atau
perumpamaan dan maknanya bisa pahami dengan bahasa kiasan itu adalah lebih
baik. Adalah al Quran dengan gamlang menjelaskan hal ini.
Seperti di tulis seorang ulama bernama Imam
Syamsuddin Muhammad bin Abu Bakar, dalam bukunya “Metapora al Quran” (al Amtsal fil
Quran). Sebut misalnya dalam al Quran dikatakan,
“Mereka adalah pakaian bagi kamu dan kamu adalah pakaian
bagi mereka.” (QS. Al Baqoroh: 187)
Al Quran tidak secara vulgar mengatakan hubungan suami
isteri. Namun menggunakan perumpamaan “pakaian”. Mereka adalah “pakaian” bagi kamu.
Keempat, takutlah dengan sumpah selain nama Allah
Dimasyarakat sering kita mendengar, “sumpah pocong” dan
lainnya selain menyebut nama Allah. Termasuk mengatakan “Jika kamu melakukan
hal ini kamu Yahudi atau Nasrani” adalah harus kita hindari. Atau kata-kata
“Demi bintang sagitarius”, “demi tuhan” dan lainnya. Takutlah dan
menjauhlah dari sumpah seperti ini!
Kelima, untuk para ulama, ustadz dan guru berhati-hatilah!
Kebiasaan yang buruk adalah para ulama, ustadz atau guru
kalau di tanya terus tidak bisa menjawab mereka merasa malu. Hingga akhirnya
mereka menjawab petanyaan-pertanyaan tersebut ngasal dan hanya bersifat
apologis. Padahal hal tersebut bukanlah aib.
Misalnya ungkapan, “Allah telah menghalalkan ini dan itu”
atau “Allah telah mengharamkan ini dan itu” padahal itu masuk kedalam
permasalahan ijtihad. Atau ungkapan “ini dalil quran dan as sunnah”, padahal
hal itu adalah tambahan atau perkataan dan lintasan pikirannya saja.
Betapa banyak orang-orang yang terjerumus kedalam dua
fenomena ini, ia telah merusak agama dan kehidupan dunia.
Demikianlah diantara yang perlu dihindari dari perkataan
seperti ini. Allah Swt berfirman,
“Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang
buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat
tetap (tegak) sedikitpun.” (QS. Ibrahim: 26)
Perkataan yang buruk diibaratkan dengan pohon yang buruk
yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi, pohon itu tidak
bisa tetap tegak sedikitpun. Tidak
ada akar, ranting atau buah yang segar. Tidak ada daun dan
tidak bisa dipanen.
Secara
nalar yang sehat perkataan buruk seperti itu, tulisan dan ucapannya tentu rugi
dan amatlah rugi. Lebih baik bersama dengan sebaik-baik perkataan daripada
sibuk dengan perkataan buruk seperti itu. Berkatalah yang baik, atau kalau tidak bisa lebih baik
diam!
Semoga bermanfaat.
Sumber: Zadul Ma’ad karya Ibnul Qoyim dengan subjudul “Fi
Hadyihi Sholallohu’alaihiwassallam Yukrohu An Tuqol”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar